12 : Gandana-Gandini

2143 Words
Di sebuah perkampungan terpencil nan kumuh terlihat seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun tengah menimba air dari sumur, wajah lelahnya begitu kentara terlihat. Wanita bernama Gandini itu berjalan menyusuri jalanan kampung menuju ke gubuk reyot miliknya, di sana lah ia tinggal bersama sang adik yang bernama Gandana. "Jika saja ayah dan ibu masih hidup kita tak perlu hidup kesusahan seperti ini." ucap Gandana sambil membantu membawakan air setibanya Gandini di gubuk. "Kau benar, tapi ayah dan ibu kita telah tewas di saat perang besar Narayana. Rawindra sendiri lah yang telah membunuh kedua orang tua kita, kelak kita akan membunuhnya dan membalaskan dendam kedua orang tua kita." sahut Gandini. Gandini, ia adalah wanita dari keturunan penyihir, ilmu hitamnya ia gunakan untuk menebar kejahatan. Orang tuanya telah meninggal akibat peperangan besar yang terjadi di masa lalu, ketika ia dewasa, ia berniat membalaskan dendamnya pada kerajaan Narayana atas kematian kedua orang tuanya, terutama pada Raja Rawindra. Sedangkan Gandana merupakan adik dari Gandini, ia adalah pria yang licik dan juga kejam. Sama seperti sang kakak, Gandana juga berniat untuk membalaskan dendam kematian orang tuanya Manuli dan Mantili adalah ayah dan ibu dari Gandini dan Gandana. Manuli dulunya adalah orang kepercayaan kerajaan Narayana, tapi ia memilih berkhianat untuk mengambil takhta raja, ia meninggal akibat peperangan besar yang terjadi di masa lalu. Sedangkan Mantili yakni seorang penyihir hitam sekaligus ibu dari Gandini dan Gandana, ia bersifat licik dan juga ingin menduduki takhta ratu di kerajaan Narayana sebelumnya. Mereka berdua terbunuh dalam perang besar yang terjadi di Narayana, mereka dibunuh langsung dengan tangan Raja Rawindra. Hal itu juga lah yang menyebabkan dendamnya menurun hingga ke anak-anaknya. "Tapi untuk sekarang kita harus bersembunyi sembari menyempurnakan sihir kita sebelum bergerak sembari menunggu waktu yang tepat untuk mengambil tindakan." Gandini menyamarkan identitasnya sebagai gadis desa yang lugu. "Tapi kak, bukankah kakak telah menyempurnakannya, ini sudah waktu yang tepat untuk bergerak. Aku dengar sebagian prajurit mengikuti pelatihan di perbatasan dan pagi hari ini mereka akan pulang ke istana." Nampak bahwa Gandana terburu-buru. Gandana tampak meyakinkan kakaknya—Gandini untuk mulai mengambil tindakan. Karena adanya perbedaan pendapat antara adik kakak itu, Gandana memberikan argumen dan alasan-alasan untuk meyakinkan kakaknya itu. Ia tampak tak sabar ingin segera membalaskan dendam kedua orang tuanya. Di saat mereka berdebat terdengar langkah kaki dari arah luar gubuk, langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu gubuk reyot milik Gandini dan gandana, ia mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu. "Siapa yang bertamu di saat seperti ini?" tanya Gandana kebingungan. "Untuk sekarang bukakan lah pintu itu dulu." Gandini menyuruh Gandana membukakan pintu kayu tersebut. Setelah Gandana membukanya, tampak seorang pria paru baya mengenakan pakaian serba hitam dengan rambut panjang diikat ke belakang. "Kalian pasti anak-anak Manuli apakah kalian mau bekerja sama denganku." Pria itu tanpa basa-basi langsung menawari kerja sama dua bersaudara itu. "Siapa kau ini, kenapa kau mengetahui identitas kami yang sebenarnya?" Gandana bertanya-tanya siapa ia sampai bisa tahu identitas aslinya. Gandini juga merasa heran kenapa pria itu bisa tahu gubuk reyot ini. "Aku Ankara kakak ipar dari Rawindra!” Tanpa basa-basi Ankara langsung berceletuk, yang mana tak kapok untuk berbuat jahat. Ia tak akan pernah berhenti sebelum ia dapat membuat keponakannya naik takhta menjadi Raja Narayana selanjutnya. "Kenapa kau bisa tahu tentang