SUICIDE ATTEMPT

1352 Words
Indra mendecak kesal gara-gara tak sengaja dirinya meninggalkan ponsel di atas meja makan. Ya, padahal ia sendiri tahu betul jika ponsel merupakan benda paling penting yang tidak boleh jauh-jauh dari jangkauannya. Namun entah kenapa, hari ini Indra justru malah melupakan keberadaan benda tersebut. Mengharuskan ia putar balik, guna mengambil dulu ponselnya ke rumah sebelum nanti ia melanjutkan kembali perjalanan menuju restorannya. "Ada-ada saja. Untung jarak tempuhku belum terlalu jauh dari rumah. Lagian kenapa aku harus melupakan benda sepenting itu. Ck... Mungkin gara-gara belakangan ini aku terlalu sering berpikir. Itulah sebabnya aku jadi mendadak pelupa begini," gumam si pria mendesah kasar. Lalu agak mengebut selagi jalanan yang dilaluinya tidak sedang padat kendaraan. Selagi Indra yang sedang bergegas kembali ke rumah demi supaya bisa mengambil ponselnya yang tertinggal, tepatnya di dalam kamar Maura justru baru saja selesai menuliskan banyak pesan terakhir sekaligus permintaan maafnya yang ditujukan untuk sang ayah. Walau tahu bahwa Indra bukan ayah kandungnya, tapi Maura begitu tulus menyayangi pria itu selayaknya Indra adalah ayahnya yang sebenarnya. Sembari tak henti meluncurkan air mata di kedua belah pipinya, gadis itu pun sempat mengedarkan pandangannya beberapa saat ke segala arah. Setelah hari ini, mungkin dia tidak akan pernah menghuni kamarnya lagi. Untuk itu, Maura pun merasa perlu mengingat-ingat semua kenangan yang berkaitan dengan kamarnya ini. Tempat di mana dirinya sering berkeluh kesah, juga sebuah ruangan yang bisa dijadikannya sebagai tempat beristirahat di kala rasa lelah menderanya. "Selamat tinggal, kamarku tercinta. Kelak, kamar ini tak akan lagi berpenghuni. Kosong, sepi dan tak hidup. Maaf karena selama ini aku hanya menjadikanmu sebagai tempat mengadu saja. Namun selepas aku tiada, mungkin tidak akan ada lagi yang mengisimu," ungkap Maura lirih. Kemudian, disusul dengan ia yang mulai menyeret kursi ke tengah ruangan dan tak lupa mengambil kain panjang juga untuk dijadikan sebagai alat di mana ia yang tak lama lagi akan mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri. Ya, keputusan Maura sudah bulat. Hanya karena tidak ingin menjadi bahan gunjingan teman-temannya sekaligus tak mau membebani ayahnya lagi, Maura pun memantapkan diri untuk menyudahi masa bernapasnya. Walau ia harus menempuh cara yang tak lazim, tapi biarlah itu menjadi pilihan terakhirnya. "Maafin Maura, Yah. Mungkin ini adalah jalan terbaik yang bisa Maura ambil. Dengan begitu, Maura gak akan lagi menjadi beban juga aib bagi siapa pun. Maura harap, setelah Maura tiada, tidak ada lagi satu orang pun yang masih berani menjadikan Maura bahan gunjingannya. Selamat tinggal semuanya, semoga kalian selalu bahagia ketika aku sudah tak ada lagi di dunia ini," cetus Maura bergetar. Diiringi dengan ia yang mulai melilitkan kain panjangnya ke arah kipas angin yang menggantung di langit-langit kamarnya. Membuat simpul yang dirasa sudah sangat pas dengan ukuran lehernya. Sampai pada saat kain itu sudah selesai dibuat sebagai perantara mengakhiri hidupnya, Maura pun sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seisi kamar. "Sudah waktunya aku tiada. Selamat tinggal semuanya! Jadilah saksi untuk ketiadaanku di hari ini," ucap Maura memejamkan matanya sejenak. Setelah itu, ia pun mulai memasangkan simpul kain yang semula dibuatnya untuk menyangga leher. Sementara kursi yang ia naiki sekarang tidak lama lagi akan ia tendang bersamaan dengan lehernya yang akan tercekik oleh simpul kain yang diciptakannya. Untuk terakhir kalinya, Maura pun meneteskan air mata yang seketika itu pula jatuh ke lantai. Bersiap mengakhiri hidupnya sekaligus menyudahi bagian menyedihkan yang belakangan ini sudah menjadi makanan sehari-harinya. "Selamat tinggal, Ayah. Maura menyayangimu...." bisik gadis itu memejamkan mata. Lalu saat nyaris saja ia menendang kepala kursi yang sedang dinaikinya, tiba-tiba seseorang menerobos masuk dan secepat kilat menahan kursi tersebut agar tidak terjatuh. "Maura, apa yang sedang kamu lakukan?" pekik sebuah suara yang kembali menyadarkan Maura yang kala itu juga langsung membuka kedua matanya. Dilihatnya, Indra sedang menatap cemas tepat di bawah kakinya. Membuat Maura sontak terbelalak, seiring dengan mulutnya yang bergumam lirih, "Ayah...." Untung saja Indra datang di waktu yang tepat. Andai ia tidak kepikiran untuk mengecek keadaan Maura setelah berhasil menemukan letak ponselnya, mungkin bisa saja gadis itu sudah tergantung tak bernyawa tanpa diketahui siapa pun. Namun syukurlah, setidaknya kini Indra sudah ada di dalam kamar Maura. Mencoba menyadarkan sang gadis bahwa apa yang tengah dilakukannya saat ini merupakan sebuah pembodohan yang menyesatkan. "Turun, Ra! Lepaskan juga kain itu di lehermu. Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu itu, hah? Bukankah kamu sudah berjanji padaku untuk tidak bertindak macam-macam? Lalu, apa ini? Kenapa mendadak kamu--" "Maura pantas mati, Yah. Maura gak mau hidup lagi kalo ujung-ujungnya hanya dijadikan bahan gunjingan orang banyak. Maura lebih baik mati aja daripada dihujat ini dan itu. Maura hidup pun cuma bikin malu aja, kan? Aib Maura bahkan udah tersebar ke seantero kampus dan sosial media. Jadi maafin Maura, Yah. Maura gak bisa lagi hidup dengan dihujani oleh hujatan hujatan yang Maura dapatkan. Tolong jangan hentikan tekad Maura yang sudah bulat ini, Yah. Maura--" "CUKUP, MAURA AMANDA! HENTIKAN KEKONYOLANMU INI!" raung Indra murka. Lantas turut naik ke atas kursi yang juga masih dinaiki oleh Maura. Walau agak sempit, tapi setidaknya Indra perlu memaksa Maura untuk menghentikan kegilaannya tersebut. Dia melepas simpul kain yang sudah sempat melilit di leher Maura. Kemudian setelah itu, ia pun memaksa sang gadis untuk segera turun dari atas kursi. Bersama dirinya yang juga ikut turun dan dengan sengaja Indra pun menendang kursi tersebut sampai terjengkang jatuh. "Kamu buang ke mana akal sehatmu itu, hah? Entah apa yang akan terjadi andai aku gak keburu datang dan melihatmu yang hendak menggantung diri sendiri di dalam kamar ini. Sadar, Maura!" sentak Indra sembari spontan meraih bahu Maura dan mengguncangnya. "Jangan terhasut oleh omongan orang. Hidupmu bahkan jauh lebih berharga dari apapun yang dibincangkan orang lain. Jadi berpikirlah! Kalo kamu mati dengan cara seperti yang barusan akan kamu lakukan, maka hal itu belum tentu juga akan menghilangkan hujatan dan gunjingan dari orang-orang yang sudah lebih dulu membicarakanmu," cetus Indra menyadarkan. Berupaya membuka jalan pikiran Maura di tengah dirinya yang sedang dilanda oleh titik buntu. Indra mendesah berat. Kemudian dirinya pun menarik tubuh Maura ke dalam dekapan hangatnya. "Tidak, Maura! Justru saat mereka tahu bahwa kamu mati dengan cara yang tak layak, mereka semua bahkan akan terus menjadikanmu sebagai topik perbincangan sampai mereka bosan sendiri. Dan lagipula kenapa kamu harus tersinggung dengan apa yang digunjingkan oleh orang lain? Akan lebih baik jika kamu lebih bisa menerima semua kenyataan yang ada. Mungkin mereka bisa berkata apapun, tapi bukan berarti kamu menjadi lemah hanya setelah melihat atau mendengar orang lain membicarakanmu. Jangan selemah itu, Maura! Kamu mungkin sudah berbuat salah sehingga menjadikanmu sebagai manusia yang tak dianggap baik oleh orang-orang itu. Tapi tolong, minimal kamu jangan menjadikan argumen mereka sebagai kenyataan yang sebenarnya. Buktikan bahwa sesalah apapun kamu di masa lalu, kamu bahkan masih bisa memperbaikinya di masa mendatang! Bukan dengan cara ingin mengakhiri hidup, yang justru hanya akan terus memperburuk namamu semata!" tandas Indra panjang lebar. Mencoba membuat Maura mengerti bahwa mengakhiri hidup bukan pilihan terbaik yang pantas untuk diambil. Air mata terus merebak di pipinya. Tangisan itu semakin terdengar menyayat di telinga Indra yang masih setia memeluk dan mengusap-usap punggung Maura. Tubuh Maura bahkan bergetar hebat saking rapuhnya ia sekarang. Mengharuskan Indra tak hentinya menyalurkan energi positif pada Maura, walau mungkin saja hal tersebut tak terlalu berpengaruh pada keadaan Maura yang kian memprihatinkan. Dan inilah yang Indra takutkan jika dia meninggalkan Maura sendirian di rumah di tengah kondisi psikisnya yang belum stabil. Andai Indra tidak kembali lagi ke rumah dan mengecek kamar Maura dengan inisiatifnya, maka kemungkinan besar Maura tiada akan sepenuhnya terjadi tanpa bisa Indra hentikan. Pria itu sampai harus menghela napasnya berulang kali. Sepertinya perkataan dokter Renata tempo hari ada benarnya juga. Ada baiknya, Maura diajak bepergian dulu saja ke tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Setidaknya, gadis ini butuh penyegaran otak agar kelak dirinya bisa menemukan jalan keluar yang lebih menguntungkan. Terlalu lama diam di rumah pun hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut saja. Untuk itu, mungkin Indra perlu mengatur sebuah perjalanan ke suatu tempat yang akan mereka datangi bersama-sama. Meski Indra harus meninggalkan dulu pekerjaannya dan mempercayakannya pada mereka yang dapat Indra andalkan, hanya demi kebaikan dan keberlangsungan hidup Maura di kemudian hari, Indra pun tentu akan melakukan berbagai cara agar gadis ini bisa kembali berpikir jernih di tengah keadaannya yang masih sangat rapuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD