Panggilan Sayang

1862 Words
Saat waktu tengah menunjukkan pukul empat pagi, Ayra pun merasakan sesak pada d**a dan bagian perutnya bawahnya. Refleks Ia pun langsung terbangun dari tidurnya. Mata Ayra melotot kaget dan degup jantungnya kembali berdetak kencang. Kala melihat sebuah benda yang tengah berada di salah satu bagian tubuhnya. Ya, sebuah lengan kokoh dan besar kini tengah melingkar memeluk dirinya dengan begitu erat. Ayra tampak melirik sekilas. dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat wajah tampan sang suami yang sudah tertidur dengan pulasnya. Awalnya Ayra ingin membangunkan sang suami. Namun, karena melihat wajah Evan yang begitu lelah Arya pun menjadi tak tega. Alhasil, Ayra membiarkan saja Evan memeluk tubuhnya. "Pantes aku nggak bisa napas dari tadi,” gumam Ayra dalam hati. Tubuhnya mendadak kaku, kala Evan merubah gerakan tangannya. Tak hanya memeluk namun jemari kekar itu tampak mengusap-usap perut Ayra dengan lembut, membuat Ayra kesulitan untuk bernafas saat ini. Beberapa saat kemudian, adzan subuh pun berkumandang. Mendengar suara lantunan adzan. Evan pun mulai mengerjapkan matanya perlahan, melihat gerakan itu Ayra kembali pura-pura tertidur pulas. Evan menyunggikan senyumanya perlahan. Ia senang saat membuka mata nampak pemandangan indah yang ada di depannya. Ya, wajah cantik Ayra lah yang pertama kali Evan lihat. "Cantik banget kamu, Dek,” kata Evan bergumam pelan. Evan yang tidak tahan langsung mengecup bibir semerah cherry milik istrinya itu. Di pandangi nya wajah cantik gadis berusia sembilan belas tahun itu lamat-lamat. Evan begitu terpesona pada kulitnya yang putih, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang begitu tipis tapi terlihat seksi. Sungguh pikiran Evan mulai melalang buana entah kemana, membayangkan kegiatan penuh keringat yang entah kapan akan Ia lakukan bersama istri cantiknya itu. Saat sedang asyik menatap wajah sang istri tiba-tiba si empunya pun terbangun. "M-mas mau apa?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir mungil Ayra. "Mau apa?" Evan lalu menaikkan sebelah alis matanya. "Mau bangunin kamu lah, Dek,” sahut Evan lalu mencium kening istrinya itu sekilas. “Mas Evan,” pekik Ayra terkejut dengan bola yang sudah membulat sempurna. “Morning kiss, Sayang,” goda Evan lalu tersenyum. Pria tampan itu buru-buru pergi ke kamar mandi, dan membiarkan Ayra seorang sendiri berbaring di atas ranjang dengan rasa terkejutnya. Denyut jantung Ayra kembali berdegup kencang. Ayra kembali menutup diri dengan selimut yang ada di tangannya, mukanya kini sudah semerah tomat akibat dua perkataan Evan yang membuatnya menjadi salah tingkah sekarang. Pertama panggilan 'Sayang' untuk dirinya dan yang kedua 'Morning Kiss' yang Evan berikan pagi ini. “Jantungku. Kenapa harus berdebar gini sih kalau dekat, Mas Evan,” gumam Ayra di dalam hati. Ia lalu mengelus dadanya yang masih berdesir hebat. * * * "Mas Evan. Maaf ya aku cuman bikin ini buat sarapan,” kata Ayra lalu metelakkan dua piring nasi goreng di atas meja makan. Evan yang tengah fokus pada layar ponselnya pun menoleh. "Apapun yang kamu masak, Mas pasti makan." Evan pun tersenyum, Ia mengambil sendok dan mulai mencicipi masakan sang istri. “Enak banget Dek. Makasih ya,” kata Evan berseru senang. Dengan lahap pria itu kembali menyantap sarapannya. Ayra pun tersenyum senang. Ternyata masakannya sangat pas di lidah Evan. “Iya, Mas.” Dan kini Ayra pun mulai menyatap nasi goreng buatannya. Saat makan bersama, tidak ada percakapan di antara mereka. Ayra masih fokus pada makananya sedangkan Evan sesekali kerap memainkan ponselnya sambil makan, terlihat seperti tengah membalas pesan seseorang. Ayra yang begitu penasaran, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Hmm. Mas lagi balas chat sama siapa?” tanya Ayra ingin tahu. Ayra jadi ingat kejadian saat malam pertama menjadi pengantin di mana Evan menerima telepon secara diam-diam dari wanita yang Evan panggil Baby itu. Apa kini suaminya juga tengah berbalas pesan dengan Baby lagi? Rupannya Evan tidak mendengar perkataan istrinya karena ia tengah fokus berbalas pesan pada Baby. “Kenapa, By?” tanya Evan saat melihat ada lima belas panggilan telepon tak terjawab. “Kenapa, Mas ninggalin aku sendiri?” tanya Baby. Tak lupa ia pun menambahkan emoticon marah pada pesannya. “Maaf, By. Semalam Mas ada perlu.” “Perlu apa, Mas?” Baby malah semakin penasaran. “Nanti Mas jelaskan. Mas mau jujur sesuatu hal sama kamu.” “Kalau gitu nanti kita ketemuan jam dua belas ya, Mas. Kita makan siang di tempat biasa.” Baby sunggu tidak sabaran. Mungkin Evan akan menyatakan perasaan kali ini padannya. Sungguh Baby malah sudah senyum - senyum sendiri membayangkannya. “Oke.” Evan membalas singkat saja. “Sampai jumpa nanti, Mas Evan kesayanganku.” Baby begitu senang ia lalu mengirim emoticon love merah sebanyak lima kali. Evan tidak membacanya karena ia sudah lebih dulu menaruh benda pipih itu di atas meja makan. “Kenapa liatin Mas sampai segitunya, Dek?” tanya Evan saat matanya bersitatap dengan Ayra yang memandang Evan sambil merengut kesal. “Nggak apa-apa,” jawab Ayra singkat. Ia sedikit kesal saat Evan mengacuhkannya, apalagi pria itu memilih fokus pada ponselnya. “Itu kenapa kamu cemberut?” Evan kembali bertanya, tanpa sadar akan kesalahannya. “Nggak apa-apa, Mas.” Ayra mengulagi jawaban yang sama. Ia lalu membereskan piring kotor dan membawannya ke wastafel. Tak lama setelah selsai dengan pekerjaanya Ayra lalu mengantar sang suami sampai ke depan pintu. Terlihat Evan tengah bersiap, memasukkan tas kerjanya ke dalam mobil. Ayra lalu mendekat ke arah Evan karena ingin mengatakan sesuatu. "Mas,” panggil Ayra pelan. "Aku nanti boleh ke rumah Ibu nggak, Mas?” tanyanya meminta izin. Evan yang baru saja menutup pintu mobilnya pun menoleh. "Maaf ya, Dek. Mas nggak bisa kasih izin untuk hal itu,” sahut Evan cepat. "Kalau kamu mau ke rumah Ibu. Nanti sore ya tunggu Mas pulang kerja,” kata Evan mencoba memberi pengertian. Ayra pun menghela nafasnya berat. Mau tak mau Ia harus menuruti perintah sang suami. Sesuai nasihat ibunya. "Ya udah, Mas nggak apa-apa,” ucap Ayra terpaksa tersenyum. Meski di hatinya ia cukup kecewa. "Jangan marah ya, Sayang." Evan lalu mengelus lembut puncak kepala sang istri. "Hmm.” Ayra hanya bergumam singkat. "Mas berangkat dulu ya, Dek. Assalamualaikum." Evan mengelurkan tangan agar di kecup oleh Ayra. “Waalaikumsalam.” Ayra menerima tangan itu dan menciumanya dengan takzim. Setelah itu Evan masuk ke dalam mobil dan mulai mengendarai kuda besinya menuju rumah sakit swasta terkenal yang ada di Jakarta. Ayra hendak masuk kedalam rumah. Tapi, tiba-tiba seseorang memanggil namanya. "Ibu. Ibu istrinya dokter Evan ya?” tanya wanita muda tersebut dengan ramah. Kebetulan tadi Ayra sempat membuka pintu gerbang rumahnya lebar-lebar. Ayra pun mengangguk kan kepalanya. "Iya benar. nama saya Ayra,” ucap Ayra lalu mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri. "Nama saya Adelia. Saya istrinya Pak Raka, ketua RT di kompleks ini,” jelas Adelia, lalu membalas uluran tangan Ayra. Karena merasa seumuran, Ayra dan Adelia pun terlihat tampak akrab berbincang di teras rumah. Hingga tanpa disadari waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan Adelia pun pamit pulang. Ayra tersenyum senang. Setidaknya ia tidak sendiri lagi saat di tinggal Evan dinas karena tadi Adelia sempat menawarkan Ayra untuk bergantian berkunjung di rumahnya. Setiap sore di rumah Pak RT Raka selalu mengadakan kegiatan mengaji bagi anak-anak. Adelia yakin Ayra tidak akan merasa bosan jika bergabung bersama mereka di sana. * * * Sesuai janji Evan. Kini ia pun terlihat tengah menunggu Baby di salah satu restoran cepat saji yang dekat dengan rumah sakit tempat Evan bekerja. “Mas,” panggil Baby yang baru saja datang. Tanpa rasa canggung dan malu, ia malah mengusap-usap bahu Evan dengan lembutnya. Evan berjingkat kaget mendapat perlakuan seperti itu. Ia lalu menundurkan sedikir tubuhnya. “Duduk, By,” titahnya pada wanita itu. Baby pun tersenyum. Lalu mengambil posisi duduk tepat di samping Evan. “Maaf ya, Mas. Aku lama. Tadi aku ke salon dulu,” kata Baby memberi penjelasan. Baby lalu memainkan rambutnya yang curly itu dan sedikit mengibaskannya ke arah Evan. Berharap Evan akan terpesona pada penampilannya. “Oke. No problem,” jawab Evan santai. “Hmm. Jadi Mas mau jujur tentang apa?” tanya Baby to the point dan terlihat tidak sabaran. “Kamu nggak mau pesan makan dulu?” kata Evan memberi saran. Baby menggeleng. “Nanti aja. Aku udah nggak sabar mau dengar kejujuran Mas Evan.” Mata Baby malah berbinar senang. Wanita itu yakin seratus persen jika Evan akan mengatakan perasaannya yang sejujurnya. Belum apa-apa saja wajah Baby sudah bersemu merah. “Oke kalau gitu,” kata Evan lalu membenarkan posisi duduknya. “Kamu tahu ini, By?” tanya Evan mengangkat jari manis di tangan kirinya. Menunjukkan bahwa ada sebuah cincin yang melingkar di sana. Baby mengangguk dan wajahnya sudah malu-malu salah tingkah. “Itu cincin, Mas.” Baby yakin pasangan cincin itu pasti untuk dirinya. Ulala apakah Evan akan melamarnya hari ini juga? Ya, Tuhan apakah mimpi ku selama ini akan menjadi kenyataan? Baby terus bergumam dan membayangkan hal yang indah-indah dalam hatinya. “Ini, Mas,” kata Baby dan ia malah lebih dulu mengulurkan jari manis di tangan kirinya, di hadapan Evan. Kening Evan malah berkerut bingung. “Kamu mau ngapain?” Baby malah menggoyangkan badanya ke kiri dan ke kanan karena salah tingkah. “Mas Evan mau ngelamar aku kan?” tebak Baby sok tahu. “Nggak usah lama-lama, Mas. Aku pasti bakal terima lamaran, Mas Evan,” ucap Baby penuh percaya diri. Evan menghela nafasnya berat. Rupannya kebaikan yang ia lakukan selama ini di salah artikan oleh Baby. “Bukan itu maksud Mas, By,” kata Evan tegas dan hal itu berhasil membuat Baby menjadi terkejut. “Lalu apa, Mas?” Baby menatap serius wajah pria tampan yang ada di depannya. “Mas mau ngasih tahu ke kamu. Kalau kemarin Mas baru aja menikah, dan maaf kalau mulai sekarang kita nggak bisa terlalu akrab kayak dulu lagi,” aku Evan dengan jujur. Sebelum menceritakan hal ini dengan Ayra. Ada baiknya Evan memberi tahu Baby dulu dengan begitu keduanya tidak akan salah paham nanti jika suatu saat mereka saling bertemu tanpa sengaja. Baby menggelengkan kepalanya menolak untuk percaya. “Mas pasti bohong,” pekiknya tidak terima. “Mas ngprank aku kan?” Baby masih berharap bahwa apa yang Evan katakan hanya sebatas gurauan saja. Evan menggelengkan kepalanya tegas. “Mas nggak bohong. Mas benar-benar sudah menikah kemarin.” Dan Evan malah menunjukkan foto pernikahannya pada Baby. Di foto itu jelas Evan terlihat tengah mengecup kening Ayra sambil memandang wajah cantik istrinya dengan tatapan penuh kekaguman. Melihat hal itu wajah Baby menjadi merah karena terlalu marah. Ia tidak terima dan tidak ikhlas mendengar Evan menikah dengan wanita lain. “Nggak! Aku nggak percaya kalau Mas Evan udah nikah. Aku nggak mau tahu, pokoknya hubungan masih harus sama seperti dulu.” Baby bangkit dari duduknya dan menyambar tasnya dengan kasar. “Baby, tunggu,” cegah Evan sebelum Baby meninggalkannya. Tapi, terlambat karena wanita itu sudah berlari cepat keluar ruangan. Evan hanya bisa mendesah nafasnya kasar. Hatinya sudah cukup lega sekarang karena jujur akan statusnya pada Baby. Biar bagaimanapun Evan sudah menikah sekarang dan harus menjaga jarak dengan wanita lain. Agar tidak menimbulkan kesalah pahaman di kemudian hari. “Sialan! Nggak ada yang boleh miliki lo selain gue, Mas. Liat aja gue bakal buat rumah tangga lo hancur. Cuman gue Mas, cuman gue yang pantas buat jadi istri lo,” gumam Baby dalam hati. Tekatnya begitu kuat ingin memisahkan Evan dengan istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD