"Sama-sama yang pertama ya." Bulan tertawa kecil. Kalau dipikir-pikir mereka memang pasangan yang manis.
"Kamu takut nggak jadian sama aku?" tanya Lios.
"Kenapa harus takut?"
"Karena kita berbeda, seperti kopi susu."
"Tapi masih sama-sama manusia kan?"
Lios masih memiliki satu pemikiran lain, tapi melihat keyakinan Bulan dia mengurungkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin hari pertama sebagai pasangan harus dinikmati tanpa hal yang mencemaskan.
"Betul. Pada dasarnya kita sama," ujar Lios.
"Gitu dong. Hidup harus optimis."
"Kamu membuatku nggak takut untuk maju." Lios mengecup dahi Bulan.
"Ngomong-ngomong kita dilihatin orang nggak?" tanya Bulan sambil melirik ke sekeliling dengan takut-takut.
"Mungkin," goda Lios.
"Jalan dulu deh." Bulan menarik tangan Lios untuk meninggalkan posisi semula.
"Santai aja, kalau terburu-buru nanti orang malah makin curiga."
"Oh, iya ya?" Bulan memperlambat langkah.
"Nah, begini baru bisa menikmati suasana." Lios merangkul Bulan, menariknya mendekat.
"Kamu nih...." Bulan menunduk malu.
"Sebenarnya aku nggak peduli orang melihat. Yang aku peduli cuma gimana menikmati waktu berdua denganmu."
Bulan pun merona. Kata-kata itu meluncur dengan manis dari mulut Lios. Apakah lelaki ini sudah biasa merayu wanita?
Laut terlihat lebih indah saat bersama dengan orang yang disukai. Aroma laut pun serasa aromaterapi. Butiran pasir yang masuk ke dalam alas kaki tidak lagi terasa menyebalkan. Bulan merasa nyaman dalam rangkulan Lios. Kehangatan dan tubuh yang besar membuatnya merasa aman sebagai seorang wanita.
"Kamu sering ke pantai?" tanya Bulan.
"Dulu waktu kecil. Kami sekeluarga sering jalan ke pantai, namanya Wae Maras. Jauh lebih indah dibanding pantai di kota. Pasir putihnya asli, bukan buatan. Batu-batu besar bertebaran menghiasi tepi laut." Lios mengenang.
"Oh, aku belum pernah ke pantai lain... Cuma tahu pantai ini, pantai Anyer, Bali...," desah Bulan.
"Kalau ada kesempatan main-main lah ke sana. Dijamin kamu nggak bakal mau pulang."
Bulan hanya tersenyum dengan undangan Lios. Berkunjung ke kampung halaman Lios berarti berjumpa keluarganya, orangtuanya. Bulan belum siap. Mereka baru saja jadian, masa sudah berpikir sejauh itu?
"Sabtu depan ada acara keluarga besar Ferdi. Ikut ya?"
"Acara apa?" tanya Bulan.
"Sepertinya pernikahan saudara sepupu. Tapi jangan tanya aku saudara sepupu dari pihak mana, aku juga nggak tahu," gurau Lios.
"Boleh. Jam berapa?"
"Kujemput jam sembilan pagi. Kita ke gereja dulu untuk pemberkatannya setelah itu langsung ke RM Cafe. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan di sana."
"Oke. Dress code apa?"
"Semi formal."
"Nggak harus pakai gaun kan?"
"Nggak perlu. Kita kan naik motor."
Bulan meringis.
Mereka menyusuri pantai dari ujung ke ujung. Hari masih belum terlalu siang tapi pengunjung mulai ramai. Keluarga-keluarga membawa anak kecil, pasangan yang berpacaran, para penjual mainan berseliweran. Lios masih menggenggam tangan Bulan dengan erat seolah takut kekasihnya melarikan diri.
Ketika matahari mulai meninggi dan sinar ultraviolet terlalu kuat untuk ditanggung, Lios mengajak Bulan mengisi perut di sebuah rumah makan tepi laut.
"Ramai banget. Aku belum pernah ke sini, soalnya nggak pernah main ramai-ramai," celetuk Bulan.
"Awas hilang," goda Lios.
"Ih, emangnya anak kecil. Lagian mana bisa hilang? Kamu nggak pernah lepasin tanganku," balas Bulan.
"Aku sedang menikmati punya pacar."
Bulan pun tersipu.
Tidak terlalu lama pesanan mereka datang. Pasangan baru itu makan sambil mengobrol santai.
"Apa makan dalam bahasamu?" tanya Bulan.
"Hang," jawab Lios.
"Hang." Bulan menirukan.
"Ayo makan. Mai hang ge." Lios tersenyum. Senang karena Bulan ingin mengenal bahasanya, bagian dari dirinya.
Bulan menirukan dan mengingatnya.
"Bahasaku nggak sulit dipelajari. Apalagi kalau kamu sering ikut ke acara kumpul keluargaku."
"Keluargamu ada di Jakarta?"
"Keluarga besar yang ada hubungan kekerabatan, atau teman-teman sekampung, semuanya adalah keluarga."
"Ooo...."
"Udah merasa takut?" goda Lios.
"Nggak. Siapa yang takut?" Bulan mengulum bibir.
"Pelan-pelan kamu akan terbiasa." Lios meremas tangan Bulan.
"Iya." Dalam hati Bulan merasa senang sekaligus cemas. Dia tidak dapat mengukur sebesar apa perbedaan di antara mereka.
"Bagaimana keluargamu? Sering kumpul keluarga besar juga kah?" tanya Lios. Dia juga ingin tahu seperti apa keluarga Bulan.
"Jarang sih. Paling saling kunjung kalau Imlek, atau bertemu pas resepsi pernikahan. Itu aja. Waktu kecil aku masih sering diajak berkunjung ke rumah saudara. Sekarang aku udah malas ikut," tutur Bulan.
"Begitu ya...."
"Aku nggak anti sosial loh, cuma malas aja." Bulan tertawa.
"Mungkin lebih tepat disebut individualis?"
"Oh, iya, sepertinya itu lebih tepat!" Bulan menepuk lengan Lios.
Lios terkekeh pelan.
"Kamu belajar main musik sejak kapan?" tanya Bulan.
"Coba tebak."
"Emm... Sejak kecil?"
"Salah."
Bulan mengernyit, "Di sekolah?"
"Hmm...." Lios menggeleng. Tatapannya sungguh menggoda.
"Kapan dong?"
"Sejak kuliah."
"Oh, kuliah di mana? Berapa tahun yang lalu?"
"Penasaran ya? Nanti kuberitahu kalau kita pulang."
"Ih, sekarang aja apa bedanya?"
"Aku mau bawa kamu pulang ke apartemen. Di sini terlalu ramai untuk ngobrol."
Jantung Bulan berdebar kencang. Kemarin-kemarin saat mampir ke apartemen Lios rasanya tidak menegangkan. Kenapa hari ini rasanya berbeda? Apakah karena mereka sudah jadian?
Sesuai perkataan Lios, sesudah makan mereka melaju di atas motor menuju apartemen. Bulan tidak ingin banyak berpikir. Dia memejamkan mata sepanjang perjalanan. Jari-jarinya bertaut di d**a Lios.
"Hei, udah sampai." Lios menepuk tangan Bulan.
Bulan terkesiap. Dia membuka mata. Motor sudah parkir di belakang gedung apartemen! Bulan tenggelam dalam usahanya menenangkan diri sampai tidak menyadari bahwa mereka telah tiba di tujuan.
"Hehehe kok nggak sadar." Bulan melompat turun dari boncengan.
"Asyik mikirin apa?" ledek Lios.
"Mau tahu aja." Bulan mencibir.
"Mau tahu dong. Kan kamu sekarang pacarku."
Sontak wajah Bulan merona.
Lios menggandeng tangan Bulan sampai ke lantai dua puluh. Dia membuka kunci pintu dan mempersilakan Bulan masuk.
"Anggap rumah sendiri." Lios masuk ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih santai.
Kunjungan kedua membuat Bulan sedikit lebih santai. Dia duduk di belakang keyboard. Tanpa menyalakan listrik jari-jari lentiknya menari di atas tuts.
"Kenapa nggak dinyalakan?" Lios menghampiri Bulan.
"Nggak ah, aku cuma iseng-iseng."
Lios menyalakan keyboard, "Main lagu apa?"
"Coba tebak." Bulan tersenyum.
Jari-jari Bulan kembali menari di atas tuts. Lagu yang dimainkannya jelas-jelas lagu klasik. Melodinya juga sederhana.
"Für Elise," kata Lios.
"Tapi aku cuma bisa bagian awalnya. Bagian sulitnya aku udah lupa."
"Kamu tahu kenapa bagian awal Für Elise mudah sementara bagian berikutnya sulit?" Lios menguji.
"Kenapa?"
"Dikatakan kalau Beethoven menggubah Für Elise untuk seorang wanita yang dicintainya, yang kebetulan kurang bagus dalam bermain piano. Makanya bagian awal lagu sangat mudah dimainkan. Ketika wanita itu bertunangan dengan lelaki lain, Beethoven membuat bagian selanjutnya begitu sulit dan mustahil dimainkan oleh wanita tersebut," tutur Lios.
"Oh ya? Aku baru dengar. Wah, komposer sekaliber Beethoven juga bisa cemburu begitu ya?" Bulan tertawa.
"Musik kan diciptakan dan dimainkan dengan hati."
"Benar juga," imbuh Bulan.
"Latihan lagi, biar ada yang bisa menggantikanku main musik."
"Hah?? Nggak mau. Kalau nyanyi masih oke. Main musik? Nggak ah."
"Pakai keyboard lebih mudah. Kamu tinggal pilih style, fill dengan melodi, bisa deh main di cafe."
"Kamu udah biasa makanya kedengaran gampang." Bulan mengerucutkan bibir.
Hati Lios terasa hangat melihat senyum di wajah Bulan. Dia menghela nafas. Sangat sulit mengabaikan kehadiran wanita cantik di tempat tinggalnya.
Tawa Bulan terhenti saat Lios memperkecil jarak. Wajah tampan itu hanya berjarak sekian sentimeter. Bulan menahan nafas. Kelembutan bibir Lios menyapu bersih pikirannya. Bulan mendesah lembut saat Lios memperdalam ciuman.
"Kita pindah ke tempat yang lebih nyaman...," lirih Lios.
Bulan memekik terkejut saat Lios membopongnya seperti ksatria membopong tuan putri. Lios menurunkan Bulan di sofa.
"Boleh kulanjutkan?" tanya Lios dengan seulas senyum terkembang di bibirnya.
Bulan menggigit bibir dan mengangguk lemah.