Devon mengetik cepat pada keyboard laptopnya saat tengah meretas masuk ke dalam data pribadi seseorang. Ia sedang mencari data indikasi kejahatan finansial seorang investor yang akan menanamkan modal. Investor itu mungkin bisa menyarukan identitasnya dengan paspor palsu, tapi tetap tidak akan lolos dari Devon Kazuya.
“Aku sudah mendapatkannya, Dad. Dia melakukan manipulasi pajak untuk sebuah perusahaan asuransi. Kasus ini pernah ditangani oleh Kepolisian Nevada sampai mereka memberikannya pada FBI. Tapi tidak pernah selesai, aku rasa dia ingin melakukan pencucian uang dengan melibatkan perusahaanmu,” ujar Devon memberikan penjelasan pada sang ayah.
“Ini yang terjadi jika kamu tidak kembali ke perusahaanku, Nak. Aku membutuhkanmu,” balas Han Kazuya mulai kembali meminta Devon untuk mengurus perusahaan. Devon kembali menggerutu seperti biasa. Hidupnya sudah mapan dan bahagia. Ia tidak mau terjebak pada rutinitas bekerja sampai tua seperti ayahnya.
“Oh, come on, Dad! Kita sudah bicarakan ini berkali-kali ....“
“Tapi kamu kan belum mencobanya. Aku membangun semua ini untukmu. Ibumu bahkan terlibat dalam membesarkan perusahaan ini,” kilah Han masih dengan suara rendahnya dengan tingkat kesabaran yang luar biasa. Menghadapi anak seperti Devon layaknya menghadapi lautan. Jika terlalu dipaksa, ombak akan menghempaskan tanpa ampun ke pantai.
“Aku sudah pernah bicara pada Mommy. Aku sudah bilang jika aku tidak ingin menjadi CEO atau apa pun. Aku akan tetap membantu kalian menyusun semua skema utang, pajak dan keuangan yang sehat. Hanya itu,” kilah Devon mulai terdengar kesal.
“Kamu bersedia bekerja untuk JP Morgan dan Bloomberg tapi tidak untuk Han Golden Group.” Devon menarik napas panjang lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerja yang empuk. Pendengarannya tercantel sepasang earbuds untuk menyambung komunikasi dengan ayahnya.
“Mereka membayarku mahal,” gumam Devon pelan.
“Aku akan membayar seperti yang mereka lakukan. Berapa?” ujung bibir Devon terangkat angkuh dan mendengus sinis. Jika ia berani menarik bayaran tinggi dengan bekerja pada HG Group bukankah kepalanya akan langsung dilubangi oleh sang ibu, Stevia?
“Sudahlah, Dad. Biarkan aku tetap berada di luar seperti sekarang. Aku punya banyak tur dan aku tidak sempat bekerja seperti orang kantoran.” Devon beralasan. Han menarik napas panjang dan terdengar kecewa. Entah berapa kali Devon sudah mendengar helaan napas kekecewaan yang dikeluarkan oleh ayahnya gara-gara dirinya.
“Aku ingin kamu meneruskan semuanya, Dev. Aku akan semakin tua dan ingin pensiun bersama Ibumu.” Devon tersenyum kali ini.
“Jangan tua dan tetap nikmati pekerjaanmu, Dad. Aku tahu kamu menyukainya. Setidaknya para leluhur kita yang tidak pernah merasakan nikmatnya kekayaan di tanah Amerika, kita sudah merasakannya, bukan? Aku tidak mengatakan ini untuk mengejekmu. Aku serius,” ujar Devon merujuk pada akar ras sang ayah yang merupakan imigran Asia percampuran Jepang dan Korea. Han Kazuya kemudian menikah dengan Stevia Kenneth yang memiliki ras Eropa yang kental.
Han selalu bercerita jika kakek nenek buyut Devon adalah pengungsi dan tahanan masa perang dunia ke dua. Saat Jepang menginvasi Korea, keduanya melarikan diri sampai akhirnya tertangkap. Kemiskinan dan keterbelakangan membuat salah satu anak mereka yaitu ayah dari Han, mencari cara untuk pindah ke Amerika saat perang dingin berlangsung. Ia malah menikah dengan orang Jepang bermarga Kazuya.
Keluarga yang tak beruntung karena memiliki dua nama keluarga yang bertentangan, yaitu Jepang dan Korea akhirnya memilih Kazuya sebagai nama keluarga saat perang Korea berlangsung dan Amerika menjadi salah satu yang terlibat. Keadaan makin serba sulit dengan segala perundungan yang diterima oleh Han selama masa remaja.
Ia bergabung dengan kelompok triad dari Hongkong di New York bernama Golden Dragon yang mengubah hidupnya. Ia menjadi tangan kanan pemimpin gangster yang menjelma menjadi kelompok Asia terbesar yang menguasai New York terutama Brooklyn dan Brooks.
Kini, Han telah membangun perusahaan transportasi dan perhubungan laut dan pembangunan dermaga yang cukup besar. Investasi semakin besar terutama saat Devon, sang anak yang berada di balik layar perencanaan keuangan. Masalah Devon hanya satu, dia anak yang jenius tapi gampang bosan. Satu-satunya yang tidak membuatnya jenuh hanyalah meramu musik sebagai DJ.
