Keenan memutar anak kunci dan membuka pintu apartemennya, tepat satu langkah di belakangnya, Nadya mendorong masuk stroller yang berisi dua bayi kembar. Mereka berdua masih tertidur dengan lelap dan tampaknya merasa sangat nyaman berada dalam asuhan Nadya sejak di kelas sampai dengan pulang kini.
“Pak Keenan, dimana saya harus menidurkan mereka?” tanya Nadya yang tertegun di ruangan tengah.
“Di kamarku saja, di sebelah sana itu. Ada dua box bayi tempat mereka untuk tidur,” jelas Keenan menunjuk.
Nadya mengangguk dan kembali mendorong stroller itu ke dalam kamar Keenan, ia lalu dengan perlahan dan hati-hati memindahkan kedua bayi tersebut ke dalam box mereka masing-masing. Ia sudah tahu kalau Baby A di box bayi yang bertemakan warna merah dan Baby B di box bayi yang bertemakan waran biru. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Nadya pun menyelimuti keduanya.
Keenan saat itu sedang berada di ambang pintu kamarnya dan mengamati apa yang sedang dilakukan oleh Nadya. Ia manggut-manggut dan tersenyum senang, Nadya tampaknya memiliki insting keibuan yang kuat meskipun dia masih berstatus seorang mahasiswa dan gadis tulen, belum pernah menikah apalagi memiliki bayi.
“Pak Keenan, apa Bapak ingin mengucapkan selamat tidur kepada mereka?” tanya Nadya yang sedikit terkejut ketika berbalik dan melihat Keenan sedang berdiri diam sambil mengamati dirinya.
Keenan menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku justru tidak ingin mengganggu. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu. Berkat bantuanmu aku jadi tidak terlalu kerepotan mengurus mereka berdua dan bisa fokus mengajar tadi.”
“Sama-sama Pak, saya juga sangat senang bisa membantu,” sahut Nadya.
“Baiklah, sebagai ucapan terima kasih. Aku mengundangmu untuk makan siang bersama denganku di sini. Bagaimana?” Keenan menawarkan.
Nadya mengangguk, “Boleh Pak, memangnya Pak Keenan bisa memasak?”
“Tentu saja, kamu jangan meragukan kemampuan memasakku! Begini-begini aku paling jago memasak mie goreng atau mie rebus pakai telur! Jadi kamu mau aku masakkan apa? Mie rebus atau mie goreng?” ucap Keenan memberikan pilihan.
Nadya tertawa kecil, “Kalau hanya masak mie instant dengan telur sih saya juga bisa, Pak. Itu adalah makanan sejuta umat terutama kami para mahasiswa yang ngekost!”
“Itu benar, tapi mie instan yang dibuat oleh Keenan Malik tidak akan sama dengan yang lainnya. Ini adalah sesuatu yang istimewa dan tidak dijual di restoran mana pun termasuk restoran selevel bintang Michelin juga!” tandas Keenan sambil berjalan menuju ke dapur kecil yang ada di sudut lain apartemennya.
Sementara Keenan memasak mie instan spesial buatannya, Nadya mengedarkan pandangan dan menyadari kalau apartemen milik Keenan berantakan. Ia pun mulai membersihkan apartemen milik sang dosen tanpa diminta. Sebagian besar adalah mainan dan barang-barang bayi yang berceceran.
“Pak Keenan sepertinya cukup kewalahan mengurus kedua bayi kembar yang ia temukan itu. Kasihan sekali dia, padahal harus mengajar juga di kampus,” gumam Nadya ketika membersihkan apartemen Keenan.
Keenan kembali ke ruangan tengah sambil membawa nampan yang berisi dua piring mie instan hasil memasaknya, tentu dengan sedikit modifikasi untuk menambah cita rasanya.
“Wah, kamu membereskan apartemenku ya? Padahal tidak usah, kamu pastinya sudah capek tadi mengurus Baby A dan Baby B kan?” ucap Keenan sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat sofa dan dengan isyarat menyuruh Nadya untuk makan bersama dengannya.
Nadya meletakkan penyedot debu dan menuju ke arah wastafel untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum kemudian menghampiri Keenan.
“Pak Keenan benar, tampaknya mie instan buatan Bapak sangat enak,” puji Nadya sambil duduk di sofa di sebelah Keenan.
“Aduh, kok rasanya sedikit aneh ya?” Keenan malah balik bertanya.
“Apanya yang aneh, Pak?” Nadya mengerutkan dahi tak mengerti.
“Panggilan 'Pak' darimu, kita tidak sedang di kelas kan? Sebaiknya kalau di luar atau tempat umum, kamu panggil aku dengan sapaan yang jauh lebih akrab saja atau nama langsung saja, bagaimana?” usul Keenan sambil menatap Nadya tepat di matanya dan ia baru menyadari kalau dari dekat seperti ini, sang mahasiswi ternyata jauh lebih cantik dari yang ia pikirkan selama ini.
“Kalau memanggil nama langsung, sepertinya itu kurang sopan. Kalau saya panggil Mas Keenan saja, bagaimana?” tanya Nadya.
“Mas Keenan, sepertinya pas. Ya, kamu panggil saja saya begitu, Mas Keenan,” angguk Keenan.
Lalu hening, baik Keenan maupun Nadya malah saling tatap-tatapan selama beberapa saat.
“Mas Keenan?” lirih Nadya berucap.
“Iya, Nadya?” Keenan balik bertanya, sama lirihnya dan entah kenapa ia merasa bulu kuduknya sedikit bangkit dengan panggilan Mas yang diucapkan oleh Nadya kepadanya barusan. Sepertinya panggilan itu diucapkan oleh Nadya dengan sepenuh hati dan karenanya menyentuh hatinya pula, selain memang terasa sangat pas didengar juga.
“Mie instannya boleh dimakan sekarang, Mas Keenan?” tanya Nadya.
“Oh iya, boleh-boleh! Aku juga sudah sangat lapar. Ayo kita makan!” angguk Keenan teringat bahwa saat ini seharusnya mereka berdua memang tengah kelaparan.
“Ini punya Nadya?” tanya Nadya menunjuk sebuah piring berisi mie instan yang ada di dekatnya.
Keenan mengangguk, “Iya, makanlah dan aku jamin kamu bakalan ketagihan dengan masakanku!”
“Ketagihan sama orangnya boleh?” tanya Nadya entah bercanda entah serius.
Keenan hanya mengulas senyum, tapi ia pun mulai memahami alasan dibalik kenapa Nadya bersedia merepotkan diri membantunya mengurus kedua bayi kembar yang kini sedang lelap tidur di box bayi mereka di dalam kamarnya.
Maka Nadya dan Keenan pun mulai memakan mie instan tersebut.
“Wah beneran enak! Mas Keenan tidak bohong ternyata, ini memakai bahan apa? Kalau Nadya rasa, sepertinya ada potongan kecil smoked beef ditambah dengan keju ya?” Nadya tidak mengira kalau mie instan yang dimasak oleh Keenan seenak itu.
“Enak kan? Siapa dulu dong yang masak, Chef Keenan gitu loh!” ucap Keenan setengah menyombongkan dirinya, tapi ia tetap merahasiakan bumbu yang ia pakai.
Nadya mengangguk dan meneruskan makannya sampai dengan tandas, begitu pula dengan Keenan yang lebih dulu menghabiskan makanannya. Ia lalu mengambil dua kaleng minuman ringan dan memberikan salah satunya kepada Nadya.
Baru saja mereka meneguk minuman ringan tersebut, dari arah kamar Keenan terdengar kedua bayi kembar itu menangis.
“Mereka bangun!” ucap Keenan sambil berdiri.
Nadya pun segera meletakkan minumannya dan bergegas melangkah, setengah berlari malah, menuju ke kamar Keenan untuk menenangkan Baby A dan Baby B. Tapi ...
“Aduh!” pekik Nadya kesakitan sebab kakinya terantuk oleh penyedot debu yang tadi ia pakai untuk membersihkan apartemen.
“Nadya, hati-hati!” Keenan yang melihat Nadya akan terjatuh dengan sigap menarik lengannya dan malah membuat Nadya berbalik menubruk dirinya.
‘Bughk!’
Keenan kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang dengan punggung di lantai, ia menatap ke atas, Nadya yang terbawa oleh tarikan tangannya kini sedang menduduki perutnya. Kembali mereka hanya berpandangan saja untuk beberapa saat.