Kesucian yang terenggut
"Om, badanku terasa panas dan sangat menyakitkan!" pekik gadis bernama Vidya Adiatmo sembari menekan bagian d**a dengan tangannya. Membuat Yudistira terkejut hingga mulai menimbulkan perasaan asing dalam diri pria itu.
Pria yang merupakan sahabat dari Steven Adiatmo–ayah Vidya itu sangat menyesal karena telah mengizinkan Vidya menikmati pesta tanpa pengawasannya hingga meminum minuman yang sepertinya sudah dicampur obat perangsang.
Gaun model sabrina yang dikenakan oleh Vidya kini semakin turun dan mulai menampakkan sesuatu yang tak seharusnya dilihat Yudistira. Dengan cepat pria berusia 38 tahun itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat.
"Yudis, hentikan pikiran kotormu itu! Ingat dia Vidya, anak temanmu!" Yudistira mulai frustasi. Menahan percikan hasrat yang entah kenapa mulai membuat bagian intinya mengeras.
“Om, panas, Om ….” Vidya kembali meraung. Tubuh gadis itu tampak menggeliat liar di kursi samping kemudi.
"Sial! Berarti benar, laki-laki itu ingin mencelakai Vidya. Mereka pasti sudah menaruh obat perangsang ke dalam minumannya." Yudistira tampak kesal. Mengepal erat tangannya. Mengingat geram saat di pesta, sewaktu Vidya meminta izin untuk pergi menikmati pesta bersama pria yang disukai gadis itu. Seharusnya, ia tak mengizinkannya.
"Om ... sakit sekali, kenapa makin panas? Tolongin aku, Om!” Vidya merengek. Terlihat air mata mulai membasahi kedua pipinya.
"Vidya ... apa yang harus Om lakukan sekarang?" gumam Yudistira mulai melajukan mobilnya.
Hanya ada satu tujuan yang dipikirkan Yudistira. Ya, apartemen di mana pria itu tinggal. Kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada saat ini. Meskipun di rumah Steven sedang tidak ada siapa-siapa. Namun, Yudistira tidak berani mengambil risiko jika salah satu pekerja yang ada di rumah itu memergokinya membawa Vidya dalam keadaan tak terkendali seperti saat ini. Pria itu tidak ingin nantinya akan menimbulkan kesalahpahaman. Bisa-bisa mereka akan menganggap Yudistira hanya memanfaatkan kepolosan Vidya untuk mendapatkan apa yang diinginkan atau yang lebih parahnya, ia akan di-cap sebagai pria c***l yang m***m karena ingin menggagahi seorang anak gadis.
"Om Yudis ... baju aku sepertinya terlalu ketat, aku mau buka aja di sini."
Yudistira segera mengusap wajah dengan kasar, bingung menghadapi kelakuan Vidya yang semakin tak terkendali. Tangan mungil gadis itu kini terlihat sudah menggapai resleting yang berada di belakang tubuhnya. Gerakan Vidya yang semakin sensual mulai menghilangkan akal sehat Yudistira.
"Jangan lakukan itu, Vidya! Sebentar lagi kita sampai di apartemen Om." Dengan tangan bergetar Yudistira berusaha mempertahankan kemudi. Tak berani menatap Vidya lebih jauh karena itu hanya membangkitkan hasratnya yang kian bergejolak.
***
Akhirnya, dengan penuh perjuangan Yudistira berhasil membaringkan Vidya ke ranjangnya. Gadis itu semakin menggeliat tak karuan disertai dengan jeritan kesakitan dan rasa panas yang membakar tubuhnya, padahal pendingin udara yang ada di dalam kamar sudah Yudistira atur sedingin mungkin. Namun nyatanya, peluh yang bercucuran dari pori-pori kulit Vidya semakin deras.
Yudistira sadar jika dia harus meninggalkan Vidya, sebab hasratnya sudah mulai tidak terkendali. Celananya terasa sesak dan membuat kepalanya berdenyut hebat. Dia tidak mau berbuat jauh yang akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari, apalagi gadis yang terbaring di ranjangnya adalah anak dari sahabat yang sudah dikenalnya selama 20 tahun.
Baru saja pria itu ingin melangkah pergi, Vidya entah kapan sudah berdiri dan menariknya hingga jatuh menimpa tubuh gadis itu. Wajah Vidya semakin memerah dan embusan napas yang mengenai leher Yudistira membuat jantung pria itu semakin memacu dengan cepatnya.
"Om … tolong aku, ini sakit banget!” pinta Vidya dengan lirih. Tangannya melingkar pada leher Yudistira dengan erat dan membuat tubuh mereka saling menempel erat.
"Vidya, lepaskan Om! Jangan seperti ini! Om tidak mau nanti kamu akan menyesali semua ini.”
Yudistira menggeram di sela kewarasan yang sedang berperang dengan nafsu primitifnya, apalagi aroma parfum Vidya yang lembut membuat Yudistira mabuk kepayang. Rasa asing yang belum pernah ia alami sebelumnya, bahkan bayangan mendiang istrinya kini muncul saat bersama dengan Vidya.
"Enggak mau! Pokoknya Om harus nolongin Vidya dari rasa sakit ini." Rengekan yang disertai isak tangis kembali keluar dari bibir Vidya.
"Vidya, cepat lepaskan Om!" pekik Yudistira sambil memejamkan mata, menikmati bagian d**a Vidya yang semakin mengeras. Namun nihil, ucapan Yudistira hanya dianggap sebagai angin lalu saja karena gadis itu semakin liar bergerak di bawah Yudistira. Bahkan secara tidak sadar, tangan kanan Vidya menyusuri rambut halus yang mulai tumbuh pada wajah Yudistira.
"Vidya, hentikan!" pinta Yudistira yang mencoba mempertahankan sisa kesadarannya.
"Om Yudis."
Panggilan dengan nada mendesah itu akhirnya meruntuhkan pertahanan Yudistira. Dengan cepat, pria itu mencium bibir merah yang sejak tadi memang sangat menggugah hasratnya. Erangan pun keluar dari mulut Vidya. Membuat Yudistira semakin bersemangat untuk menyusuri lekuk tubuh gadis yang sudah sepenuhnya menyerah dalam kuasanya itu.
"Aku harap kamu tidak akan menyesalinya, Vidya," ucap Yudistira dengan suara yang berat dan parau.
"Aku tidak akan menyesalinya, Om."
Tanpa banyak berkata, Yudistira mulai melucuti pakaian mereka berdua. Pandangan Yudistira meremang saat memandangi tubuh polos Vidya yang putih mulus. Kedua d**a Vidya menjadi pendaratan pertama dari bibir Yudistira. Setelah memastikan gadis itu sudah siap, Yudistira mulai memposisikan tubuhnya di depan Vidya.
"Ini akan menyakitkan untukmu, tapi aku akan berusaha selembut mungkin." Yudistira coba meyakinkan Vidya.
"Just do it, Om." Meskipun ini pertama kalinya untuk Vidya, gadis itu seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Aduh!" Vidya menangis saat Yudistira berusaha menembus pertahanannya. Yudistira yang melihatnya langsung mencium bibir Vidya dengan lembut untuk mengurangi rasa sakit yang seakan menyayat tubuh Vidya saat penyatuan itu berlangsung.
"Maafkan aku, Stev.” Yudistira tiba-tiba teringat akan sosok sahabatnya. Sahabat yang memang telah menitipkan Vidya untuk ia jaga selama pergi ke Semarang.
***
Vidya perlahan membuka mata dan memegang kepalanya yang terasa sakit. Dia masih belum menyadari jika ada seseorang yang tertidur di sampingnya sampai gadis itu merasakan ada sesuatu yang berat tiba-tiba memeluk pinggangnya.
Kepanikan langsung melanda gadis itu yang segera melontarkan pertanyaan di dalam hatinya. "Di mana ini?"
Perlahan Vidya menoleh ke arah samping dan terkesiap saat melihat tubuh seorang pria tegap yang masih terlelap itu. Tapi yang paling mengejutkan Vidya, pria itu adalah Yudistira. Masih memproses apa yang terjadi mengapa dirinya dapat satu ranjang dengan Yudistira, Vidya coba menggerakkan tubuhnya. Namun, rasa sakit pada inti tubuhnya membuat gadis itu menyadari sesuatu. Kesucian yang selama ini dijaganya telah direnggut oleh pria sahabat ayahnya.
"Om Yudis." Panggilan Vidya yang lirih itu membuat Yudistira terbangun.
"Vidya ...." Yudistira tercekat saat tubuh mereka yang polos hanya tertutup oleh selembar selimut.
"Om, apakah benar semalam kita telah …?" Vidya tak sanggup menyelesaikan ucapannya, tanpa bersuara air matanya mengalir dengan deras.
Yudistira yang tidak tahu harus berkata apa hanya terdiam dan memaki dalam hatinya. Rasa sesal bergelayut dalam diri pria itu. Mengapa semalam ia tidak dapat menahan godaan dari gadis yang sedang mabuk itu?
"Ya Tuhan! Aku harus berkata apa pada Mas Steven? Padahal dia sudah menitipkan putrinya padaku, tapi aku malah merusak masa depannya," pekik Yudistira sembari menjambak kedua rambutnya.
Tangisan Vidya yang semakin kencang akhirnya menyadarkan Yudistira jika keadaan keduanya masih belum berpakaian. Dan, melihat hasil mahakarya yang tercetak pada kulit Vidya membuat Yudistira menghela napas berkali-kali. Vidya harus segera membersihkan diri dari bekas pergulatan panas mereka berdua dan semoga saja gadis itu sudah semakin tenang dan dapat diajak berbicara dengan kepala dingin.
"Vidya?"
Vidya pun merespon panggilan itu dan menatap nanar Yudistira, matanya sudah sembab akibat terlalu banyak menangis.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Om?" Sebuah pertanyaan yang hanya Yudistira jawab dengan diam.
"Vidya kini seperti bunga yang gugur sebelum waktunya dan itu akibat kesalahanku," batin Yudistira penuh penyesalan.