PM - PEREMPUAN PENDENDAM

1839 Words
  Happy Reading ^_^   ***   Prana terperangah karena diperlakukan dengan sangat tidak sopan begini padahal ini adalah pertama kalinya bertemu. Padahal mereka akan menjadi tetangga selama beberapa bulan ke depan, tapi kok ya sikapnya tidak ramah sama sekali. Prana mengaku kalau dia bukan orang yang terlalu penasaran dengan tetangganya, tapi kalau dia tahu tetangganya sejudes itu, benaknya jadi tidak nyaman. Apakah dia harus pindah saja ke kontrakan yang tetangganya lebih manusiawi? Pikir Prana dengan muram.   Prana yakin kalau pertemuan mereka adalah yang pertama kalinya. Tapi kenapa perempuan itu terlihat seperti pernah bertemu dengannya? Dan dari sikap jengkelnya, seolah-olah Prana pernah berbuat kesalahan saja di masa lampau. Tapi apa? Tunggu... ini pertemuan pertama mereka, tapi kenapa Prana merasa familiar dengan suaranya? Dan jarum suntik... bukankah latah seperti itu pasti didasarkan pada kebiasaan rutinnya? Tidak mungkin dia membahas-bahas jarum suntik yang ujungnya bikin ngilu itu kalau tidak ada hubungan secara nyata dengan benda itu. Tapi siapa?   Dan otaknya yang cukup encer belakangan ini menampilkan satu sosok yang membuat harinya sempat buruk sekali. Kepalanya terdongak dengan tidak percaya. Benarkah dia si staff medis judes itu? Wah, dunia benar-benar sempit, pikirnya.   Dan pintu kontrakan perempuan itu terbuka lagi. Prana langsung bangkit dari duduknya dan menatap perempuan itu lekat-lekat. Sekarang tampilannya jauh lebih sopan dari sebelumnya. Kimono mandi yang tak tersimpul rapi sudah digantikan dengan pakaian tidur warna pink lembut. Benar-benar kontras dengan sikapnya yang garang. Warna pink yang manis ternodai oleh perempuan itu.   “Sekarang saya tahu kamu siapa,” ujar Prana dengan nada sok misterius.   Bianca mendengus. “Saya juga tahu kamu siapa. Kamu keponakannya dokter Adi yang sok dewasa itu kan?!”   Prana menelan ludahnya karena jawaban yang tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Benar-benar pendendam sekali, pikir Prana dengan geli.   “Kamu ngapain sih di sini? Kamu ngikutin saya ya? Kamu sengaja kan karena mau nyiksa saya? Ngaku aja deh kamu.”   Prana tercengang. Apa salahnya sampai dia dituduh seperti ini? Dengan memajukan sedikit tubuhnya dia berujar, “Mbak, saya dapet info kalo paketan saya dititipin di sini sama JNT, makanya saya ke sini. Jangan berburuk sangka terus kenapa? Sensian banget sih kayaknya.”   Benar, kenapa dirinya sensian banget sih? Rutuk Bianca dalam hati. Padahal sejak tahu pria itu keluar dari rumah sakit dia terus dilanda perasaan bersalah. Dia merasa tidak memperlakukan pasiennya dengan baik. Tapi kenapa saat mereka dipertemukan lagi dia malah sensian seperti ini? Pria ini juga tidak menuntut maaf darinya sedikit pun.   Mungkin ini efek kalau dia sudah kehilangan respect terhadap seseorang. Keponakan dokter Adi itu sudah meremehkan bagian dari pekerjaannya dan itu sangat membekas. Dan kalau sudah seperti itu, jangan kan mengobrol santai, sekedar bertemu pun pasti membuat Bianca jengkel setengah mati. Salah satu sikap buruknya, noted. Dia akan memperbaikinya di kemudian hari, batinnya berseru.   “Ya terus kamu mau ngapain ke sini, hah?” tanya Bianca dengan judes. Sudah kepalang malu, jadi lebih baik dilanjutkan walau image-nya pasti buruk banget.   “Ya mau ngambil paketan lah. Nggak mungkin banget saya mau ngapelin perempuan judes kayak kamu. Nggak kenal juga kan?!”   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Tahan, Bi, jangan sampe lo nyakar mukanya. Lo nggak punya duit buat ganti rugi ke orang yang kalo sakit masuknya VIP. Berat pasti! Batinnya berusaha menenangkan diri.   Bianca masuk kembali ke dalam kontrakannya dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Tak lama kemudian dia muncul lagi tapi dengan langkah yang sedikit terseok-seok. Dia menendang paketan si keponakan dokter Adi dengan ekspresi cemberut.   “Mbak, itu paketan isinya buku, bukan sesuatu yang menjijikkan. Jadi nggak perlu lah ya sampe ditendang-tendang pake kaki kayak gitu,” Prana menggerutu karena sadar betapa kekanakannya perempuan itu. Sudah judes dan sekarang ditambah kekanakan. Apes sekali dirinya harus bertemu dan akan bertetangga dengan perempuan seperti itu.   Bianca mendengus. “Keponakannya dokter Adi—”   “Prana! Nama saya Pranadipa Mahendra, jadi tolong panggil dengan benar.”   Bianca memutar bola matanya mendengar sahutan bernada pedas itu. “Bapak Prana, ini tuh bukan perkara saya jijik dengan paket anda, tapi Bapak nggak lihat sebesar apa paket anda? Ini tuh berat! Terus saya harus ngangkat benda seberat ini demi anda gitu?”   Prana terbengong. Bianca mendengus.   “Masih nggak peka?!”   Prana tersadar dan tertawa bodoh. “Oh iya, sorry-sorry.”   Tanpa perlu diperintah, Prana langsung maju dan mengangkat paketnya sendiri. Dia menatap perempuan itu dengan tawa malu-malu. Sudah ngegas, salah pula. Malu-maluin, batin Prana.   “Kok alamat paketan lo bisa di rumah Bu Siwi sih? Depan itu kan rumahnya Bu Siwi.”   “Kamu kenal Tante Siwi?”   “Ya kan dia kepala ruangan laboratorium gue.”   “Kamu punya rumah sakit?”   Duh gusti...   Bianca meralat kalimatnya dengan nada gemas. “Maksudnya Laboratorium tempat gue kerja. Rumah sakit. Patologi Klinik. Puas?!”   “Ya kan saya cuma memastikan apa yang kamu bilang. Jangan sensian kenapa sih?”   Bianca memutar bola matanya.   “Saya di sini lumayan lama, jadi ya mending cari kontrakan daripada nginep di hotel. Mahal.”   “Ya terus ngapain di rumah Bu Siwi sih? Kan kontrakan banyak.”   “Ya kok lo yang sewot sih?” ujar Prana dengan gemas. Kata saya-kamu pun sudah berganti lo-gue. “Tante Siwi aja seneng kok rumahnya dikontrak sama gue. Secara nggak langsung kan dia bakal dapet duit selama gue ngontrak di sini. Nah lo... lo yang bukan siapa-siapa kok sewot banget.”   “Ya tapi ngapa harus banget di depan kontrakan gue gitu? Kan deket perempatan sana juga kosong. Ngapa nggak yang itu aja?”   Prana memutar matanya dengan lelah. “Mbak Arbe...” ujar Prana sambil menyebut nama perempuan itu. Demi harga dirinya, semoga saja dia tidak salah melafalkan namanya, batin Prana. “Kok jadi situ ya yang ngatur-ngatur saya? Saya ditawarin rumah yang ini, ya udah saya terima. Daripada saya pusing cuma perkara tempat tinggal kan? Lagian juga rumahnya bagus, udah ada isinya. Dan aksesnya ke beberapa tempat deket.”   Dan itu adalah salah satu alasan kenapa lo milih rumah ini, dodol, batinnya berseru yang seperti mengolok-olok sikapnya yang tidak dewasa   “.... sedangkan rumah yang Mbak Arbe maksud di perempatan itu nggak tahu punya siapa. Kalo saya milih tempat itu sekalipun, yang ada saya masih repot berkali-kali. Ada yang mudah kok saya milih yang susah. Kok kesannya kayak saya bodoh banget gitu.”   “....”   “Mbak Arbe, pertimbangan semacam ini tuh normal bagi orang yang mau ngontrak di suatu tempat, jadi tolong jangan berfikiran buruk ke saya. Apalagi sampe berlebihan kayak saya ngikutin anda gitu. Seriusan, itu lebay.”   Benar juga, pikirnya. Kenapa sejak tadi dia terus seperti ini sih? Sadar kalau sikapnya sudah tidak wajar, Bianca harus segera mengeluarkan pria itu dari rumahnya. Prana bukan orang yang baik untuk kesehatan pikirannya. Dia harus segera mengusirnya sebelum terjadi peperangan antar tetangga dan menyusahkan RT komplek mereka. Ya, sebelum ada perang tetangga komplek pertama, Prana harus segera pergi dari rumahnya. Syukur-syukur bisa segera pergi dari komplek ini juga.   “Ya udah sana lo pergi. Mood gue dah buruk banget. Dan ketambahan lo juga.” Bianca menyuruh sambil melambaikan tangannya pertanda mengusir.   Prana mendengus. “Nggak usah disuruh juga saya udah mau pergi kok. Makasih ya, Mbak Arbe.”   Prana sudah berbalik untuk pergi, tapi kakinya bertahan pada posisinya. Dia berbalik dan menatap Bianca lagi.   “Mbak, dalam beberapa bulan ke depan sepertinya kita bakal jadi tetangga. Jadi dimohon kerja samanya ya supaya nggak ada kekacauan di komplek ini karena kita. Saya mohon sekali, kurangi sensiannya ke saya.”   “Sana ke Pak RT, terus tanya apa saya sensian. Saya tuh nggak sensian ya! Tergantung aja sih berhadapan sama siapa dalam kondisi yang seperti apa.” Katanya dengan nada ketus.   “Santai, santai, jangan emosi lagi. Mbak lagi PMS ya?” tanya Prana dengan nada setengah menggoda.   Bianca memejamkan matanya. “Emangnya kenapa kalo gue lagi PMS? Lo mau beliin softex-nya, hah?!”   Ups.   ***   “Bu Siwi, itu kenapa sih rumahnya kok dikontrakkin sama cowok itu? Orangnya jengkelin banget tahu.” Bianca bertanya padahal Bu Siwi –kepala ruangan laboratorium patologi klinik- baru saja datang dan baru menaruh tasnya ke loker.   “Kamu udah ketemu dia? Orangnya baik kok. Sopan banget sama Ibu.”   Sopan apanya! Bianca menggerutu dalam hati.   “Harus banget gitu dia ngontrak di rumah Ibu? Kok bisa kenal sih Ibu sama dia?”   “Harusnya Ibu yang nanya, Be, kok kamu sensi banget sih bahas-bahas dia? Udah pernah ketemu ya sebelumnya? Di mana? Kok bisa?”   Bianca langsung gelagapan kala keadaan berbalik dan dirinyalah yang diinterogasi. Dia enggan menatap mata Bu Siwi yang sekarang menatapnya dengan rasa penasaran yang tinggi. Mata tuanya juga berkilat usil. Pasti dia sengaja karena tahu Bianca selama ini tidak pernah menyinggung seorang pria sedikit pun.   “Jawab pertanyaan aku dulu, Ibuuuu. Kok jadi malah balik interogasi sih,” gerutu Bianca.   “Ya kan rumah itu rumahnya Ibu, Be, jadi ya suka-suka Ibu dong. Kebetulan rumah itu kosong, jadi ya biar ada yang ngerawat ya ibu pasrahkan aja ke nak Prana.”   “Kok Ibu bisa percaya segampang itu sih sama dia?”   “Ya dokter Adi yang ngenalin, masa iya Ibu mau curiga. Lagian tampang alim kayak gitu tuh nggak mungkin deh aneh-aneh.”   Bianca mendengus. Dokter tua itu –astaga. Ingatkan Bianca untuk mengomelinya suatu saat nanti.   “Terus sampe kapan dia ngontrak di situ?” tanya Bianca dengan penasaran. Karena tidak mungkin dibatalkan, jadi Bianca akan berpasrah diri. Dan tahu kapan cowok itu pergi adalah penyemangatnya.   “Dia bayar untuk dua bulan sih, tapi nggak tahu juga. Katanya nanti kalo masih perlu ya nambah lagi, tapi kalo keperluannya beres lebih cepet ya nggak sampe dua bulan.”   Semoga keperluannya cepat beres, Ya Tuhan, batin Bianca mendoakan dengan kerendahan hati. Dia sangat tulus, jadi semoga saja dikabulkan dengan cepat. Syukur-syukur minggu ini pria sok dewasa itu segera pergi.   “Emang dia di sini ngapain sih, Bu? Kerja? Emang aslinya mana?”   Ibu Siwi tergelak. “Ya mana Ibu tahulah, Be. Ibu nggak nanya yang aneh-aneh karena udah tahu dokter Adi di belakangnya. Tapi katanya dia domisili di Batam dan di sini ada urusan kerjaan.”   “Batam?” Bianca membeo dengan tatapan cengo.   Ibu Siwi tertawa. “Yakin nih baru tahu? Jangan-jangan kamu tahu detail-nya lagi. Gelagat kamu tuh kayak udah kenal dan deket banget sama dia.”   “Ibu ini jangan suudzon ya. Mana ada aku kenal dia.” Bianca berkilah. “Lagian kerjaannya apa sih, Bu? Kok lama banget di sini. Pelatihan jelas nggak mungkin sampe berbulan-bulan.”   “Bukan pelatihan, dia bilangnya kerjaan kok,” Ibu Siwi memberitahu. “Kalo mau tahu detail-nya ya tanya aja lah, Neng. Kan tetangga. Depan-depanan juga rumahnya. Nggak nyampe lima menit udah bisa tuh tuker informasi sama tuker nomer handphone.”   Bianca langsung merengut kala obrolan mereka sudah mulai keluar dari jalur aman.   “Pepet coba, Be. Umurnya kayaknya nggak jauh dari kamu deh. Trus keliatannya juga masih single. Ibu liat dia nggak pake cincin kawin kok. Keliatannya juga bertanggung jawab. Tipe kamu bangetlah.”   Tipe apanya! Ibu Siwi mana tahu tipenya sepertinya apa, batin Bianca dengan jengkel.   “Ya itu yang keliatan aja, Ibuuuu. Yang nggak keliatan? Udah idung belang, istrinya udah dua, trus ke sini mau cari istri ketiga. Jangan percaya sama yang keliatan doang, Bu.”   “Ya tapi kamu juga nggak boleh ngeliat yang nggak keliatan. Kan kalian belum sah!”   Seketika Bianca langsung bergidik. Pikirannya mulai melantur ke mana-mana. Dia menggeleng.   “... makanya pepet aja dulu, kali aja cocok. Kalo cocok siapa tahu bisa nikah tahun ini. Kan abis itu ketahuan tuh yang nggak keliatan itu kayak mana!”   Inilah akibatnya kalau dia bergaul dengan Ibu-Ibu yang sudah berpengalaman dengan suami dan urusan ranjang. Bianca yang polos langsung dicemari hanya dengan sebuah kalimat sederhana. Kurang ajar! Batinnya dengan frustasi. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD