Pagi hari ini dapur tengah disibukkan oleh lalu lalang para dayang yang mempersiapkan sarapan, tapi salah seorang wanita berumur dua puluh tiga tahun tampak mengendap-endap dan memperhatikan sekitar dengan teliti. Ia mengeluarkan serbuk mantra hitam dari balik bajunya, ia menuangkan bubuk itu ke dalam cangkir minuman, setelah melakukan itu, ia diam-diam hendak pergi menjauh dari sana tetapi ia dikagetkan oleh seseorang dari belakang.
"Apa yang kamu lakukan di sana? cepatlah bantu aku untuk menghidangkan makanan ini," pinta Kumala si penanggung jawab makanan di dapur.
"O-oh baiklah aku akan segera membantumu." Jawab Gandini dengan nada gugupnya.
Tak berselang lama para pelayan menyajikan sarapan. Di meja makan tampak sudah banyak keluarga kerajaan yang ikut dalam sarapan pagi hari ini, Ankara, Mahabala dan Jyotika juga ikut menghadiri sarapan yang diadakan.
"Silahkan nikmati sarapan pagi kalian." Raja Rawindra berucap.
Mereka pun langsung memakan sarapan pagi hari itu, mereka semua tampak lahap, tak terkecuali dengan Mahabala ia makan dengan sangat rakus dan tanpa etika, ia tak mencerminkan dari keluarga kerajaan sama sekali.
Sedangkan Haridra yang haus tampak sedang mengambil cangkir dan menuangkan air ke dalam gelasnya, ia meminum air itu dalam sekali teguk, keningnya berkerut bingung saat lidahnya merasakan keanehan dalam air tersebut.
Sontak ia berceletuk, "air ini telah diracun dengan serbuk mantra sihir hitam." Ia menyuruh semua yang ikut sarapan pagi untuk berhenti memakan makanan dan juga minum.
Ankara tampak gelisah karena rencana yang sudah ia rencanakan dengan Gandini dengan mudah dapat digagalkan oleh Haridra.
"Bagaimana dia bisa tahu bahwa air yang disajikan telah diracuni, padahal dengan sihir hitam milik Gandini seharusnya serbuk itu tidak meninggalkan rasa sama sekali." Batinnya dalam hati.
Ankara lupa, bahwa Haridra adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat hebat, ia bisa mempertajam semua indranya termasuk juga dalam hal pengecap, sampai sampai ia bisa membedakan air murni dengan air yang sudah dicampuri bubuk sihir hitam.
Mendengar ada racun yang ditelan putra bungsunya, Daneswari segera menghampiri putranya dengan panik. Tangannya terulur untuk mengusap punggung anaknya.
"Apakah kau baik-baik saja, Putraku? Adakah bagian dari tubuhmu yang terasa sakit." Sorot kepanikan tercetak jelas di wajah manis wanita paruh baya itu.
"Ibu, apakah kau lupa bahwa anak bungsumu memiliki ilmu yang mumpuni, racun sekecil itu tidak akan bisa melukainya." Sahut Hara.
"Ibu tenang saja, percaya saja pada Haridra." Himbuh Hansa
"Prajurit, kumpulkan semua pelayan dapur ke sini." Perintah Rawindra pada salah seorang prajurit untuk mengumpulkan para pelayan.
Segera prajurit itu melaksanakan titah yang telah Rawindra berikan, "Semua yang ada di dapur termasuk juga para koki, kalian diminta Raja Rawindra untuk berkumpul di ruang makan keluarga kerajaan."
"Apa yang sedang terjadi?"
"Aku juga tidak tahu." Para pelayan saling menanyakan apa yang sedang terjadi. Gandini yang berada di dapur itu juga ikut di bawa ke ruang makan.
Setibanya mereka di sana, Raja Rawindra tampak marah besar.
"Siapa yang berani mencampurkan racun pada minuman yang dihidangakan untuk keluarga kerajaan?!" Hardik Rawindra kepada para pelayan dan koki.
Mereka semua diam gemetar ketakutan. Sementara Ankara melirik Gandini seakan memberi kode untuk menyelamatkan gadis itu.
"Bukankah mengurus makanan adalah tanggung jawab dari penanggung jawab dapur? Di mana orangnya?" Ankara tiba-tiba ikut campur dalam masalah.
Kumala yang awalnya hanya diam menjadi gemetar ketakutan, ia melangkah maju.
"Saya adalah penanggung jawab makanan di dapur, tapi saya tak tahu dan tak melakukan apa pun pada makanan itu." Tuturnya sembari membela diri, ia yang sudah gemetar ketakutan tampak berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang hendak terjatuh.
"Bagaimana kau bisa tidak tahu? Seharusnya sebelum kau menghidangkan makanan itu pada kami, kau memeriksanya terlebih dahulu." Bentak Ankara pada Kumala.
Kumala yang sudah tidak bisa menahan air matanya lagi pun terjatuh meluruh seketika karena tuduhan dari Ankara. Haridra tampak melihat keanehan pada kejadian ini tetapi ia hanya diam.
"Adik ipar, seharusnya kau memenjarakannya karena telah lalai dalam tugasnya."
"Bawa dia ke penjara bawah tanah dan kurung dia." Titahnya pada salah seorang prajurit.
Kumala yang diseret paksa oleh prajurit meneteskan air matanya sembari tak henti-henti membela dirinya, "Yang mulia percayalah pada hamba, hamba bersumpah hamba tak pernah mencoba mancelakai anggota kerajaan."
Tetapi Raja Rawindra tetap pada keputusannya.
"Untuk masalah ini aku akan menyelidikinya sendiri, kalian semua bisa kembali ke kamar kalian masing-masing." Raja Rawindra tampak membubarkan semua yang ada di ruang makan.
Semua orang pun kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk tiga bersaudara itu, di perjalanan menuju ke kamar, Haridra masih merasakan keanehan mengenai masalah ini. Kumala sudah bekerja di istana cukup lama dan juga ia tak merasakan adanya sihir hitam melekat di tubuh wanita paruh baya tersebut.
Nampaknya, Kumala adalah kambing hitam, ia bukan pelaku sesungguhnya.
"Kak, aku merasa aneh dengan kasus ini." Haridra menghentikan langkahnya sambil menatap dua kakaknya.
"Aku pun begitu," sahut Hansa.
"Aku berpikir bahwa Kumala tidak tahu apa pun, ia merupakan korban di sini." Hara yang sejak tadi diam pun kini mengeluarkan unek-unek di hatinya.
"Bagaimanapun kita harus menyelidiki kasus ini lebih lanjut, karena aku tidak bisa membiarkan seorang yang tidak bersalah harus menerima hukuman. Aku perlu bantuanmu kak Hansa, kak Hara." Haridra minta bantuan pada kakak kakaknya untuk mengusut kasus ini.
"Dengan senang hati aku akan membantumu dalam mengusut kasus ini."
"Bagaimana jika kita diam-diam menyusup ke penjara bawah tanah, untuk mencari tahu kronologis di dapur tadi."
"Aku setuju dengan rencanamu, Kak Hansa." ujar Haridra menyetujui rencana Hansa.
"Baiklah nanti malam kita akan bertemu di belakang kandang kuda, tapi untuk sekarang, kalian kembali beraktivitas seperti biasanya agar tidak menimbulkan kecurigaan."
Mereka bertiga mangangguk setuju dan mereka kembali beraktivitas seperti biasa, Haridra pergi ke ruang pelatihan untuk melatih diri, Hansa berkeliling pasar untuk melihat langsung kondisi para rakyat, dan Hara menuju kamar Daneswari untuk menemuinya seperti biasa.
