Pancingan

1085 Words
"Vidya, jangan marah-marah kasihan dedek bayinya ntar stres," tegur Rianti. "Habisnya aku kesel banget sama Tante girang itu, masa dari awal ketemu sampai sekarang kayaknya sensi mulu sama aku," ucap Vidya sambil mencebikkan bibir. "Vidya, kamu jangan terlalu benci sama Hanie. Enggak mau 'kan kalau anak kamu nanti mirip dia pas lahirnya." Mata Vidya membulat dan dengan cepat dia mengetuk nakas di samping tempat tidurnya sambil menyebut amit-amit. "Ini juga berlaku untuk kamu, Yudis. Kamu Bapaknya, enggak lucu 'kan nanti anak kalian mirip Hanie," sambung Rianti dengan terkekeh. "Mama ... Jangan ngaco deh, enggak rela aku kalau anakku mirip dia." Rianti akhirnya tak dapat menahan tawa yang sejak tadi dia tahan, sebenarnya dia hanya sekadar menggoda keduanya. Sementara Yudistira dan Vidya hanya dapat menghela napas dalam, berharap jika semua yang dikatakan Rianti tidak akan terjadi. "Selamat siang, Bapak Ibu. Wah sepertinya ada hal gembira ya sampai calon nenek ini tertawa bahagia." Ketiganya serempak menoleh dan melihat dokter Yohana dan seorang dokter pria yang belum mereka ketahui namanya. "Siang juga Dok, iya ada hal lucu tadi dan lumanyan membuat rileks kami bertiga," jelas Rianti yang segera menyalami kedua orang dokter itu. "Oke, saya juga ke mari karena ingin melakukan sesi konsultasi dengan Ibu Vidya dan Pak Yudistira. Saya hari ini ditemani oleh rekan saya Dokter Didiet," "Silahkan, Dok. Apa saya sekarang harus keluar?" tanya Rianti kembali. "Tidak perlu, Ibu bisa sekalian mengamati dan belajar bagaimana mengatasi keadaan jika suatu saat Ibu Vidya atau Pak Yudis mengalami serangan panik." Rianti hanya mengangguk saat mendengar perkataan dokter Yohana. Meskipun tidak terlalu mengerti, Rianti bertekad akan melakukan semampunya. *** "Tolong lepaskan saya, saya mohon ampun karena sudah mendorong gadis itu. Saya hanya disuruh oleh seseorang." Suara putus asa seorang wanita terdengar dari bangunan ruko 4 lantai, wajahnya pun memucat. "Ya kalau begitu, lo tinggal bilang siapa yang udah nyuruh lo. Ini ditanya malah enggak tahu siapa, emangnya lo kaga punya mata apa pas lagi ngobrol sama orang yang nyuruh!" sentak seorang pria yang kesabarannya sudah habis. "Woi, jangan kasar-kasar sama cewek, Bro. Bos 'kan bilang kita hanya boleh nanya-nanya, jangan yang lainnya," sahut pria kedua dengan gemas. Pria pertama memandang sang teman dengan garang, merasa percuma jika bicara dengannya. Hembusan napas kasar berulangkali pria itu hembuskan untuk mengembalikan kesabarannya. "Saya mohon lepaskan saya, adik-adik saya pasti cemas karena saya tidak pulang beberapa hari ini," ucap sang wanita dengan wajah memelas. "Itu semua karena lo mau aja disuruh yang aneh-aneh. Dan sampai lo kasih tahu siapa yang ada di belakang lo, kita nggak bakal lepasin lo begitu saja." Ancam pria pertama dengan nada dingin. "Sudah saya katakan jika tidak mengenal wanita itu. Kami bertemu di kantin rumah sakit ..." "Sudahlah, kita tidak akan mendapatkan apa-apa jika hanya mengintrogasi wanita ini. Lebih baik kita tanyakan sama Bos apa yang harus kita lakukan selanjutnya," ucap pria ketiga yang sejak tadi terdiam. "Mungkin kita harus membawanya ke rumah sakit, Bos kan sedang ada di sana. Dan ternyata Bos setuju dengan ide ini," timpal pria keempat yang sedang memainkan ponselnya. "Hey wanita, lo denger itu. Ikut kita ke rumah sakit sekarang, tapi sebelum lo harus mandi dan berganti pakaian. Berdoa saja supaya Bos mau melepaskan lo," sentak pria pertama dengan wajah garang. Sang wanita yang mendengarnya hanya dapat menangis serta mengucap terima kasih di dalam hatinya. Karena kesempatannya untuk bebas terbuka lebar. *** "Mama mau pergi dulu, kalian bisa jaga diri sendiri 'kan?" tanya Rianti sambil melihat ponselnya, memastikan jadwalnya untuk 2 hari ke depan. "Bisa dong, Ma. Lagian aku sudah tidak diinfus lagi, jadi bisa jagain Vidya," ucap Yudis dengan yakin. "Kalau ada apa-apa cepat telepon Mama," ucap Rianti sekali lagi. ''Iya Ma, aku ngerti. Sekarang cepat Mama pergi sebelum sekertaris Mama yang cerewet itu meneror aku," bujuk Yudistira. "Vidya, Tante pergi dulu, ya. Oh iya kalau ada makanan yang mau kamu makan, cepat kasih tahu Yudis atau Tante." Rianti mengingatkan Vidya. "Aku belum tahu mau makan apa, Tante. Cuma pengen masuk kuliah aja, udah hampir 2 minggu aku enggak masuk," ucap Vidya dengan tertunduk. "Kamu mau masuk kuliah? Nanti tanya dokter ya, boleh atau enggak, nah sekarang kamu harus banyak istirahat biar cepat pulih." Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Rianti membuka suaranya. Bahkan dia juga mendelik kepada Yudistira yang akan membantah. "Tante pergi dulu, jangan terlalu banyak pikiran biar kalian cepat sembuh." *** Yudistira baru saja terbangun dari tidurnya saat para detektif yang disewanya memasuki ruangan rawat inap Vidya. Pria itu sebelumnya telah menyamakan cerita, jika keempat detektif itu adalah para pegawai di kantor Yudistira. "Bos, ini orangnya yang Bos cari," ucap sang ketua detektif yang menggenggam tangan wanita yang mendorong Vidya. "Terima kasih kalian mau repot-repot ke mari. Vidya, Om tidak bisa menjaga kamu seharian mulai besok, jadi Om berniat untuk memperkerjakan orang untuk menjaga kamu." Sang wanita yang mendorong Vidya, terkesiap saat mendengar perkataan Yudistira. Meskipun kedengarannya mudah, tapi dia yakin jika ada hal lain yang disembunyikan oleh pria bermata yang sedang menatapnya dengan tajam ini. ''Aku sih terserah Om aja bagaimana baiknya." "Apa Bapak yakin mau mempekerjakan saya untuk menjaga Ibu?" tanya sang wanita dengan tatapan mata takut. "Iya saya yakin, oh iya kamu sudah diberitahukan apa syarat jika diterima bekerja?" Meskipun bingung dengan perkataan Yudistira, sang wanita mencoba mengikuti alur yang dibuat oleh pria yang semakin menatapnya dengan tajam itu. ''Sudah Pak, saya tidak boleh melakukan kesalahan sekecil mungkin." Tak pelak jawaban dari wanita itu membuat Vidya bingung. "Om, dia 'kan hanya menjaga aku. Kenapa Om memperlakukannya seperti kriminal?" Pertanyaan Vidya membuat keenam orang itu mendadak tegang, tidak menyangka jika insting ibu hamil itu sangat kuat. "Dia memang kriminal, Bu boss," ucap keempat detektif di dalam hati. "Kita harus terus waspada, Vidya. Semua orang pernah dan pasti melakukan kesalahan, termasuk Om yang buat salah sama kamu dan papa kamu," ucap Yudistira yang berusaha tenang. "Oh iya, ngomong-ngomong siapa nama kamu?" tanya Vidya yang menoleh ke arah sang wanita. "Nama saya Jumariah, Bu," jawab sang wanita dengan perasaan bersalah kepada Vidya. Entah bagaimana respon Vidya jika mengetahui jika dia yang telah mendorong gadis itu tempo hari. "Oke Mbak Ria, enggak usah tegang gitu. Saya jadi ikutan tegang ini," ucap Vidya berusaha mencairkan suasana. "Dan kalian berempat, saya minta mulai besok salah satu dari kalian berjaga di sini. Kalian atur saja bagaimana jadwalnya, yang penting saya mau 24 jam ada yang berjaga di sini." titah Yudistira kepada keempat pria berbadan tegap itu. "Kita lihat saja apa kamu bisa berkelit saat aku melempar pancingan seperti ini," ucap Yudistira dalam hatinya saat melihat Jumariah yang nampak canggung saat berbicara dengan Vidya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD