Bima sudah sampai di Surabaya siang ini bersama Sovia. Dia mengajak Sovia ke kantornya dulu untuk menemui Bagas. Bima sudah membicarakan semua dengan Bagas soal tujuannya pulang ke Surabaya bersama Sovia.
“Aku tunggu di mobil ya, Bim?” ucap Sovia.
“Enggak, kamu ikut ke dalam. Bagas sudah tahu kok aku pulang sama kamu,” ucap Bima.
“Nanti Alesha ngadu sama mama kamu, Bim?” Perasaan ragu dan takut masih menyelimuti Sovia. Dia sebenarnya masih belum berani untuk menemui keluarga Bima, terutama mamanya.
Sovia masih terdiam, mengatur rasa takutnya. Keringat dingin di tangannya sudah ia rasakan. Sovia hanya takut mamanya Bima sakitnya kambuh kalau Bima tetap nekat bicara soal kemauannya. Riri memang memiliki riwayat sakit darah tinggi.
“Ayo ikut turun,” ajak Bima sedikit memaksa.
“Aku di sini saja, Bim.” Sovia menolak ajakan Bima.
“Tapi, nanti harus mau kalau menemui mama di rumah,” ucap Bima.
“Iya, Bim,” jawabnya.
Bima masuk sendiri ke dalam kantor. Sedang Sovia menunggu Bima di luar. Sovia berjalan ke sebuah mini market yang ada di depan kantor Bima. Ada sesuatu yang harus ia beli. Sovia berjalan santai menuju ke mini market. Pikirannya masih terganggu soal bagaimana nanti saat bertemu dengan mamanya Bima. Apa mamanya Bima mau memberikan restu padanya, atau mungkin malah mengusirnya?
mata Sovia menajam melihat ke arah jalan raya di depannya. Seorang perempuan dengan rambut yang tergerai lurus terlihat menyebrangi jalan dengan santai, padahal ada sebuah mobil yang melaju cepat.
“Awas ...!” teriakan Sovia tidak didengar olehnya. Sovia berlari dan menarik tubuh perempuan itu yang hampir saja tertabrak mobil.
“Aaaa ...!” teriak perempuan itu saat melihat mobil yang melaju semakin dekat.
“Ahhkkkk ....!” Sovia berhasil menarik tubuh gadis itu ke tepi jalan raya.
“Sakit ...!” pekik mereka bersama.
Mereka beradu pandang. Sovia mengingat kejadian yang sudah puluhan tahun terjadi. Seketika air matanya membasahi pipinya, mengingat gadis kecil yang tak lain adalah teman masa kecilnya yang bernama Putri tidak bisa ia selamatkan saat mobil akan menabraknya.
“Putri, maafkan Kakak,” ucap Sovia di sela isakannya.
Begitu juga perempuan yang Sovia tolong, pandangannya masih menatap Sovia dengan tatapan yang entah tidak bisa diartikan. Air matanya meleleh dari sudut matanya.
“Kak Sovia?” panggilnya lirih dengan sesegukan.
“Al?” Sovia baru sadar yang ia tolong adalah Alesha.
“Kamu tidak apa-apa, Al?” Sovia mendekati Alesha dan melihat bagian tubuh Alesha kali saja ada yang luka.
“Kak Sovia tidak apa-apa? Alesha juga melihat keadaan tubuh Sovia.
“Aku tidak apa-apa, Al. Paling lecet sedikit. Ayo aku bantu kamu bangun. Lain kali lihat kanan kiri kalau mau menyabrang, ya?” ucap Sovia.
“Mbak kalian tidak apa-apa?” tanya seseorang yang melihat kejadian itu.
“Kami tidak apa-apa, Pak,” jawab Sovia dan Alesha bersamaan.
“Ayo Al, aku bantu.” Sovia yang sudah bangun dari jatuhnya terlebih dulu, dia mengulurkan tangannya pada Alesha. Alesha menggenggam tangan Sovia, dan bangun dari jatuhnya.
“Makasih ya, Kak.” Alesha mengucapkan terima kasih pada Sovia. Tidak seperti biasanya, dia yang selalu ketus dan sangat membenci Sovia, sekarang dia ramah dan tidak kasar lagi dengan Sovia.
“Iya sama-sama, Al. Bisa jalan sendiri?” tanya Sovia.
“Sakit kak kakinya,” jawab Alesha. Kakinya sepertinya sedikit terkilir dan sulit untuk berjalan.
“Ayo aku papah kamu sampai ke dalam.” Sovia merangkul tubuh Alesha yang lebih kecil darinya.
Alesha berjalan di samping Sovia, mereka masuk ke dalam kantor. Sovia mengantar Alesha samapai ke dalam, ke ruang kerjanya. Sovia mendudukan Alesha di sofa yang berada di depan meja kerja Alesha.
“Al, celana kamu sobek, coba ke atasin kali saja lutut kamu terluka.” Sovia melihat celana Alesha yang dibagian lutut sobek. Alesha melingkis celananya ke atas sampai lutut. Benar yang dikatan Sovia, lututnya terluka. Ada sedikit bercak darah di lututnya.
“Kak berdarah ....” Alesha berkata dengan suara yang gemetaran dan raut wajah seperti ketakutan.
“A—ada obat merah atau apa? Di mana kotak obatnya, Al?” Sovia gugup dan juga gemetar melihat luka di lutut Alesha.
“Di sebelah sana, Kak.” Alesha menunjukkan di mana letak kotak obat.
Sovia bergegas mengambil kotak obat itu. Meski dia ketakutan, di sebisa mungkin menghilangkan rasa takutnya karena melihat luka yang berdarah. Sovia berjongkok di depan Alesha, dia langsunga mengoleskan kapas yang sudah di beri rivanol untuk membersihkan luka, sebelum ia mengoles obat luka pada lutut Alesha.
“Kak, sakit. Pelan-pelan, Kak ...,” pekik Alesha.
“Ini sudah pelan, Al,” ucap Sovia.
Alesha mencengkram bahu Sovia karena merasakan sakit di bagian lututnya. Dia menangis, merasakan perih di lututnya, juga mengingat saat dulu ia ditolong sahabat kecilnya saat jatuh.
“Kak Laras, aku kangen ....” Alesha memekik lirih, namun terdengar oleh Sovia.
“Laras?” Sovia langsung mengucapkan nama Laras dengan memandang wajah Alesha.
“Ehm ... maaf, Kak. Aku ingat seseorang saja,” ucap Alesha.
“Kakak kamu? Atau saudara kamu?” tanya Sovia.
“Aku anak tunggal, Kak. Jadi tidak punya kakak. Kak Laras orang yang sangat baik, Kak. Dia teman masa kecilku. Kalau aku terluka, pasti dia yang mengobati lukaku. Pernah aku terjatuh karena berlarian, dia menolongku dan mengobati lukaku. Dan, suatu hari kami berpisah karena kejadian yang mengerikan. Kami tertabrak mobil. Saat Kak Laras akan menolongku, dia malah tertabrak mobil lain, dan aku sama, kami sama-sama tertabrak mobil dari arah yang berbeda, sejak itu kami berpisah. Aku tidak tahu di mana dia sekarang, apa dia baik-baik saja, atau entah bagaimana aku tidak tahu.” Alesha menjelaskan dengan sesekali mengusap air matanya yang menetes di pipi.
Sama juga dengan Sovia, dia mengingat kejadian yang sama juga seperti Alesha. Saat dia akan menolong teman kecilnya yang bernama putri, dia malah tertabrak mobil dari arah yang berbeda. Sovia menangis mengingat semua itu, kejadian yang sama, dan nama Laras yang mungkin Alesha sebut adalah namanya, karena Eyangnya memanggil dia saat dia kecil dengan panggilan Laras. Tapi, Sovia masih ragu, apa Alesha adalah Putri? Teman masa kecilnya dulu.
“Kak Sovia kenapa nangis?” tanya Alesha.
“Kejadian yang sama, Al. Aku pernah mengalami hal yang sama degan kamu. Gadis kecil itu bernama Putri. Gadis kecil yang aku anggap seperti adikku sendiri. Sekarang aku tidak tahu di mana dia, setelah kecelkaan itu. Kami sama-sama tertabrak, dan setelah itu aku tidak tahu, karena setelah aku sadarkan diri, aku sudah berada di Surabaya lagi, bukan di Jogja,” jelas Sovia.
“Putri? Saat kecil aku dipanggil dengan panggilan Putri, tapi setelah kejadian itu, di Sekolahanku yang baru, aku dipanggil Alesha. Jangan bilang kita pernah kenal, Kak. Dan apa kakak itu Kak Laras?” Alesha langsung menanyakan hal itu pada Sovia. Dia tidak mau basa-basi lagi, karena saat dia melihat Sovia dari dekat di toko bunga Sovia, dia seperti melihat Laras, teman masa kecilnya.
“Namaku Sovia Larasati. Aku dipanggil Laras, kalau aku bersama eyangku di Jogja. Tapi bunda, ayah, dan Papa Reza memanggil aku Sovia,” jelas Sovia.
“Entah ini suatu kebetulan saja, atau kita memang berada di kejadian yang sama saat itu, aku tidak tahu, Al. Kejadian itu terjadi di Jogja, di jalan yang berada di depan rumah Putri. Kami sedang bermain di halaman rumah Putri yang luas, dengan beberapa teman yang lain. Saat itu, Putri akan mengambil bola yang keluar dari halaman rumahnya, bola itu menggelinding ke jalan raya, Putri mengejarnya, dan seperti tadi yang aku ceritakan, dia tertabrak mobil, dan aku yang akan menolong, malah ikut tertabrak mobil dari arah yang berbeda,” jelas Sovia.
“Di Jogja? Aku dari kecil di sini, bukan di Jogja. Tapi, kejadiannya sama seperti yang Kak Sovia ceritakan. Kejadian itu juga tepat di depan rumahku, tapi ... ehm ... rumah ku depannya bukan jalan utama, melainkan jalan biasa. Ah mungkin dulu saat aku kecil itu jalan yang cukup ramai,” ucap Putri.
“Entah, Al. Aku sampai sekarang masih ingin tahu keadaan Putri,” ucap Sovia.
“Aku pun sama, Kak. Bagaimana Kak Laras sekarang aku tidak tahu,” ucap Alesha.
“Nama kamu siapa? Kok kamu dipanggil Putri?” tanya Sovia.
“Alesha Naira Putri. Aku yang mau dipanggil Putri, karena aku ingin menjadi seorang Putri seperti di negeri dongeng. Papa dan mama memanggil aku Alesha, setelah aku tahu nama lengkapku ada nama Putri di belakangnya, aku meminta semua memanggilku Putri. Ya, namanya juga anak kecil mungkin kak, jadi seperti itu. Tapi, setelah kecelakaan itu, aku kembali dipanggil Alesha, karena teman-temanku memanggil aku Alesha,” jelas Alesha.
Alesha masih mengobrol dengan Sovia. Dia semakin akrab dengan Sovia, meski dia masih ragu apa benar Sovia adalah teman masa kecilnya, begitu juga dengan Sovia. Dia juga merasakan hal yang sama, dia sedikit bingung dengan yang terjadi, karena semua sama, baik kejadian yang menimpa dirinya dengan Alesha. Sama saja, tapi kata Alesha itu terjadi di depan rumahnya di sini.
“Alesha, Sovia?” Suara seorang laki-laki dari arah depan memanggil mereka.
“Papa? Papa kok di sini? Papa kok kenal Kak Sovia juga?” Alesha melihat papanya yang datang ke kantor dengan napas yang masih terengah-engah, karena beliau tahu dari satpam, kalau Alesha hampir saja tertabrak mobil.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Papanya Alesha.
“Enggak, Kak Sovia sudah mengobatinya. Kok papa di sini? Dan tahu nama Kak Sovia?” tanya Alesha.
Pak Teguh hanya terdiam, beliau tahu sekali siapa Sovia. Tapi, dia belum berani menceritakan semua pada Alesha. Itu kenapa Pak Teguh tidak meneruskan niatnya menjodohkan Alesha dengan Bima, karena Sovia adalah anak Arfan, sahabat lamanya, dan dia juga sudah berkorban untuk putrinya, meski sama-sama mengalami kecelakaan saat itu.
“Mungkin ini saatnya aku harus menceritakan semua pada Alesha,” gumam Pak Teguh.