Vidya hanya dapat meremas selimut dengan keras saat mendengar panggilan Yudistira kepada Hanie yang begitu lembut. Dadanya dipenuhi oleh kemarahan yang seakan membakar tubuhnya. Air matanya yang membandel terus saja membasahi kedua pipinya dan membuat hidung Vidya tersumbat.
"Pria pembohong!" desis Vidya penuh dengan kemarahan dan rasa kecewa.
"Iya Mas," sahut Hanie dengan berdesah yang membuat Vidya semakin dibakar amarah.
"Lebih baik kamu tinggalkan ruangan ini, aku dan calon istriku mau istirahat." Hanie tersentak saat mendengar perkataan dari Yudistira yang tidak ramah itu.
"Mas Yudis koq tega mengusir aku dari sini? Padahal aku sudah jauh-jauh menjenguk Mas ke sini. Mas pasti bercanda 'kan ya?" ucap Hanie yang segera mengubah air wajahnya menjadi memelas.
"Hanie, aku enggak bercanda. Cepat tinggalkan ruangan perawatan kami sekarang juga," ulang Yudistira dengan penuh penekanan.
Hanie yang kesal dan merasa dipermalukan segera berlalu, suara hentakan sepatu yang beradu dengan lantai mengiringi kepergiannya. Setelah bayangan Hanie tak lagi terlihat, Yudistira menghembuskan napas berkali-kali.
''Vidya ..." Panggil Yudistira lembut, tak ingin membuat Vidya terkejut .
Namun gadis itu hanya terdiam dan larut dalam kesedihannya. Mata yang membengkak sama sekali tidak mengganggunya. Vidya merasa dunia ini semakin menyeramkan sejak Steven meninggalkannya.
"Vidya, Vidya jangan melamun!" Yudistira berusaha memanggil Vidya, pria itu seketika cemas saat melihat tatapan kosong yang ditampilkan oleh gadis itu.
Tidak ada pilihan lain, terpaksa Yudistira memencet bel untuk memanggil bantuan. Infusan yang ada ditangannya menyulitkan Yudistira untuk bergerak.
Seorang suster tak lama masuk dan Yudistira segera memberitahu kondisi Vidya, sambil mengulas senyum tipis sang suster berjalan menuju ke ranjang Vidya mencoba untuk menyadarkannya. Butuh waktu lama hingga Vidya merespon panggilannya.
"Bu, apa yang dirasa sekarang?" tanya suster setelah memeriksa kondisi Vidya.
"Saya mau marah rasanya, Sus," jawaban Vidya hanya ditanggapi oleh senyum profesional oleh sang suster.
"Kalau begitu Ibu mesti banyak nonton film atau main game biar enggak terlalu kesal," ucap sang suster kembali.
"Saya nggak terlalu suka main game dan film favorit saya biasanya action atau horor," sahut Vidya dengan nada datar.
Sang suster yang tak habis akal segera menawarkan Vidya untuk bermain game, setidaknya pikiran ibu hamil itu tidak boleh kosong agar tidak dapat berkelana ke mana-mana.
"Sayangnya Ibu belum boleh menonton film action atau horror saat ini.bMungkin Ibu harus mencoba game mewarnai, saya kadang memainkannya jika sedang suntuk."
"Game mewarnai ada di handphone?" tanya Vidya setengah tak percaya.
"Sekarang semua jenis game ada, Bu. Tinggal disesuaikan saja untuk kebutuhan."
Vidya tampak tertarik saat mendengarkan penjelasan sang suster dan itu membuat Yudistira sedikit menghela napas lega. Setidaknya Vidya tidak akan berlama-lama menahan amarahnya.
***
"Sudan gua duga, dengerin lo enggak ada manfaatnya. Mas Yudis malah kayak jijik gitu lihat gua dan yang lebih sialannya lagi, Mas Yudis bentak gua di depan p*****r kecil itu!" Hanie yang sudah berada di dalam mobil sang teman langsung menyemburkan amarahnya.
"Koq bisa? Padahal rata-rata cowok itu enggak akan tahan klo disodorin cewek yang seksi dan pakaiannya terbuka. Lo yakin cowok yang jadi incaran lo itu laki tulen? Jangan-jangan dia kaum belok lagi." Hanie yang semakin kesal langsung menjitak kepala sang teman dengan gemas.
"Sembarangan aja lo kalo ngomong! Mas Yudis itu laki tulen, buktinya aja Mbak Hanna aja sampai hamil. Ya, meskipun akhirnya meninggal juga karena pendarahan," ucap Hanie yang agak malas saat menyebutkan nama sang kakak.
"Sumpah, Han. Sampe sekarang gua enggak ngerti sama lo yang kelihatannya enggak ada sedihnya pas ngebahas mendiang kakak lo. Lo tuh yang kayak happy banget," sahut sang teman dengan nada heran.
"Apa iya begitu? Mungkin cuma perasaan lo aja. Ah iya, lo ada ide lain enggak yang lebih berguna untuk membuat Mas Yudis kepincut sama gua? Harga diri gua kayak anjlok banget karena kalah saing sama bocah genit itu," tanya Hanie yang seketika teringat akan Vidya.
"Sekarang sih lo cuma bisa pakai cara agresif dan curang, Han. Enggak mempan rasanya kalo pakai cara biasa buat cowok pujaan lo itu," ucap sang teman setelah berpikir beberapa saat.
"Oke gas lah, gua enggak peduli bagaimanapun caranya yang penting Mas Yudis jadi milik gua akhirnya dan p*****r kecil itu yang akan menangis darah akhirnya," desis Hanie yang membayangkan kehancuran Vidya.
***
Hanie yang sedang memeriksa bahan-bahan untuk membuat pesanan gaun pesta menghentikan pekerjaannya saat mendapatkan telepon dari Andri. Wanita itu tersenyum lebar sebelum mengusap ikon telepon bewarna hijau.
"Hanie, kamu ada di mana sekarang?" tanya Andri.
"Iya Om, aku lagi ada di butik sekarang. Banyak banget pesanan gaun pesta untuk 2 bulan ini," jawab Hanie yang masih memindai barang-barang yang ada di dalam gudang.
"Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal yang ingin Om bicarakan dengan kamu. Akan Om share lokasinya." Dahi Hanie berkerut saat mendengar permintaan Andri.
"Oh oke Om, aku waktu 15 menit untuk merapikan pekerjaanku," ucap Hanie yang segera memutuskan sambungan telepon.
Tak lama pesan dari Andri masuk, ternyata pria itu mengajak bertemu di sebuah restoran yang berjarak 5 kilometer dari butiknya berada. Cukup jauh sebenarnya dan dia harus melewati kemacetan ibu kota yang tidak mengenal waktu ini. Tapi demi mendapatkan Yudistira, Hanie dengan sukarela melakukannya.
"Hanie, sepertinya Yudis bersikeras untuk menikahi p*****r kecil itu. Om tidak bisa mengubah keputusannya," ucap Andri saat keduanya sudah bertemu.
"Om tenang aja, aku enggak akan menyerah begitu saja dari p*****r kecil itu," sahut Hanie dengan menyeringai sinis.
"Rupanya kamu sudah memiliki rencana untuk menjauhkan p*****r kecil itu dari Yudis. Bagus, bagus," timpal Andri.
"Karena aku benci melihatnya berdekatan dengan Mas Yudis. Aku enggak rela jika calon suamiku harus jatuh dalam pelukan gadis binal itu," sahut Hanie dengan kebencian yang kentara.
Masih teringat jelas bagaimana Yudistira mengusirnya kemarin di rumah sakit dan dihadapan Vidya yang menangis. Tapi menurut Hanie, tangisan Vidya adalah sebuah kamuflase untuk mendapatkan simpati dari Yudistira.
"Kalau begitu kamu harus tunjukkan siapa kamu di depan p*****r kecil itu. Om sangat berharap kamu yang akan menjadi menantu Om selanjutnya. Soalnya kamu mirip sekali dengan Hanna, kakakmu. Pasti Yudis akan bahagia jika menikah dengan kamu, secara kalian tidak perlu melakukan pendekatan lagi kepada keluarga masing-masing."
Hanie hanya mengulas senyum tipis saat Andri mengungkit sang kakak. Padahal dalam hati dia ingin mengumpat jika mereka adalah dua orang yang berbeda. Bagaimana mungkin Andri bisa menyamakannya dengan Hanna?
"Aku juga berpikir Mas Yudis akan bahagia jika menikah denganku. Secara fisik aku dan Mbak Hanna sedikit mirip, jadi seharusnya Mas Yudis enggak terlalu butuh banyak waktu untuk mengenalku lebih lanjut," ucap Hanie dengan manisnya.
"Jadi kapan kamu mau menjalankan rencana itu?" tanya Andri.
"Mungkin lusa, Om. Aku enggak mau membuat Mas Yudis lebih waspada."
"Ya anak itu memang mirip Om kalau dilihat dari sifat waspada dan keras kepalanya," komentar Andri lebih mengarah pada gumaman kecil.
"Om tenang saja, aku akan menyadarkan Mas Yudis jika aku ini pilihan terbaik daripada p*****r kecil itu," ucap Hanie dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Baru saja Hanie akan membuka mulutnya, matanya sontak melebar. Tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.
"Bagaimana ini? Kenapa dia bisa berada di restoran mahal seperti ini?" tanya Hanie di dalam hatinya.