Sedangkan Ankara, Mahabala, Jyotika, Gandini dan Gandana mereka berkumpul di hutan yang agak jauh dari Istana untuk membahas masalah tadi, Ankara memilih tempat yang agak jauh dari istana agar kesalahannya tidak terulang kembali.
Gandini menghela napas lega.
"Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku Ankara." ujarnya pada Ankara.
"Tak apa, itu sudah jadi tanggung jawabku yang sudah mengajakmu kerja sama."
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanya Gandana. Tampaknya ia tak mengetahui bahwa rencana yang mereka susun bersama telah gagal, Gandana pada saat itu sedang berada di luar istana untuk mengikuti pelatihan prajurit baru.
"Aku telah gagal, bubuk racun yang kutuang ke dalam cangkir dapat diketahui oleh Haridra." Jelas Gandini pada Gandana yang tak mengetahui bahwa rencana mereka telah gagal.
"Bagaimana bisa rencana yang telah kita susun matang-matang dapat diketahui?"
"Aku juga tidak tahu bagaimana bocah itu dapat mengetahui bahwa minumannya telah dicampur racun, aku yakin telah membuat bubuk racun dengan mantra sihir hitam yang telah kukuasai."
"Aku lupa memberi tahu kalian bahwa Haridra memiliki Indra yang tajam dan kebal terhadap racun."
"Apa yang akan kita lakukan kedepannya, Kak." Tanya Jyotika yang terlihat panik pada Ankara.
"Terlihat lah tenang, semua akan baik-baik saja, bertingkah seperti biasanya."
"Paman, kapan kau akan menjadikanku Pangeran Putra Mahkota, bukankah kau sudah berjanji kepadaku?" Mahabala seolah tak ingin tahu dengan masalah yang terjadi, ia hanya ingin segera menjadi Pangeran Putra Mahkota.
"Tenanglah keponakanku, aku pasti akan memberikan posisi Putra Mahkota padamu suatu saat nanti, tapi untuk sekarang bersabarlah terlebih dahulu." Lirih Ankara sembari menenangkan Mahabala.
"Setelah kita kembali ke istana, bersikaplah seperti biasa, kemungkinan ketiga bersaudara itu akan menyelidiki kasus ini lebih dalam. Malam ini mereka mungkin akan menyusup ke ruang penjara bawah tanah untuk mengetahui kronologi kejadian pada Kumala." Tegas Ankara pada semua orang di sana.
"Jika seperti itu, kita harus terlebih dahulu menyusup di penjara dan membunuh Kumala agar tidak menceritakan kronologinya pada ketiga bersaudara itu."
"Benar kak, kita harus membunuhnya, tetapi dengan hati-hati agar terlihat seperti dia mati karena bunuh diri." Sahut Gandana.
Mendengar hal itu dari mulut Gandana sontak membuat semua orang di sana tersenyum jahat. Rencananya, Gandini dan Gandana yang akan menyusup dan membunuh Kumala, sedangkan Ankara, Jyotika dan Mahabala mereka mengawasi situasi yang terjadi di luar penjara bawah tanah.
Tak terasa malam hari pun tiba, Ankara dan yang lainnya kembali berkumpul di tempat yang telah di sepakati, untuk segera melakukan rencana jahat mereka sebelum ketiga bersaudara itu mendahului. Segera mereka semua menjalankan tugasnya masing-masing Ankara, Jyotika dan Mahabala pergi membuat keributan agar penjagaan menjadi longgar.
Ankara melempar batu hingga menciptakan suara bedebum nyaring
Para penjaga tahanan yang mendengar suara itu pun langsung pergi bergegas untuk mengecek keadaan di atas.
"Suara apa itu, apakah ada penyusup?"
"Mana ku tahu, coba kita periksa keadaan di atas."
"Ayo kita periksa dulu." Para penjaga pun pergi untuk mengecek keadaan di atas.
Sesampainya mereka di atas, tampak sunyi seperti biasanya, "Tak ada apapun di sini."
"Benar, mungkin tadi hanya suara yang ditimbulkan oleh kucing."
Di saat mereka mengobrol, mereka tidak memperhatikan punggung mereka. Gandini mengambil kesempatan itu untuk merapalkankan mantra sihir hitam di sekitar mereka, yang membuat mereka berdua mengantuk dan tertidur.
Gandini dan Gandana segera masuk ke dalam penjara sedangkan Ankara, Mahabala dan Jyotika mengurus para prajurit sambil mengawasi keadaan di sekitar. Di dalam penjara bawah tanah terasa dingin, gelap, dan lembab. Gandini dan Gandana menyusuri lorong penjara sampai ia menemukan Kumala yang berada di pojok, matanya tampak bengkak karena terlalu banyak menangis.
Sreek!
"Siapa itu?" Kumala yang awalnya meringkuk pun kini terkesiap kaget.
Gandini muncul dari balik kegelapan, senyuman sinis terukir dari bibirnya.
"Hai, Kumala."
Sontak saja suara itu membuat Kumala waspada. "Gandini?"
"Iya, aku Gandini. Bagaimana perasaanmu tinggal di tahanan busuk ini?" Seringai tipis muncul dari bibirnya.
"Kau? Kau yang meracuni Pangeran Haridra," pekik Kumala dengan heboh. Ia baru teringat saat Gandini terlihat berada di dekat hidangan, rupanya tidak wanita itu yang memberikan racun.
"Hahaha, akhirnya kau sadar juga."
"Jahat kau, wanita iblis." Kumala ingin mencakar wajah wanita itu, tapi tertahan saat sel jeruji besi menghalangi gerakannya.
"Aku memang iblis, dan sialnya kau menanggung jiwa keiblisanku ini." Gandini tersenyum mengejek.
"Aku akan melaporkanmu pada Yang Mulia dan kau akan dihukum atas perbuatanmu."
"Bagaimana seorang mayat akan melaporkan kejahatanku?" Gandini tak henti-hentinya mengejek kumala
"Apa yang kau bicarakan, mau berbuat apa lagi kau." Kumala seolah mengerti apa yang akan Gandini lakukan pada dirinya.
"Gandana, segera selesaikan tugasmu." Gandini menyodorkan sebuah bubuk yang ia gunakan untuk meracuni Haridra, "Gunakan ini untuk menghabisinya."
"Baik kak." Gandana mengambil serbuk itu, dengan bantuan sihir hitam kakaknya, ia dapat masuk penjara yang terhalang jeruji besi tanpa harus merusak gemboknya.
Kumala tampak keget ketakutan, "Siapa kau sebenarnya, kenapa kau bisa menggunakan sihir hitam."
"Hahaha... Kemana keberanianmu sebelumnya, kenapa kau tampak takut sekarang." Ledek Gandana.
"Aku adalah anak dari Manuli dan Mantili, kedua orang tuaku terbunuh saat perang, aku dan adikku akan membalaskan dendam kami, tak perduli apa pun yang terjadi." Jelas Gandini pada Kumala.
Gandana mencengkram rahang dari wanita paruh baya itu, ia memasukkan bubuk racun kedalam mulutnya dengan paksa, sungguh keji perbuatan yang dilakukannya.
Kumala yang hanya wanita lemah biasa dan tidak memiliki ilmu kebal terhadap racun, ia tampak kepanasan di bagian tenggorokannya, tak lama kemudian tubuhnya gemetar, kulitnya mengeluarkan bintik-bintik merah, busa keluar dari mulutnya dan ia kehilangan kesadaran dan tewas.
"Gandana pastikan lagi apakah ia sudah mati." Suhut Gandini untuk memeriksa mayat Kumala bahwa ia telah mati.
"Sudah kak, ia tak mengeluarkan napas lagi dan denyut nadinya telah berhenti."
Setelah Gandana mengeceknya, mereka pergi keluar dari penjara bawah tanah itu segera setelahnya sebelum kedatangan Ketiga saudara itu.
"Aku telah memastikan bahwa Kumala telah mati, ayo kita segera pergi dari sini." Ujar Gandini pada Ankara dan yang lainnya.
"Baik, ayo kita segera pergi." Mereka segera meninggalkan penjara bawah tanah setelah Ankara meletakkan tubuh para penjaga yang tidak sadar di tempat mereka berjaga.
Tak berselang lama para penjaga itu terbangun dari tidur mereka, "apa yang telah kulakukan, kenapa aku tertidur di sini." Gumam salah seorang penjaga setelah bangun, ia juga membangunkan temannya yang masih belum bangun.
"Hai cepatlah bangun, Kita akan terkena masalah jika ada yang melihat kita tertidur."
"Hoaam.... Apa yang kita lakukan, kenapa kita tidur di saat menjaga."
"Aku sendiri tidak tahu."
Tampaknya para penjaga tidak mengingat apa yang telah terjadi, dikarenakan sihir tidur milik Gandini dapat menghilangkan ingatan pada orang yang terkena efek sihirnya. Para prajurit itu pun melanjutkan penjagaan tanpa tahu bahwa yang mereka jaga telah tewas dibunuh.
Di waktu yang sama Haridra dan Hansa telah tiba di kandang kuda sesuai yang telah mereka janjikan, mereka menunggu Hara yang terakhir datang. Tak menunggu lama Hara pun datang.
"Maaf aku agak terlambat."
"Tidak, aku dan kak Hansa saja yang datang terlalu awal." Jawab Haridra.
Setelah mereka bertiga berkumpul mereka segera menuju penjara bawah tanah untuk bertemu dengan Kumala.
"Baiklah semuanya telah berkumpul, mari kita langsung saja menemui Kumala."
"Ya lebih cepat lebih baik." Tanggap Hara pada Hansa.
Segera mereka berangkat menuju panjara, sesampainya mereka di sana mereka di hadang oleh para penjaga.
"Maaf Pangeran, apa yang membuat kalian datang ke sini malam-malam." Tanya prajurit pada Haridra.
"Kami datang ke sini untuk menjenguk Kumala paman."
"Maafkan kami Pangeran, Raja berpesan kepada kami, tidak ada yang boleh bertemu dengan Kumala untuk saat ini."
"Kumohon paman, aku hanya ingin menemuinya dan bertanya tentang kronologi kejadian tadi pagi." Ujar Hansa pada para penjaga.
Para penjaga yang tidak enak hati itu pun memperbolehkan mereka bertiga masuk.
"Baiklah, Pangeran dan Putri dapat masuk tetapi hanya sebentar saja."
Senyuman tampak pada wajah ketiga saudara tersebut.
"Terima kasih, Paman." ucap mereka bertiga secara bersamaan.
Mereka pun masuk ke dalam tahanan. Hal tak terduga mengejutkan mereka, di sana ada seonggok tubuh tergeletak dengan mulut penuh busa.
"Astaga, Bibi Kumala!" Hara tercengang.
"Paman prajurit, ada apa ini?"
Prajurit itu sama terkejutnya melihat Kumala sudah terbujur kaku tak sadarkan diri. Mereka pun membuka sel tahanan dan memeriksanya.
"Kumala sudah tewas."
"APA?!"
Mereka pun mendekat ke sana dan benar saja, saat Hansa memeriksa denyut nadinya tidak ada detakan sama sekali.
"Bibi Kumala benar-benar meninggal, astaga!"
"Ia menelan racun," sahut Haridra.
"Racun apa?"
"Racun yang sama seperti yang ada di minumanku."
"Ini aneh, Bibi Kumala membunuh dirinya sendiri dengan menenggak racun." Hara menggelengkan kepalanya pelan.
"Ya, kasus ini akan berhenti di sini saja ketika tidak ada saksi."
Mereka pun menghela napas berat dengan pikiran buntu.