Selama SMA dan kuliah, Devon telah mengambil pendidikan sampingan sebagai DJ. Ia mulai tur di usia 15 tahun dan masuk ke klub-klub. Selain menyelesaikan kuliah magister di jurusan Matematika di Yale, Devon adalah DJ terkenal. Dia menyematkan nama DK sebagai nama panggung. Wajah tampan dan kehebatan meramu musik membuatnya mudah menjadi selebriti di New York dan Los Angeles.
Usai bicara pada ayahnya, Devon hanya diam memperhatikan layar laptopnya. Pikirannya sejenak kosong dan rasa bosan itu datang lagi.
“Ugh, apa lagi yang belum aku lakukan dalam hidupku. Aku sudah mencoba semuanya,” gumam Devon menengadah ke atas. Otaknya sedang mencari-cari hal baru yang akan membuatnya senang. Belakangan ia mulai merasa semuanya monoton. Bahkan turntable tak bisa lagi membangkitkan semangat serta gairahnya.
“Apa yang dilakukan Izzy sekarang?” Devon tiba-tiba ingat Izzy dan menyentuh ponselnya. Ia sedang bimbang dan mempertimbangkan untuk menghubungi pacar barunya itu.
“Bukannya aku sudah jadi pacarnya? Kenapa aku harus takut menghubungi dia?” protes Devon pada dirinya sendiri. Ia menepis rasa ragu dan segera menghubungi Izzy. Devon sampai mendehem kala dering tersambung.
“Halo?” Devon akan membuka mulut langsung mengernyit saat mendengar suara bukan Izzy yang menjawab. Itu suara seorang pria.
“Siapa ini?” hardik Devon tanpa ragu. Terdengar napas tersengal dari seberang sana. Devon menegakkan punggung dan curiga. Ia mencoba bicara seraya melacak keberadaan ponsel Izzy dari laptopnya.
“Apa kamu yang menemukan ponsel gadisku? Dia pacarku!” pancing Devon yang curiga jika ponsel Izzy dicuri orang.
“Jadi kamu pacarnya?”
“Iya, kembalikan ponsel itu ....“
“Kamu harus mengambilnya sendiri dan memberikanku uang untuk menebusnya. Jika tidak akan kuhancurkan ponsel ini beserta data di dalamnya. Aku tahu jika pemilik ponsel ini memerlukan datanya, iya kan?” kening Devon mengernyit. Ia bisa menemukan lokasi ponsel tersebut. Pencurinya amatiran. Ia terus bicara dan mengancam membuat Devon melokalisasi posisinya.
“Oke, aku akan memberikan uangnya. Berapa?”
“Uhm, 1000 dolar, tunai!” Devon ingin meledak tertawa tapi kemudian ia mengangguk meski tak ada yang melihat.
“Kamu yakin? Tidak ingin menambah?” tawar Devon memasang jebakan.
“Apa?”
“Ya aku akan berikan 2000 dolar, bagaimana?” Devon menawar lebih tinggi dan malah membuat si pencopet bingung.
“B-Baiklah. Aku setuju. Datang sekarang!” sambungan langsung terputus. Devon berdecap seraya mengeluarkan ponselnya yang lain.
“Apa kalian di 70th Street?” tanya Devon menghubungi salah satu anggota gangster Golden Dragon yang menguasai wilayah itu.
“Iya, Ketua!”
“Lakukan perintahku!”
Sementara itu gara-gara menyusul anak buahnya, Andrew Miller akhirnya mengetahui tempat tinggal Izzy. Ia mengantarkan teman kecilnya itu sampai ke ruang tengah apartemen. Andrew bahkan menggendong Izzy ke sofa.
“Terima kasih. Oh iya, aku belum tahu apa pekerjaanmu sekarang.” Andrew mendehem sekaligus melirik ke pintu depan. Jacob masih mengekorinya dan Izzy yang polos tak curiga.
“Uhm, aku hanya seorang pelayan bar.“ Izzy langsung kaget.
“Apa?” pekiknya menaikkan suara. Andrew dengan cengir canggungnya hanya mengangguk saja.
“Oh, apa tidak sebaiknya kamu pulang saja ke rumahmu. Aku yakin penthouse di At Pierre Hotel masih ada. Sebentar aku hubungi Ayahku dulu.” Izzy hendak meraba ponsel tapi dengan lugunya ia meringis.
“Maaf, ponselku ....” Andrew tersenyum dan terkekeh kecil.
“Aku akan meminta Polisi itu menemukan ponselmu, oke?” Izzy tersenyum lalu mengangguk. Andrew pun bangun lalu pamit pada Izzy usai memeluknya sekali lagi.
“Setelah menemukan ponselmu, aku akan kembali.” Andrew membuat janjinya lalu pergi lewat pintu depan meninggalkan Izzy di rumahnya. Izzy menarik napas panjang menatap kepergian Andrew dari rumahnya. Ia mungkin memang tak dekat dengan Andrew dulunya tapi pria itu adalah anak mendiang sahabat ayahnya, Bryan.
“Apa aku harus lapor sama Daddy kalau Andy sudah pulang?”