Ayra Bimbang

1040 Words
"Ah nggak asyik Lu, Ra. katanya mau kuliah tau nya lulus SMK langsung nikah,” kata Risa pada sahabatnya itu. Ayra pun berdecak kesal. "Eh ini juga gara-gara kalian berdua, coba kalau waktu itu kita nggak.” Ucapan Ayra terputus begitu saja, saat melihat seseorang datang menghampiri mereka. "Hai Al,” sapa Mela ramah, Ia lalu menyenggol pelan lengan Ayra bermaksud memberikan kode agar tidak melanjutkan ucapannya. "Hai, kalian disini juga ternyata,” kata Pria tampan yang diketahui bernama Alvaro. "Iya, kita kan emang biasa kongkow di sini, ya nggak, Ra?" ucap Risa, lalu mencubit pelan lengan sahabatnya itu. Ya, disini mereka sekarang di salah satu Cafe terhits, tempat dimana anak mudah menghabiskan waktu mereka berkumpul bersama teman-teman nya. "Iya." jawab Ayra singkat. Ayra masih kesal pada kedua sahabatnya ini, gara-gara kelakuan mereka berdua. Ayra yang harus terkena imbasnya dengan terpaksa harus menikah muda. "Ra, jadi ngelanjutin dimana kuliahnya?" tanya Alvaro lalu menatap dalam manik mata Ayra sambil tersenyum lembut. Ayra pun mengedikan bahunya pelan. "Nggak tau, Al. Masih bingung, kerja dulu kali ya,” jawab Ayra asal. Memang benar jangankan untuk mencari pekerjaan, untuk kuliah saja sepertinya sang suami tidak akan mengizinkannya. "Lho kenapa?" tanya Alvero penasaran. "Nggak apa-apa sih, Al. Eh gue tinggal bentar ya, mau angkat telepon,” kata Ayra, Ia lalu berjalan sedikit menjauh. Ayra pun terlihat tengah mengangkat teleponnya yang sedari tadi sudah berdering berulang kali. "Assalamualaikum. Ada apa, Mas?” tanya Ayra saat panggilan itu tersambung. "Dek, kamu dimana sekarang?" tanya Evan to the point. "A-aku dirumah Mela, Mas. Iya di rumah Mela,” jawab Ayra sedikit gugup. Evan pun terdiam sesaat. Ia seperti tengah berpikir. "Yaudah. Mas tutup dulu telponnya. Jangan lupa nanti sore ya, Dek.” Tanpa menunggu Ayra menjawab salam, Evan langsung mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak. “Dih di matiin gitu aja. Dasar nggak jelas,” gerutu Ayra kesal. Ayra yang tak merasa bersalah karena telah membohongi sang Ibu dan suami nya pun lalu memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, Ia lalu berjalan menghampiri sahabat nya yang masih terduduk di kursi Cafe. "Siapa,Ra?” tanya Alvaro dengan rasa penasarannya. "Ibu,” jawab Ayra singkat, Ia lalu meminum kembali jus strawberry kesukaan nya. "Gue pulang duluan ya. Udah mau jam tiga nih,” pamit Ayra lalu melihat jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Gue anter ayo, Ra,” kata Alvaro bersiap. Ia lalu berdiri dari duduknya. "Makasih, Al. Maaf gue bawa motor,” tolak Ayra lembut, kemudian ia pun lalu berdiri. "Gue balik duluan ya, gaes,” kata Ayra lalu melambaikan tangannya dan berlalu pergi. * * * Ayra menepati janjinya. Pukul tiga sore ia sudah tiba di rmah. "Assalamualaikum, Ibu.” Ayra mengucap salam saat masuk kedalam rumah. "Wa'alaikumsalam, lho kenapa udah pulang?” tanya Ibu Indah yang kini tengah bersantai di ruang tamu. "Iya. Kata Ibu tadi aku nggak boleh pulang terlalu sore.” Ayra kini sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang. "Ibu?” Panggil Ayra kemudian. "Iya kenapa, Ra?” jawab Ibu Indah, dengan pandangan mata masih fokus pada layar televisi di depannya. "Aku boleh kuliah atau kerja nggak sih, Bu?" tanya Ayra pelan. Ibu Indah pun menoleh lalu membenarkan posisi duduknya agar bisa menatap sang anak. "Mulai saat selesai ijab qabul, Ibu udah nggak ada hak buat memberikanmu izin atau tidak dalam melakukan sesuatu,” Ibu Indah lalu berdiri menghampiri sang anak dan memilih duduk tepat di sisi kaki Arya. "Kamu sudah jadi seorang istri sekarang, Ra. Segala sesuatu nya harus kamu diskusi kan dengan suamimu lebih dulu, jangan lupa selalu meminta izin pada Mas Evan kemanapun kamu mau pergi,” kata Ibu Indah lalu mengelus punggung anaknya dengan lembut. Ibu Indah tah, Ayra masih sangat muda untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Perlahan tapi pasti Ibu Indah akan dengan sabar mengajarkan pada Ayra, bagaimana cara berumah tangga yang baik menurut syariat Islam. Ayra pun hanya mengangguk kepada sebagai tanda bahwa Ia paham akan ucapan sang Ibu. Setelah berbicara beberapa menit, Ibu Indah pun menyuruh Ayra membersihkan diri, untuk menyambut kedatangan suami. Ayra pun menuruti perintah sang Ibu, tak lama Ia berlalu pergi masuk ke dalam kamarnya. Ibu Indah bersyukur selama ini Ayra tumbuh menjadi anak yang penurut, oleh karena itu Ibu Indah yakin kelak Ayra juga akan bisa menjadi istri yang penurut pada suaminya. * * * Malam harinya, seluruh anggota keluarga tengah berkumpul di ruang makan. "Mas Evan. Mau nambah nasi nya?" tanya Ayra pada sang suami. Meski belum ada kata cinta di antara mereka. Tapi, Ayra tengah berada di tahap belajar memperlakukan suaminya dengan baik. Seperti nasihat kedua orangtuanya. "Boleh, Dek. Satu centong aja," jawab Ayra. Ia lalu menyodorkan piringnya pada sang istri. Ayra pun mengangguk, kembali melayani sang suami. “Ini, Mas.” Ayra lalu menaruh piring itu lagi di hadapan Evan. "Makasih, Dek,” kata Evan lalu kembali melanjutkan kegiatan makannya. Ibu Indan dan Pak Ibrahim yang melihat interaksi antara Ayra dan Evan pun tersenyum senang. Keduanya berpikir sudah ada kemajuan dalam hubungan rumah tangga mereka. Hening! Tidak ada lagi pembicaraan selanjutnya sampai mereka semua selesai menghabiskan makan malamnya. "Mas Evan. Jadi kalian akan pindah ke rumah lusa?" tanya Pak Ibrahim. Selesai makan malam, mereka pun memutuskan untuk duduk santai diruang keluarga sambil menonton televisi. "Iya, Ayah. Insha Allah hari minggu pagi,” kata Evan dengan sopan. Tadinya mereka berencana pindah malam ini. Tapi, Evan tunda karena melihat Ayra yang sepertinya belum siap dan juga belum membereskan semua keperluannya. Pak Ibrahim pun mengangguk - anggukan kepalanya tanda paham. "Bimbing dan ajari Ayra pada kebaikan ya, Mas. Tuntun dia agar menjadi istri yang Sholehah, Ayah percaya Mas Evan pasti bisa melakukanya,” kata Pak Ibrahim memberi nasihat. Beliau lalu menepuk pelan, pundak menantu nya itu. Seolah memberi tahu bahwa mulai saat ini segala sesuatu tentang Ayra telah menjadi tanggung jawab Evan. "Insha Allah, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik,” kata Evan bertekad kuat. Tatapan matanya mengisyaratkan kesungguhan. Ayra yang menjadi topik pembicaraan pun hanya terdiam. Ia masih bingung dengan segala sesuatu yang terjadi di kehidupannya akhir - akhir ini. Menikah mudah sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya dulu. Tapi kini itu semua malah menjadi kenyataan, di usianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun Ia sudah resmi menjadi istri dari seseorang yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah umum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD