Bab 4. Hubungan Tanpa Status?

1055 Words
Tak lama kemudian Roland kembali dan menghampiri bossnya. “Tuan, bagaimana dengan Nona Tamara?” tanya Roland. “Memangnya kenapa dengannya? Kamu selalu saja bahas Tamara.” “Bagaimana kalau beliau tahu?” “Memangnya kenapa kalau dia tahu? Sejak awal, Zea yang lebih dulu aku kenal dibandingkan dia. Jadi, tidak usah membahasnya,” geleng Tristan. “Jangan mengganggu kebahagiaanku.” Roland mengangguk walaupun ia juga tidak akan melawati batas, tapi ia tidak ingin bosnya mendapatkan masalah nantinya. “Malam ini aku akan tetap bersama Zea.” “Baik,” jawab Roland. “Ya sudah. Pergi lah dari sini,” usir Tristan. Roland lalu pergi meninggalkan Tristan dan Zea, Roland melangkahkan kakinya meninggalkan kamar hotel. Memang benar yang dikatakan Tristan, wanita yang lebih dulu Tristan kenal adalah Zea, jadi Tamara tidak punya hak untuk mencemburui apa yang ada. Tristan menyentuh pipi Zea, setiap kali melihat wajah Zea dan melihat gerak-geriknya, hasrat Tristan bangkit dan ingin melepaskan hasrat didalam dadanya dengan bercinta dengan Zea. Zea mengedipkan mata sebelum membuka pejaman matanya, dengan samar ia melihat Tristan duduk disebelahnya. “Kamu sudah bangun? Syukurlah,” kata Tristan. “Ada apa, Tuan?” tanya Zea bingung. “Kamu jangan banyak bergerak dulu,” kata Tristan. “Aku—” “Sudah. Kamu berbaring saja,” geleng Tristan. “Ada apa?” “Kamu hamil,” jawab Tristan. “Kamu hamil anak kita.” “Apa?” Zea membulatkan mata dan memandang plafon rumah diatas sana. Zea ingin menangis, hubungannya dengan Tristan saja belum ia ketahui, tapi ia malah hamil dan kini tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana menanggapi ini. “Tuan menerima anak ini?” tanya Zea. “Maksudnya?” “Apa Tuan menerimanya?” tanya Zea lagi. “Aku tentu saja menerimanya, aku malah senang,” jawab Tristan. “Apa yang kamu pikirkan? Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas?” “Tapi hubungan kita saja tidak jelas,” kata Zea. “Aku takut banyak berharap. Jika aku menjadi pengganggu Tuan, mending aku gugurkan anak ini.” “Kamu bicara apa? Kenapa kamu mengatakan hal itu? Apa aku memberimu izin untuk menanyakan itu?” Tristan kesal dan menatap Zea yang kini menangis. “Aku tidak suka ya kamu selalu saja menanyakan itu. Apa dengan kita bersama tidak membuatmu paham juga?" “Apa Tuan mau bertanggung jawab? Tuan kan punya kehidupan sendiri.” “Ini sudah menjadi hal biasa bagi kita, jadi aku pasti akan bertanggung jawab.” “Tapi, nikahi aku,” kata Zea. Tristan membulatkan mata, permintaan Zea mendadak, ia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, ia senang ketika mendengar Zea hamil, tapi ia lupa kalau ia dan Zea menjalani hubungan tanpa status. Zea juga tidak tahu tentang pernikahan yang sudah Tristan lakukan dengan Tamara. Andai Zea tahu, Zealova pasti akan sedih dan menganggap dirinya tidak berharga. “Aku tidak mau … hemphhh.” Ketika Zea sedang berbicara, Tristan malah mencium Zea. Zea membulatkan mata, bibir Zea selalu menjadi candu bagi Tristan, setiap Zea bicara, Tristan selalu menghentikannya dengan ciuman mesra. Tristan perlahan menggerakkan bibirnya, awalnya Zea tidak bereaksi apa pun, namun ciuman Tristan berubah menjadi liar, dan menuntut balasan. Zea membalas ciuman Tristan dan kali ini kedua tangannya ia kalungkan dileher Tristan, ciuman mereka semakin dalam. Tristan meremas gundukan milik Zea. Hingga akhirnya mereka menginginkan hal itu juga, karena Zea tak pernah melakukannya dengan orang lain, Zealova juga candu pada setiap sentuhan Tristan. Ia hamil dan ia tidak tahu apa yang akan Tristan putuskan. Zea hanya ingin status, ia tidak mungkin terus menerus menjadi orang yang dianggap jika Tristan ada maunya saja. Tristan memegang miliknya dibawah sana, menggesek dengan tangannya hingga membuat Zea meringis penuh dengan kenikmatan. Ini lah yang Zea sukai, ia selalu puas setiap Tristan melakukannya. Tristan lalu membuka seluruh pakaiannya, Zea yang hanya mengenakan gaun haram tembus pandang dan tali yang sangat kecil, membuat Tristan bernafsu ketika melihatnya, kenikmatan itu lagi dan lagi menggelitik di bagian yang terdalam. Untungnya tadi Zea mengenakan selimut, jadi tubuh seksinya tidak terlihat. Tristan tersenyum disela pagutannya. Bahagia sekali dia, ia selalu merasa bisa hidup lebih lama jika ia bersama Zea. Zea tahu bahwa ini tidak benar, banyak hal yang harusnya Zea pikirkan, apakah ini akan bertahan atau tidak, apalagi bosnya tak pernah menyatakan perasaan, jadi hubungan mereka terjalin begitu saja. Setiap Zea ingin menanyakan ini, selalu saja Tristan menghindari pertanyaannya. Apa yang sebenarnya Tristan pikirkan? Apakah Tristan menganggap kehamilannya ini biasa saja? Zea juga sudah tidak bisa melepaskan diri. *** Zea sedang di rumah Dessy, akhir pekan ini benar-benar tidak menarik karena ia tidak bersama Tristan, karena sedih dengan keadaan ini, Zea memilih ke rumah Dessy. Dessy datang dan membawa minum untuk Zea yang terlihat senduh. "Apa pindah rumah seberat itu?" tanya Dessy menepuk pundak sahabatnya. "Kalau kamu tidak nyaman di rumah baru, kenapa tidak kembali kemari?" "Aku tidak mungkin kembali kemari, Des, kamu kan tinggal bersama pacarmu." "Dulu kan kamu tidak mempermasalahkan itu," kata Dessy menyesap teh yang sudah ia buat untuknya dan untuk Zea. "Benar memang tidak masalah, tapi kan aku menjaga privasimu," kata Zea. "Jadi, sekarang kamu ceritakan apa masalahnya?" "Tidak ada masalah apapun." "Aku tahu, Zea, kamu sedang banyak pikiran, 'kan? Kamu harus tenang dan berdamai dengan dirimu sendiri, kalau ada masalah ceritakan kepadaku, aku akan coba mencari solusi untuk kamu," sambung Dessy. Zea belum siap memberitahu Dessy tentang hubungannya dengan Tristan, hal itu akan mengganggu privasi Tristan, sang bos. Ia harus pintar menyembunyikan ini. Karena jika ketahuan, antara ia dan Tristan tidak akan nyaman. Zea menyesap teh yang sudah dibuatkan Dessy, rumah Dessy memang sempit, setelah Tristan memberikannya tempat tinggal, Zea merasa lega karena ia bisa meninggalkan rumah Dessy, ia tidak mungkin terus menerus menumpang di rumah Dessy, apalagi dengan banyaknya privasi yang tidak Dessy simpan untuk dirinya. "Bagaimana rumah barumu? Nyaman?" tanya Dessy lagi. "Nyaman." "Terus?" "Terus apa, Des?" "Apa yang membuatmu tidak nyaman?" "Ini masalah lain," kata Zea. "Masalah keluarga? Masalah percintaan?" "Masalah percintaan pastinya," kata Zea. "Ha? Masalah percintaan? Kamu punya pacar? Siapa? Kenalkan kepadaku." Dessy heboh sendiri. "Nanti saja, aku belum jelas dengan dia seperti apa, jadi aku masih berusaha mencari kejelasan," jawab Zea. "Aduh. Kalian sudah tidur bersama? Jangan bilang kamu pindah rumah karena satu rumah dengan pria itu?" Dessy langsung menebaknya. Zea tidak bisa bicara lagi karena itu hanya akan membuat Dessy ingin tahu semakin banyak tentang pria yang ia maksud. "Siapa pria itu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD