Bulan tidak menyangka pagi-pagi sekali Lios akan menelepon. Lelaki itu mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Tentu saja Bulan langsung menyetujui. Dia suka pantai. Sayangnya tidak ada keluarga atau teman yang bisa diajak bermain ke sana.
Pakaian santai dipilih Bulan untuk hari ini. Kaos kuning cerah dan jeans selutut. Rambutnya diikat ekor kuda supaya tidak kusut ditiup angin. Bulan mematut diri di depan cermin. Merasa puas dengan hasilnya dia pun rebah di tempat tidur sambil menunggu Lios.
"Lan, hari ini mau ikut Papa Mama kunjungi paman nggak?" Vero mengintip dari balik pintu kamar.
"Oh, aku ada janji sama teman. Nggak ikut ya, Ma." Bulan meringis.
Vero memperhatikan Bulan. Dia heran melihat putri semata wayangnya sudah berpakaian rapi. Biasanya hari Minggu sulit dibangunkan.
"Pergi sama siapa? Dijemput?" tanya Vero.
"Sama teman kantor. Sebentar lagi datang jemput." Bulan berdebar setelah mengucapkan kebohongan.
"Ya udah, jangan kemalaman pulangnya. Papa khawatir loh."
"Iya, Ma. Kalau kemalaman aku telepon dulu ke rumah supaya nggak cemas." Bulan tersenyum.
Vero mengangguk. Cukup puas dengan jawaban Bulan, dia pun kembali ke kamarnya sendiri. Bulan menghembuskan nafas lega. Rasanya seperti sedang diinterogasi atas kesalahan yang belum dilakukan.
Tidak lama kemudian, Lios mengirim pesan singkat bahwa dia sudah di depan rumah. Bulan bergegas keluar. Tanpa diketahui keduanya, Vero mengintip dari jendela kamar. Wanita paruh baya itu jelas melihat Bulan akrab dengan lelaki yang menjemputnya. Terlalu akrab sampai tidak layak disebut teman.
Vero menghela nafas. Putri kecilnya kini sudah dewasa. Apakah perlu memberitahu Bram? Vero berpikir, biarlah Bulan bersenang-senang dahulu tanpa tekanan dari orangtua.
"Ada yang lihat dari jendela tuh." Lios memberitahu Bulan.
Spontan Bulan menoleh ke arah rumah. Dia memicingkan mata, "Mana?"
"Sudah hilang," ujar Lios.
"Hmm...." Bulan masih berusaha melihat.
"Ayo, kita jalan." Lios menyodorkan helm merah.
Bulan memakai helm dan naik ke boncengan. Lengannya langsung melingkar di pinggang Lios, membuat jantung lelaki itu berdegup kencang. Di tengah godaan ini Lios berjuang untuk tetap fokus. Beberapa hari berada dekat Bulan telah membuatnya yakin akan sesuatu.
Motor racing Lios melaju pergi dengan satu tujuan. Bulan bersandar sepenuhnya pada sang pengendara motor. Kehangatan Lios menembus sampai ke hati Bulan. Dia senang bukan kepalang karena hari ini bisa menghabiskan waktu berduaan dengan lelaki pujaan hati.
Pemandangan berubah begitu mereka memasuki kawasan pantai. Langit terlihat lebih luas. Angin berhembus tanpa hambatan. Pohon kelapa menjadi lebih dominan. Motor parkir di tempat tersedia. Bulan melompat turun dan menyerahkan helm kepada Lios.
"Wah, segar banget udaranya." Bulan menarik nafas dalam. Wajahnya terlihat bahagia.
"Kalau suka kita bisa sering-sering kemari," ujar Lios.
"Yang benar??" Bulan menatap Lios tidak percaya. Wajahnya merona karena terlalu senang.
"Kalau kamu suka, aku pasti temani." Lios membalas tatapannya.
"Mau, mau. Aku senang banget, mau!" Bulan memeluk lengan Lios.
Sentuhan mendadak ini membuat Lios tersipu. Dia menggenggam tangan Bulan, menariknya jalan berdampingan. Giliran Bulan yang terpana. Dia menatap tangan mereka yang bergandengan. Ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Mereka berjalan dalam keheningan. Masing-masing sibuk dengan isi hatinya. Lios merasa gugup. Sejak kemarin dia sudah membuat rencana ini, tapi ketika menghadapi langsung rasanya berat juga.
Angin laut berhembus kencang membawa aroma laut yang khas. Lios sering bermain ke pantai di tempat asalnya, maka dia mau tidak mau membandingkan keindahan pantai di kampung halaman dengan di ibukota. Pantai yang belum tersentuh memang jauh lebih indah.
"Hari ini kamu ke cafe?" Bulan memecah keheningan.
"Aku cuti," jawab Lios singkat.
"Oh, bisa ya?"
"Bisa dong. Aku kan jarang cuti." Lios tersenyum.
"Ferdi ada penyanyi cadangan?"
"Belum ada, tapi aku sudah memintanya mencari."
Bulan tidak berkomentar. Dia menggigit bibir. Ibu jari Lios mengusap punggung tangannya. Gerakan kecil yang manis.
"Kamu tahu?" Lios membuka dengan pertanyaan.
"Apa?" Bulan terheran.
"Beberapa hari terakhir ini aku sangat menikmati waktu berdua denganmu." Lios mulai mengurai kata-kata yang sudah disusunnya sejak kemarin.
"Aku juga," sahut Bulan.
"Sepertinya aku juga mulai terbiasa dengan keberadaan kamu," lanjut Lios.
Jantung Bulan berdegup kencang. Tangan Lios mempererat genggaman.
"Kamu merasa nyaman denganku?" tanya Lios. Sepasang mata jernihnya menatap Bulan.
"Aku nyaman," lirih Bulan.
Lios tersenyum, "Syukurlah."
Langkah kaki mereka terhenti. Lios berputar menghadapi Bulan. Wajahnya memancarkan sebuah tekad. Tangan mereka masih bertautan dan enggan melepaskan diri.
"Bulan, aku ingin mengenalmu lebih dekat," kata Lios dengan raut wajah serius.
Bulan tergagap hingga tidak dapat berkata apa pun. Pipinya merona, jantungnya berdegup kencang.
"Aku menyukaimu pada pandangan pertama. Sampai hari ini hatiku semakin yakin. Bulan, mau jadi pacarku?" tanya Lios tulus.
Bulan mendekap mulut. Pertanyaan itu berputar di kepala. Lelaki pertama yang menyatakan perasaan padanya! Terlebih lagi, dia juga menyukai lelaki ini. Matanya berkaca-kaca.
Lios menunggu dengan cemas. Melihat mata Bulan memerah hatinya lebih cemas lagi. Apakah wanita ini bermaksud menolaknya? Lios mengusap setitik airmata yang jatuh di pipi Bulan. Kenapa jawaban yang ditunggu tidak kunjung tiba?
"Kamu butuh waktu untuk memikirkan jawaban?" desah Lios yang mulai pasrah.
"Ah, bukan begitu...." Bulan tercekat.
"Aku bisa menung—"
"Aku mau," potong Bulan.
Seulas senyum bahagia terkembang di bibir Lios. Dia menarik Bulan ke dalam pelukannya. Bulan membalas pelukan Lios. Detak jantung mereka berpadu jadi satu. Tidak peduli sedang diperhatikan orang atau tidak, hal yang paling penting sekarang adalah sosok yang di depan mata.
Lios mengecup pipi Bulan. Meskipun sudah belajar cara berciuman lewat internet, tapi Lios tidak akan melakukannya di tengah umum. Dia masih peduli dengan kehormatan Bulan.
"Thank you, Bulan," lirih Lios.
"Kamu lucu," goda Bulan.
"Hmm... Oh ya? Apa yang lucu?"
"Nggak tahu, lucu aja...." Bulan tersenyum.
"Apa tadi kurang romantis? Harusnya aku membawa bunga?" Lios mengernyit.
Bulan tertawa, "Oh, nggak! Kurasa cara penyampaiannya cukup baik... Yang paling penting aku paham maksudmu."
"Benar juga. Sekarang kita udah jadi pacar ya?" Lios memastikan.
"Iya." Bulan tertunduk malu.
"Aku khawatir kamu menolak."
"Nggak! Aku... Cuma kaget." Bulan menunduk malu.
Lios mengecup dahi Bulan dengan penuh perasaan, kemudian pipinya, kemudian bibirnya. Bulan tersentak saat bibir mereka bersentuhan. Matanya membulat menatap lelaki di hadapannya. Sepasang mata tajam itu bersinar bagaikan bintang di siang hari.
Barusan mereka berciuman kah? Itu termasuk berciuman kan, meskipun hanya kecupan ringan? Tanpa sadar Bulan mengangkat tangan untuk menyentuh bibir Lios. Bibir yang penuh tapi lembut.
"Kamu suka?" tanya Lios. Dia menangkap tangan Bulan dan menciuminya.
Bulan hanya menggumam tanpa kosakata yang jelas. Sentuhan-sentuhan ringan ini membuat hatinya terguncang.
"Itu tadi... Ciuman pertamaku...," lirih Bulan.
Lios tersenyum lebar, "Aku juga."