Bab 5. Kisah Zealova

1011 Words
Semburat cahaya matahari memaksa masuk menembusi tirai. Semalam adalah malam yang kesekian kalinya mereka habiskan bersama. Tristan menoleh melihat wanita yang berbaring di sampingnya, Tristan memandang wajah wanita tersebut, wanita yang selama ini menemani hari-harinya, namun sampai saat ini juga Tristan tidak tahu mengapa ia menerima perjodohan keluarganya dan menikah dengan Tamara. Yes. Semuanya demi memperluas bisnis sehingga ia menjadi tumbal keluarganya. Anggap saja seperti itu, apa yang telah diberikan harus dibalas. Tristan mengelus pipi Zea, membelai rambutnya dan memandangnya penuh cinta, mulai sekarang Tristan akan selalu menjaga Zea, ia akan selalu menjadi orang pertama dan orang yang siaga untuk Zea. Tristan harus melakukannya karena saat ini Zea hamil anaknya. Awalnya, Tristan hanya ingin bermain seperti biasanya. Jika ia menyukai sesuatu ia pasti akan memilikinya dan awalnya Tristan menganggap malam yang ia habiskan bersama Zea hanya malam biasa. Namun, nyatanya malam indah itu membuatnya bertahan hingga saat ini. Tristan adalah pria m***m yang akan melakukan sesuatu jika itu menarik di matanya. Zea bergerak gelisah. Ia membuka pejaman matanya dan menoleh melihat Tristan yang kini berbaring di sampingnya, semalam Tristan tidur di sini. Zea tidak tahu jika pria yang menyuruhnya tinggal di hotel ini agar lebih mudah untuk bertemu ternyata sudah menikah. Tristan sendiri yang tidak ingin Zea tahu tentang pernikahannya, karena itu tidak ada gunanya. Yang terpenting adalah perasaannya bukan hubungannya dengan istrinya. Tamara hadir di dalam hidup Tristan ketika Zea sudah hadir di dalam hidupnya lebih awal, jadi Tamara tidak punya hak untuk marah andaikan tahu hal ini. “Tuan masih ada di sini?” “Iya, aku masih ada di sini. Apa kamu mengharapkan aku pergi?” tanya Tristan mengelus pipi mulus Zea. “Tidak. Aku tidak mengharapkan Tuan pergi, aku senang kalau Tuan di sini," ralatnya. “Ya sudah bangunlah, kita sarapan sama-sama. Aku akan memanggil layanan kamar.” Tristan bangun dari pembaringannya. Zea mengangguk. “Bagaimana perasaanmu pagi ini?” tanya Tristan mengenakan jubah mandi. “Mulai membaik. Badanku juga sudah membaik, kepalaku tidak berat lagi.” “Kamu harus sarapan dan minum obat. Setelah selesai, aku akan ke kantor.” “Iya. Tapi, Tuan akan kembali, kan?” “Tentu saja, kita kan bertemu setiap hari.” “Tapi kamu jarang menginap di sini.” “Untuk malam ini dan seterusnya aku akan tetap di sini menemani kamu. Tenang saja aku tidak akan biarkan kamu sendirian ketika sedang hamil.” “Lalu bagaimana hubungan kita?” “Kamu jangan banyak berpikir, ya.” Zea hanya ingin tahu bagaimana hubungannya dengan Tristan selanjutnya, apalagi dia sedang mengandung. Seharusnya Tristan memikirkan hubungan mereka apakah akan dibawa ke jenjang yang lebih serius atau hanya akan seperti ini. Zea tidak ingin menjadi seorang simpanan, ia tidak pernah memulai hubungan ini agar menjadi seorang simpanan, ia memulai hubungan ini karena menyukai apapun tentang Tristan. Zea mengangguk, dia tidak mau menanyakan itu dulu, karena itu bisa membuat mood Tristan berubah, ia sudah sangat bahagia ketika melihat Tristan datang ke hotel tempatnya tinggal, ia merasa damai dan merasa tenang pria yang ia cintai ada di sampingnya. Setelah mandi bersama dan mereka melakukannya lagi, mereka lalu sarapan bersama. “Aku melihat Black Card yang aku berikan kepadamu tidak menunjukkan adanya pengeluaran. Kenapa tidak kamu gunakan?” tanya Tristan seraya mengunyah makanannya. “Buat apa? Aku tidak punya sesuatu yang ingin aku beli.” “Tapi kan kamu mengajak teman-temanmu makan malam.” “Aku mengajak mereka makan malam tapi menggunakan uangku sendiri.” “Bukankah ekonomi keluargamu sedang tidak baik? Kenapa tidak kamu gunakan untuk membantu ekonomi keluargamu. Aku dengar Ayahmu di PHK?” “Ayahku di PHK, tapi mereka masih bisa makan.” “Tapi bukannya keluargamu memiliki hutang yang besar pada seorang rentenir?” tanya Tristan lagi. “Yang menggunakan uang pinjaman dari rentenir itu adalah saudariku, jadi biarkan saudariku yang bertanggung jawab.” “Saudarimu? Siapa dia?” “Namanya Zelle, dia menggunakan semua uang itu untuk berjudi dan bermain Kasino. Uang yang ia gunakan juga uang pinjaman dari rentenir itu, dia yang gunakan artinya dia yang harus bertanggung jawab. Jadi, kenapa aku harus membantunya?” “Tapi tetap saja orang tuamu yang akan susah payah.” “Terserah, itu semua karena mereka terlalu memanjakan Zelle, sementara aku yang harus berjuang untuk mencari uang demi pendidikanku, aku tidak pernah merepotkan mereka.” Tristan tidak tahu jika hubungan Zea dan keluarganya tidak baik-baik saja, Tristan mengira Zea akan membantu keluarganya yang saat ini ekonominya sulit. “Ayah dan ibuku lebih memilih Zelle untuk melanjutkan pendidikan sementara aku disuruh bersabar dan disuruh ikhlas. Lalu, aku berjuang sendiri bekerja part time di tempat berbeda setiap empat jam, demi mendapatkan uang agar bisa kuliah.” Zea menunduk. “Sejak dulu, aku ingin meninggalkan rumah itu, aku ingin pergi dari kehidupan mereka tapi bukan berarti aku melupakan mereka. Aku hanya ingin hidup sesuai keinginanku sendiri, aku tidak ingin terus menjadi ATM mereka di mana ketika butuh mereka datang menemui ku, mereka memaksaku memberikan uang bahkan mereka juga bersekongkol hampir menjual tubuhku pada pria lain.” Tristan benar-benar tidak tahu jika ternyata hidup Zea tidak mudah. Ternyata keluarganya sendiri menjadi boomerang baginya. “Berhutang pada rentenir itu bukan hanya sekali atau dua kali bahkan seringkali dan kamu tahu apa yang Zelle katakan ketika rentenir itu datang meminta uangnya kembali? Zelle mengatakan bahwa aku bisa menjadi jaminannya dan memaksaku ikut dengan rentenir itu, aku meminta perlindungan pada kedua orang tuaku, namun mereka mengatakan bahwa ini takdirku aku harus menjadi jaminan agar Zelle bisa melanjutkan hidup.” Tristan menjadi pendengar yang baik. Tristan berusaha menenangkan Zea karena mengingat masa lalunya. Dimana di dalam keluarga ia tidak di anggap, yang terbaik di mata orangtuanya hanya Zelle dan hidup Zelle. Semakin banyak Zelle berbuat, semakin besar kasih sayang orangtuanya. Apa pun yang Zea berikan untuk keluarganya, tidak akan pernah terhitung di mata orangtuanya. Apa pun itu, tak akan membuat orangtuanya melihatnya. Malah akan semakin menekannya. Bahkan ia kuliah pun karena usahanya sendiri. Jika tidak, ia tidak akan bekerja di sini dan menjadi salah satu staf. Zea harus berusaha sendiri hingga sekarang, ia tak akan mendapatkan semua ini jika bukan usahanya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD