Sovia mengajak Bima duduk di taman di depan sebuah rumah yang bangunannya klasik dan tidak jauh dari rumah eyangnya Sovia. Bima mengedarkan pandangannya ke arah rumah yang terlihat klasik di depan sebuah taman. Pandangannya masih berhenti di sebuah rumah klasik itu dengan pikiran yang menerawang ke mana-mana.
“Sov, itu rumah siapa, ya?” tanya Bima.
“Ehm ...rumah itu milik teman ayah, tapi sekarang orangnya sudah pindahke jakarta, Bim,” jawab Sovia. “Ada apa dengan rumah itu, Bim? Kok sepertinya kamu tahu soal rumah itu?” tanya Sovia.
“Aku sering lihat rumah yang hampir mirip dengan rumah itu. Dari halaman rumahnya yang luas, ukiran di dinding dan pintunya juga aku sering lihat. Pokoknya seperti kenal rumah itu, tapi di mana aku lupa,” jelas Bima.
“Aku setiap lewat depan rumah itu, aku selalu ingat seseorang, Bim. Entah sekarang di mana,” ucap Sovia.
“Seseorang? Siapa seseorang itu? Mantan pacarmu, atau teman dekatmu?” tanya Bima.
“Idih, mantan pacar! Mantanku kan Cuma satu itu, Bim. Dan, kamu tahu sendiri, kan?” tukas Sovia.
“Iya, aku tahu, terus siapa?” tanya Bima yang penasaran, karena terlihat raut wajah Sovia yang sedih dan mata memerah karena menahan tangis.
“Sov, kamu baik-baik saja?” Bima menyentuh bahu Sovia, karena mata Sovia tak lepas menerawang ke arah rumah tersebut.
“Aku tidak tahu sekarang dia di mana, Bim. Dia masih hidup atau tidak. Se—setelah kecelakaan itu, aku tidak sadarkan diri, dia pun sama. Aku takut, Bim. Takut dia ternyata sudah tidak ada. Teman kecilku yang sangat baik, yang sudah aku anggap seperti adikku sendiri, dia tertabrak mobil tepat di jalan itu. Dan, saat aku mau menolong, aku pun tertabrak mobil yang ada di belakangnya. A—aku tidak tahu setelah itu, aku mengalami trauma, Papa Reza dan Bunda juga sibuk menyembuhkan traumaku. Kamu ingat tidak saat kamu jenguk aku di rumah sakit, setelah aku kecelakaan. Itu aku kecelakaan di sini, Bim. Aku sedang liburan di rumah eyang, saat libur semester pertama,” jelas Sovia.
“Waktu kamu kelas dua atau tiga SD itu? Saat kamu kecelakaan terus kata ayah kamu sempat koma? Ya, aku Cuma dengar saja ayah cerita sama mama dan opa di rumah. Aku masih kecil, aku tidak terlalu tahu soal itu jadinya. Aku hanya ingat, saat aku menjenguk kamu, kamu sedang teriak-teriak seperti ketakutan saat itu,” ucap Bima.
“Iya, saat setelah kecelakaan, papa dan bunda memindahkan aku dari Rumah sakit sini ke Rumah sakit Surabaya. Dan, aku sama sekali tidak tahu teman kecilku itu di mana sekarang. Rumah itu adalah rumah teman kecilku, papanya sahabat ayah. Beliau baik dengan aku, mama dan papanya sangat menyayangiku, satu minggu aku liburan di sini sendiri, bunda dan papa tidak ikut, aku malah sering tidur di rumah itu, bersama temanku, karena dia memanggilku kakak. Kami seperti kakak beradik. Dan, sekarang aku tidak tahu dia di mana. Kata eyang pindah ke Jakarta sekarang, tapi sebelumnya sempat di Surabaya,” jelas Sovia.
Bima terus menerawang rumah yang katanya rumah itu milik sahabat ayahnya Sovia. Bima terus mencari jawaban dalam dirinya, karena dia sering sekali lihat rumah seperti itu, dan sering berkunjung di rumah yang modelnya sama persis dengan rumah yang sekarang ada di depannya.
“Sov, siapa nama teman kecilmu itu?” tanya Bima.
“Putri, panggilan dia putri. Ya, dia sangat suka dengan namanya sendiri. Dia selalu bilang, ingin jadi putri yang sangat cantik, karena nama dia Putri. Dia lucu, imut, anaknya manja, aku sayang sama dia, karena aku memang dari dulu ingin punya adik, dan ternyata malah bunda rahimnya bermasalah, dan tidak bisa hamil. Di tambah beliau hanya hidup satu ginjal saja. Itu kenapa aku sangat sayang dengan Putri, dan setelah kecelakaan itu, aku sudah tidak tahu bagaimana kabarnya, karena keluarganya pindah ke Jakarta. Eyang pun tidak pernah memberitahukan bagaimana keadaan Putri, Eyang Cuma bilang setelah kecelakaan dia dipindahkan ke Rumah Sakit di Jakarta, dan sekarang tinggal ke sana, karena papanya ada pekerjaan di sana, mungkin dia baik-baik saja sekarang, atau entahlah aku tak tahu,” jelas Sovia.
“Aku sering lihat rumah ini, tapi di mana aku kok lupa, ya?” ucap Bima. “Nama orang tua teman kecil kamu itu siapa, Sov?” tanya Bima.
“Namanya siapa aku lupa, nanti aku tanya eyang. Aku sebenarnya kalau ingat itu takut, Bim. Tapi, aku suka duduk di sini selama aku di Jogja, melihat rumahnya Putri, dan menerawang kenangan saat dengan dia sampai kejadian mengerikan itu muncul di ingatanku lagi,” ucap Sovia.
“Kamu sering lihat rumah ini di mana, Bim?” tanya Sovia.
“Ehm ... aku lupa, sebentar aku ingat-ingat dulu, Sov,” jawabnya.
Sovia hanya menggelengkan kepalanya. Mana mungkin ada rumah yang sama persis dengan rumah milik teman kecilnya itu? Sovia melihat Bima yang sedang serius memikirkan rumah yang ada di depannya itu. Sovia tidak yakin ada rumah yang sama seperti itu, tapi bisa jadi ada sih.
“Alesha! Ya, rumah itu mirip sekali dengan rumah Alesha!” ucap Bima dengan penuh keseriusan.
“Alesha? Masa sih?” tanya Sovia.
“Ya, rumahnya sama seperti rumah Alesha. Aku kan pernah ke sana. Makanya aku tidak asing dengan rumah ini, Sov. Tapi, kenapa bisa persis, ya? Sebentar aku lihat foto profil Alesha di kontaknya, sepertinya dia foto di depan rumahnya,” jelas Bima.
Sovia terdiam, dia ingat kejadian saat Alesha terlihat seperti ketakutan saat Bima memarahinya di toko bunganya. Dia melihat sorot mata Alesha sama dengan Putri, teman masa kecilnya.
“Masa Alesha itu Putri?” gumam Sovia.
“Nah ini Sov, benar kan sama persis rumahnya!” Bima memperlihatkan foto Alesha yang sedang berdiri di depan rumahnya. Sama persis rumah Alesha dengan rumah yang sekarang ada di depan matanya.
“Bim, kok sama? Ini kebetulan saja mungkin,” ucap Sovia. Namun, Sovia masih merasa ada keganjalan pada dirinya. Apalagi saat dia melihat gurat wajah Alesha kemarin dari dekat.
Sovia memang mengenal Alesha, tapi dia tidak terlalu akrab, hanya sebatas kenal, dia adik tingkatnya di kampus dulu, terus dekat dengan Bima, dan mau dijodohkan dengan Bima yang katanya ayahnya Bima teman papanya Alesha. Dia juga tidak pernah tahu soal kehidupan Alesha. Jangankan kehidupan Alesha, kenal Alesha saja saat kuliah, dan dekat dengan Bima, terus dilanjut perjodohan Alesha dengan Bima, yang kata Bima papanya Alesha sengaja meminta Bima untuk mempekerjakan Alesha di kantornya sebagai sekretaris, agar mereka semakin dekat, karena akan di jodohkan.
“Tapi, sorot mata Alesha sama dengan Putri, teman masa kecilnya dulu, masa Alesha sih?” gumam Sovia.
Sovia masih mengingat kejadian kemarin saat di toko bunganya. Dia masih mengingat dengan jelas sorot mata Alesha saat itu.
“Bim, siapa nama papanya Alesha?” tanya Sovia.
“Om Teguh, mamanya namanya Tante Maya. Tapi, mereka sudah bertahun-tahun di Jakarta, jadi Alesha di Surabaya dengan asisten rumah tangga dan sopir pribadinya saja. Orang tua Alesha pulang tiga bulan sekali, itu pun kalau sempat,” jelas Bima.
“Teguh, Maya? Aku tidak asing dengan nama itu. Ah, masa iya Alesha itu Putri?” gumam Sovia dengan tatapan kosong mengarah ke rumah milik teman kecilnya dulu.
“Sov? Kenapa?” tanya Bima.
“Eng—enggak, Bim. Heran saja, kok rumah ini sama dengan rumah Alesha, ya?” jawab Sovia.
“Mungkin hanya kebetulan saja sih. Sudah jangan pikirkan itu, sekarang kita pikirkan besok, besok jadi kan kamu ikut aku ke Surabaya? Kita bicara baik-baik dengan mama,” ucap Bima.
“Insya Allah aku ikut, tapi kalau mama kamu tetap tidak mau menerimaku?” tanya Sovia.
“Aku tidak peduli itu, Sov. Kita belum mencoba lagi, semoga mama bisa menerima hubungan kita,” ucap Bima.
“Oke, aku ikut,” jawabnya. “Pulang, yuk? Kasihan Aksa aku tinggal lama,” ajak Sovia.
Bima mengiyakan ajakan Sovia. Dia berjalan di sebelah Sovia, dan menggenggam tangan Sovia. Bima tidak mengerti kenapa dia benar-benar mencintai wanita yang ada di sebelahnya itu, padahal wanita itu adalah wanita yang sudah merusak kebahagiaan mamanya dan dirinya.
“Ma, maafkan Bima. Bima sangat mencintai Sovia. Bima tahu, Sovia yang mengambil papa dari mama dan Bima, tapi Bima mencintainya, Ma. Bima mohon restui kami,” gumam Bima dengan menggenggam tangan Sovia erat.