gubuk reyot ini?" "Aku tahu gubuk reyot ini dari ayah kalian. Sebelum ayah kalian tewas di peperangan besar di masa lampau, dia adalah sahabatku." Jawab Ankara pada Gandini yang tampak tak senang atas kedatangan Ankara. "Serta kenapa juga kami harus bekerja sama denganmu sedangkan kau adalah ipar dari musuh kami—Rawindra?" balas Gandana dengan memicingkan mata merasa curiga. "Aku berencana untuk menjatuhkan Rawindra dari takhtanya dan menjelekkan nama baik Hansa calon penerus takhta selanjutnya. Aku mengajak kalian juga karena kalian adalah anak-anak dari sahabatku." Ankara menceritakan apa yang sedang terjadi di istana dan apa tujuan ia mengajak Gandini dan Gandana bekerja sama. Hal itu membuat Gandana tampak setuju, karena ia juga tak sabar ingin membalaskan dendam orang tuanya. "Kakak, bukankah musuh dari musuhmu adalah temanmu? dan ini adalah waktu yang tepat untuk kita bergerak membalas dendam ayah dan ibu kita." Gandana berusaha meyakinkan kakaknya Gandini yang sedari tadi menolak ajakannya sebelum Ankara tiba. Gandini yang masih menaruh curiga terhadap Ankara tampak memikirkannya lagi ajakan yang ditawarkan olehnya, ia memegang dagunya memikirkan keuntungan dan kerugian apa yang akan ia dapatkan dari kerja sama ini, akan tetapi adiknya bersikeras meyakinkan kakaknya Gandini. "Tak perlu memikirkannya lagi kak itu merupakan usulan yang amat menguntungkan bagi kita." Gandini yang telah memikirkannya secara matang itu pun menyetujuinya. "Baiklah aku menyetujui ajakanmu untuk bekerja sama, tapi ingat aku akan membunuhmu jika kau berkhianat." "Tenang saja, seperti yang adikmu katakan bahwa musuh dari musuhmu adalah temanmu, dan juga mana mungkin aku menghianati anak-anak dari teman baikku yang nantinya akan membantuku." Ankara menjawab, ia tampak tersenyum licik dengan satu alis matanya diangkat "Tak perlu basa-basi apa rencanamu, kau pasti telah merencanakan sesuatu sebelum mengajak kami bekerjasama ‘kan?" Gandini yang tak suka melihat senyuman Ankara itu pun bertanya padanya mengenai rencana ke depan. "Tentu saja aku telah membuat rencana sebelum datang ke sini, aku berencana memasukkan kalian ke dalam Narayana sebagai dayang dapur dan prajurit. Kalian dapat menghancurkan Narayana dari dalam." Ankara menjawab pertanyaan yang merong-rong dihati Gandini. "Bukankah menjadi dayang dapur dan prajurit Narayana sangat sulit karena harus mengikuti tes dan seleksi ketat?" Sekarang giliran Gandana yang bertanya dengan rasa penasarannya. "Tenang saja itu mudah dilakukan dengan bantuan adikku Jyotika, kalian akan dengan mudah memasuki istana Narayana." Lagi-lagi Ankara mengeluarkan senyum licik khas miliknya. "Kemasi lah barang barang kalian dan jangan meninggalkan barang bukti apapun bahwa kalian pernah tinggal di gubuk ini." Ankara menyuruh kakak beradik itu untuk segera mengemasi barang barang mereka. Ankara pun mengajak mereka berdua untuk bertemu dengan Jyotika dan Mahabala untuk diperkenalkan. Singkatnya, mereka menuju kedalam hutan yang berlokasi tak jauh dadi istana Narayana, di sana telah ditunggu oleh Jyotika dan Mahabala. "Ada di mana Paman Ankara, Bu? Lama sekali." Ucap Mahabala yang sudah tak sabar menunggu. "Sabar lah nak, sebentar lagi pamanmu juga akan datang dan membawa Gandini dan Gandana sebagai sekutu baru untuk kita." Jyotika berusaha menenangkan anaknya yang tak sabaran itu. Tak berselang lama Ankara datang dengan bersama Gandini dan Gandana. Ankara yang datang dari arah timur itu pun membuat Mahabala tersenyum. "Itu Paman Ankara, tampaknya ia telah berhasil membujuk Gandini dan Gandana untuk ikut bergabung bersama kita." "Kau benar, pamanmu memang bisa diandalkan." jawab Jyotika. Sesampainya Ankara, Gandini dan Gandana di sana, ia langsung disambut oleh Jyotika dan Mahabala. Ankara memperkenalkan Gandini dan Gandana pada Jyotika dan Mahabala. "Mereka adalah adikku Jyotika dan keponakanku Mahabala." "Senang bertemu dengan kalian, aku Gandini dan dia adalah adikku yang bernama Gandana." Gandini memperkenalkan dirinya sendiri beserta sang adik. Setelah pertemuan singkat mereka, lantas Jyotika langsung membawa mereka berdua ke istana. Dengan bantuan Jyotika mereka berhasil dengan mudah menjadi dayang dapur dan prajurit. Gandini bertugas untuk memberikan makanan yang telah koki masak kepada para pangeran dan ratu, sedangkan Gandana menjadi prajurit dibawah kepemimpinan Ponda. Ponda adalah Kepala Prajurit kerajaan Narayana, ia memiliki sifat nasionalis seperti Prayana. Ia tak ikut pelatihan prajurit di perbatasan karena ia memiliki tugas mengatur prajurit yang ada di dalam istana Narayana. Sedangkan di perbatasan Hara dan Haridra bersiap akan memandu jalan para prajurit pulang, tak lupa mereka membawa para pencuri untuk di adili. Laksmana yang akan menetap di perbatasan lebih lama mengantar kepulangan Hara dan Haridra. "Aku menantikan kerjasama dengan Kerajaan Narayana untuk kedepannya, sampaikan salamku kepada Raja Rawindra dan Pangeran Putra Mahkota Hansa." "Ya, kami juga menantikan hubungan baik dari Janardana, dan juga salam dari Pangeran Laksmana akan saya sampaikan pada Ayah dan Kak Hansa." Jawab Haridra. "Apakah kalian semua sudah bersiap untuk pulang!!!" tanya Hara pada para prajurit. "Sudah, Putri Hara." Sorak para prajurit, mereka terlihat bersemangat sekali. Hara, Haridra dan para prajurit itu pun mulai berjalan untuk kembali ke istana Narayana. Laksmana yang merasakan kesedihan pada hatinya entah apa penyebabnya itu pun bergumam, "Kenapa perasaanku sedih ketika Putri Hara pergi untuk kembali ke Narayana." Laksmana tak tahu dia telah jatuh hati pada Hara tapi karena ia bodoh dalam hal percintaan itu pun tak menyadari apa yang ia rasakan. Di perjalanannya saat menuju istana Narayana, Hara dan Haridra membahas tentang apa yang terjadi di istana tadi malam. "Aku benar-benar penasaran kenapa malam tadi kakak dipanggil kembali untuk ke istana." "Aku pun juga penasarannya, itu akan terjawab ketika kita sudah sampai di istana nanti." Haridra menanggapi kakaknya. Di saat Hara dan Haridra asik berbincang-bincang sembari menunggangi kudanya, para pencuri yang ketakutan karena dibawa ke istana Narayana itu pun berteriak. "Tuan Putri Hara, Pangeran Haridra apa yang akan menanti kami setibanya kami di istana, apakah kami akan dihukum mati?" Prajurit yang ditugaskan menjaga mereka itu pun sontak memukul salah seorang pencuri yang berteriak. "Diam lah berani sekali kalian bersikap tidak sopan kepada Putri Hara dan Pangeran Haridra." Hara dan Haridra yang melihat prajurit memukul pencuri itu pun menghentikan laju kudanya. "Apa yang kau lakukan? Paman tidak boleh menyakiti orang yang sudah tak berdaya." "Tapi Pangeran, dia telah berbuat tidak sopan kepada Anda dan Putri Hara." Sela prajurit yang menampar pencuri tadi. "Tak apa, mereka hanya ketakutan karena mereka tiba-tiba dibawa ke istana menghadap Raja." Hara berusaha untuk tenang dalam menangani masalah ini. "Kalian memang akan dihukum karena telah mencuri persediaan makanan prajurit, tapi mengingat bahwa kalian terpaksa melakukan itu maka kalian tidak akan mendapat hukuman mati." tukas Haridra yang tak tega melihat para pencuri. "Kami akan membantu kalian membujuk ayah kami agar tidak dihukum dengan berat,” tambah Hara. "Terima kasih Putri Hara, terima kasih Pangeran Haridra." Tampak di wajah para pencuri menjadi lebih tenang. Hara dan Haridra pun melanjutkan perjalanan mereka menuju ke istana. Tak lama waktu berselang mereka telah tiba di depan pintu gerbang istana Kerajaan Narayana. Para pencuri yang ditangkap itu tampak terpukau melihat keindahan dan kemakmuran dari kerajaan Narayana. "Andai saja aku terlahir sebagai warga dari kerajaan Narayana." Gumam salah satu pencuri. "Ya, betapa beruntungnya mereka terlahir sebagai bagian dari kerajaan ini." sahut pencuri yang lain sembari menunjuk ke arah warga yang sedang beraktivitas. Para pencuri itu terkagum-kagum dengan keindahan dan tatanan kota di Narayana sampai mereka tak menyadari mereka telah tiba di istana Narayana. Tampak Raja Rawindra, Daneswari telah menunggu kepulangan dari anaknya. Para prajurit juga disambut oleh keluarga mereka masing-masing, terlihat Hansa juga ikut menyambut kedatangan Hara dan Haridra. Jyotika, Ankara dan Mahabala juga ikut dalam penyambutan tetapi mereka tampak tak senang dengan kedatangan Hara dan Haridra. Terlihat juga Gandini yang mengenakan baju pelayan dan Gandana memakai seragam prajurit. "Syukurlah kalian telah kembali dengan selamat, Putra-putriku." Sambut Daneswari sembari memeluk kedua anaknya. Raja memerintahkan para prajurit yang ikut serta dalam pelatihan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing untuk beristirahat. Rawindra juga menyuruh Hara dan Haridra masuk ke istana bersama-sama, selanjutnya ia meminta Ponda yang merupakan kepala prajurit untuk memindahkan para pencuri ke penjara untuk diadili nanti siang. "Ponda, bawa lah para pencuri itu ke penjara dan awasi mereka." "Siap, Yang Mulia." Ponda segera melaksanakan perintah dari sang Raja. Sesampainya di dalam istana Rawindra menyuruh Hara dan Haridra untuk beristirahat di kamar mereka, dan akan di panggil untuk mengikuti persidangan para pencuri nanti siang. "Untuk sekarang beristirahat lah di kamar masing-masing, nanti siang aku akan mengutus seseorang untuk memanggil kalian dalam mengikuti persidangan para pencuri." "Baik, Ayah. Kami akan undur diri.” Setelah Hara dan Haridra berpamitan, mereka pun beranjak pergi, akan tetapi bukan untuk beristirahat melainkan untuk menemui Hansa. Mereka menemui Hansa di kandang kuda, karena Hansa sedang mengistirahatkan kuda-kuda yang dipakai untuk perjalanan pulang Hara dan Haridra tadi. "Kakak apa yang menyebabkanmu harus kembali ke istana kemarin malam?" tanya Hara yang sudah tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. Hansa yang sedang memberi makan kuda itu menoleh ke belakang. Ia menceritakan semua apa yang terjadi pada kemarin malam. "Paman Ankara lah yang menghasut para pengungsi ilegal untuk melakukan tindakan pencurian, aku dipanggil pulang ayah karena aku adalah orang yang bersangkutan dalam masalah pencurian itu." Sontak itu membuat Haridra kaget tetapi tidak dengan kakak perempuannya—Hara, karena ia telah menebak bahwa Ankara lah yang telah menghasut para pengungsi ilegal itu untuk melakukan pencurian. "Sudahku duga Paman Ankara lah yang telah menghasut para pengungsi ilegal itu." Hara bergumam pelan. "Tapi apa motif dari Paman Ankara melakukan hal itu?" Haridra menyahut lirih. "Sudahlah lupakan saja masalah itu, Paman hanya tak sengaja memberi tahu para pengungsi tersebut bahwa di dalam gudang penyimpanan masih ada banyak makanan, aku juga telah memaafkan Paman Ankara." Sontak mendengar ucapan Hansa, Hara menjadi kaget. "Apa kakak memaafkan paman Ankara semudah itu? Tak mungkin dia hanya tak sengaja, dia pasti telah merencanakannya jauh-jauh hari." Hara tampak emosi, kenapa kakaknya Hansa bisa memaafkan Ankara semudah itu? Sedangkan Haridra yang sudah tahu sifat pemaaf milik kakaknya itu hanya terdiam dan tak angkat bicara. Setelah obrolan mereka selesai Hara dan Haridra kembali menuju kamar mereka masing-masing untuk beristirahat. Sedangkan Hansa masih memberi makan para kuda setelah tertunda akibat kedatangan adik-adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD