Mulai Jatuh Cinta

1808 Words
Tepat di hari minggu pagi, seperti ucapan Evan minggu lalu. Hari Ini Ia akan mengajak Ayra untuk tinggal bersama di rumah pribadinya, yang telah Evan siapkan sudah sejak lama. Bahkan sebelum Evan mengenal dan bertemu Ayra. “Ayah, Ibu. Kalau gitu kami pamit dulu ya,” ucap Evan sopan. Pria tampan itu lalu mengulurkan tangannya, sambil mencium punggung tangan mertuanya dengan takzim secara bergantian. Dan tak lama Ayra pun mengikutinya dari belakang. "Ayah, Ibu.” Ayra hanya mengatakan hal itu tapi kedua bola matanya sudah berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya Ayra harus berpisah dengan kedua orangtuanya. Ibu Indah yang tak tega pun langsung memeluk erat anak bungsunya itu. "Jaga diri ya di sana, jadi istri yang nurut sama suami. nanti kalau ada waktu luang Ayah sama Ibu pasti main ke rumahmu,” kata Ibu Indah lalu mencium pipi kanan dan kiri anaknya dengan penuh kasih sayang. Ayra pun mengangguk paham, Ia lalu mengusap air matanya. "Aku pamit ya Bu, Yah. Assalamualaikum,” ucap Ayra pada kedua orang tuanya sebelum benar-benar pergi. Selama di perjalanan, Ayra tak berbicara sepatah katapun. Fokusnya hanya melihat pemandangan dari luar jendela. Evan sendiri sesekali hanya melirik ke arah sang istri, ia paham dan memberi waktu Ayra sejenak untuk berdiam diri. * * * Setelah melakukan perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah perumah cukup elit di kawasan Jakarta Selatan. "Assalamualaikum,” ucap Evan sesaat setelah membuka pintu rumahnya dengan lebar. Evan alu mempersilahkan sang istri untuk masuk ke dalamnya lebih dulu. “Ini rumah kita sekarang. Semoga kamu betah ya, Dek.” “Semoga ya, Mas,” kata Ayra lalu masuk kedalam rumah tersebut. Pandangan matanya menatap sekeliling, melihat keadaan di sekitarnya. Rumah ini tidak besar, bahkan terkesan lebih kecil dari rumah yang berada di kanan dan kiri nya. Ayra tebak sepertinya Evan ini suka tipe - tipe rumah yang simple namun tetap terlihat elegan dan mewah. “Dek, kamu berani kan di rumah sendiri kalau Mas tinggal kerja?" tanya Evan. Pria itu membawa langkah kakinya menuju dapur. "Insha Allah berani, Mas. Asal nggak ditinggal pas malam hari aja,” sahur Ayra. Ayra lalu berjalan menuju jendela yang terletak di sebelah kanan. Dari sini Ayra bisa melihat halaman belakang yang luas dan asri, ia jadi berpikir akan berkebun nanti jika bosan seharian di rumah ini tanpa melakukan hal apapun. "Diminum dulu, Dek,” titah Evan. Evan lalu memberikan satu buah minuman kaleng pada sang istri. Ayra tengah duduk di sebuah kursi rotan yang menghadap ke halaman belakang. Sementara Evan masih berdiri di sampingnya. Ayra pun tersenyum lalu menerima pemberian sang suami. "Makasih ya, Mas." ucapnya kemudian menenggak minuman itu hingga sisa setengah. “Dek Ayra.” “Hmm. Iya kenapa, Mas?” Ayra mendongak guna menatap lawan bicaranya. “Kamu lupa ya kalau suami mu ini seorang dokter?” kata Evan mengingatkan Ayra. “Iya?” Ayra masih lola dan bingung dengan perkataan suaminya barusan. Ia malah menatap Evan dengan alis yang menukik. Evan yang melihat ekspresi Ayra pun menjadi terkekeh pelan. Refleks ia langsung mengacak - acak puncak kepala istrinya itu dengan gemas. “Kamu takut ditinggal malam hari. Berarti kamu lupa kalau Mas bisa aja dapat jatah dinas malam di rumah sakit, atau tiba - tiba ada pasien yang butuh tindakan urgen pada malam hari.” Evan lalu menjelaskan maksud perkataan nya tadi. Ayra pun tersenyum canggung. “Mas aku boleh minta sesuatu?” tanya Ayra dan saat mendapat anggukan dari Evan, ia pun kembali melanjutkan perkataannya. “Kalau Mas dapat jatah dinas malam. Boleh nggak kalau aku tidur di rumah ibu?” tanya Ayra meminta izin pada suaminya. Evan mengangguk cepat. “Tentu saja boleh.” Hening! Tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara pasangan suami istri itu. Ayra sibuk memandangi rumput di halaman belakang sedangkan Evan? Sejak tadi pria tampan itu malah tidak mengalihkan pandangannya sedetik pun untuk menatap wajah cantik Ayra dari dekat. "Kamu bisa masak nggak, Dek?" tanya Evan. Ia kini sudah ikut duduk di samping sang istri. Ayra yang sedang asyik melamun pun menoleh. "Aku bisa masak cuman tumis-tumisan sama sayur sop doang, Mas. kalau masak menu yang lain belum bisa,” aku Ayra jujur. Selama ini Ayra jarang sekali membantu sang Ibu memasak di dapur. Menjadi anak perempuan satu - satunya di keluarga, membuat Ayra selalu diperlakukan istimewa oleh seluruh anggota keluarganya. Semua kebutuhannya bahkan telah disiapkan oleh Ibu Indah. Ini saja sudah sangat bersyukur Ayra bisa memasak meski hanya dua menu itu saja. Evan pun mengangguk paham. "Ya udah nggak masalah. Kalau kamu nggak mau masak nanti kita bisa jajan di luar,” ucap Evan lalu tersenyum. "Aku bukan nggak mau masak, Mas Evan,” sanggah Ayra cepat. “Tapi, aku cuma bisa masak kayak gitu tadi. apa Mas mau aku masakin tumis-tumisan mulu setiap hari? Nggak bosen?" Ayra malah balik bertanya. Ia lalu memberanikan diri menatap dalam manik mata setajam elang milik suaminya itu. Evan pun langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak akan bosan. Apapun yang kamu masak, pasti Mas makan,” ucap Evan pelan. Tangan kanannya terulur tanpa permis, mengusap - usap pipi kanan Ayra dengan penuh kelembutan. Tiba - tiba saja darah dalam d**a Ayra berdesir hebat, Ia bingung kenapa setiap di sentuh oleh sang suami tubuhnya seolah seperti terkena aliran listrik. Begitu membuatnya tersengat dan seketika membuat kinerja jantung nya menjadi lebih cepat. * * * Di kediaman Pak Ibrahim. Terlihat sepasang suami istri paruh baya itu tengah menikmati senja mereka di taman belakang rumah. "Ayah. Ibu kok jadi kepikiran Ayra ya?" ucap Ibu Indah pada sang suami. Pak Ibrahim lantas menoleh. "Kepikiran gimana, Bu?" tanya Pak Ibrahim balik bertanya. Beliau lalu menaruh kembali kopi hitam nya yang baru saja ia sesap di atas meja. "Nanti di sana dia sama siapa ya, Yah. Gimana kalau ditinggal kerja sama Mas Evan. Ayah kan tahu kalau Ayra itu penakut,” kata Ibu Indah yang terlihat sangat khawatir, memikirkan nasib anak bungsunya itu. "Lama-kelamaan nanti Ayra pasti berani, Bu. percaya sama Ayah. Udah sekarang Ibu nggak usah banyak pikiran,” ucap Pak Ibrahim. beliau lalu mengelus lembut punggung tangan sang istri, mencoba menenangkannya. Saat Ibu Indah akan menjawab ucapan sang suami, tiba-tiba ponselnya berdering. Buru - buru Ibu Indah pun mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum, Halo Mas gimana---" "Wa'alaikumsalam, Bu? Gimana bisa itu terjadi?" tanya seorang pria di seberang telpon dengan tidak sabaran. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ibu Indah terlihat bingung. "Itu gimana Ayra bisa nikah, Bu. Apa Ayah nggak menjelaskan semuanya dulu?" Pria itu kembali bertanya dengan nada menggebu - nggebu. Seolah tidak terima kala mendengar Ayra menikah dadakan. Ibu Indah pun mengulum senyuman di bibirnya. Ia sekarang baru paham akan ucapan anaknya itu. "Karena sudah takdir, Mas." jawab Ibu Indah singkat. "Ish ... Ibu mah orang, Mas nanya bener juga." Dari nada bicaranya sepertinya pria itu terlihat kesal saat ini. "Kalau, Mas tau ceritanya yang sebenarnya makanya pulang. Apa kamu nggak kangen Ibu sama Ayah, Mas. Udah satu tahun lebih kamu nggak nengokin Ayah sama Ibu,” ucap Ibu Indah tiba-tiba sedih, Ia kini tengah merindukan anak laki-laki nya itu. "Ibu, besok minggu insha Allah aku pulang sama Mas Akmal,” sahut pria itu kemudian. "Alhamdulillah. Ibu tunggu ya, Mas. Yaudah Ibu tutup ya telponnya. Assalamualaikum." "Iya, Bu. Waalaikumsalam." Dan panggilan telepon pun terputus. Ibu Indah lalu menaruh lagi ponselnya di atas meja. "Siapa, Bu? Akmal apa Arkan?" tanya Pak Ibrahim pada sang istri. "Arkan, Yah. Dia bilang mau pulang besok minggu sama Mas Akmal,” kata Ibu Indah dengan mata yang berbinar senang. Pak Ibrahim pun tersenyum senang. Jujur Ia juga merindukan kedua anak laki-laki nya itu, setelah setahun lebih tidak bertemu. Ya, Pak Ibrahim dan Ibu Indah, memiliki tiga orang anak. anak pertama mereka bernama A Akmal Muntasir Jaffan, berusia tiga puluh lima tahun. Sedangkan anak keduanya bernama Arkan Mahasin Kamil, berusia dua puluh dua puluh enam tahun. Setelah lulus kuliah keduanya memutuskan untuk merantau ke luar kota. Dengan Akmal yang bekerja sebagai pegawai BUMN di kota tersebut dan Arkan yang bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu instansi pemerintahan di kota yang terkenal dengan sungainya yang terpanjang di Indonesia. * * * Malam hari di kediaman Evan dan Ayra. "Dek, kamu udah tidur?" tanya Evan. Pria tampan itu baru saja masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya ada perlu keluar rumah sebentar. "Aku belum bisa tidur, Mas,” jawab Ayra dengan pandangan mata masih fokus pada layar ponselnya. Evan pun ikut mendudukkan di samping sang istri sambil bersandar pada kepala ranjang. “Dek?" panggil Evan lagi, kali ini sedikit pelan dam cenderung berbisik. Ayra pun menoleh. "Iya, Mas. Ada apa?” "Mas minta kalau kita lagi berdua seperti ini jangan ada yang main ponsel, bisa?" kata Evan sedikit mentitah. Ayra pun mengerutkan keningnya bingung. "Emang kenapa, Mas?" tanya Ayra penasaran. Masa iya bermain handphone saja di larang, begitu pikirnya. "Mas pingin kita menjalani rumah tangga ini layaknya orang lain pada umumnya. Mas tau kamu masih belum terima sama pernikahan ini. Tapi, apa salahnya kita mencoba dulu, Dek,” ucap Evan alu menggenggam erat tangan kanan sang istri. Ayra jadi gugup, saat tangannya di bawa tepat di depan wajah Evan. Tak lama pria itu mengecup punggung tangannya dengan lembut. "Kita mencoba dengan mengenal pribadi satu sama lain lebih dulu,” sambung pria tampan itu kemudian. “Iya, Mas,” jawab Ayra hanya singkat saja. Pikiran nya mulai nge blank, saat Evan menaruh telapak tangannya di d**a bidang Evan. “Kamu jangan salah paham ya, Dek. Mas nggak ngelarang kamu main hape kok.” Evan sempat menjeda sejenak ucapannya. “Mas cuman mau kalau kita lagi berdua gini bener-bener buat ngobrol. Tanpa ada yang main hape, kamu ngerti kan maksud, Mas?” Evan berkata dengan lembut, Ia lalu mengelus pipi chubby sang istri dengan ibu jarinya. Wajah Ayra bersemu merah saat di tatap dan di usap pipinya seperti itu, Ia pun menjadi malu dan sedikit salah tingkah. "Iya, Mas. Aku paham,” kata Ayra lalu menunduk malu. Ayra tidak berani menatap mata setajam elang milik suami tampannya itu. "Makasih ya, Dek. Kamu udah mau nurutin omongan Mas.” Perlahan tapi pasti, Evan mulai menarik dagu sang istri agar menatap wajahnya. "I-iya, Mas.” Ayra pun tergugup. Bagaimana tidak, jarak wajah dia dengan sang sang suami hanya beberapa inci saja. Perlahan Evan pun mulai memajukan kepalanya. Jujur ia ingin sekali mengecup bibir semerah cherry milik sang istri yang terlihat begitu menggoda. Namun, belum sempat hal itu terjadi Ayra sudah lebih dulu merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan langsung memunggungi Evan. "Mas, aku tidur duluan ya. Udah ngantuk,” kata Ayra pelan. Ia lalu menutup tubuhnya dengan selimut sampai sebatas dagu. "Iya. Good night, Dek,” jawab Evan singkat. Evan lalu ikut merebahkan tubuhnya di samping sang istri. Matanya terus menatap punggung mungil itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sabar dulu, Van,” gumam Evan pelan. “Mas bakal berusaha bikin kamu jatuh cinta sama Mas, Dek," tekad Evan begitu kuat di dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD