AB - YA NGGAK MUNGKINLAH!

2654 Words
  Happy Reading ^_^   ***   “Arbeeeeee!”   Bianca langsung berhenti dan memejamkan matanya sebentar kala mendengar panggilan mendayu-dayu yang khas itu. Ya, siapa lagi kalau bukan dokter Adi. Dengan kaki yang dihentakkan dia berbalik untuk memastikannya. Dan perkiraannya tidak salah sama sekali. Dia mendengus.   “Hey, apa kabar kamu?” tanya dokter Adi seriang mungkin. Tanpa aba-aba dia langsung merangkul pundak Bianca dan mereka berdua berjalan beriringan. Alih-alih rekan medis dalam rentang usia yang jauh, mereka berdua lebih terlihat seperti bapak dan anak.   “Ngapa dokter nanya-nanya kabar aku? Mau ngeledek kapan mati gitu?” tanya Bianca dengan judes. Dokter Adi Sapta, Sp.P tergelak mendengar tuduhan konyol itu.   “Kamu tuh kenapa sih belakangan ini judes banget? Awas lho nanti laki-lakinya menjauh. Makin sulit kamu nyari jodoh.”   “Dokter Adi yang apa-apaan, bukan aku ya. Kenapa sih dokter harus ngontrakkin keponakan dokter yang manja itu pas banget di depan rumah aku? Pengen nyekek orang rasanya aku sekarang.”   Bianca bercerita layaknya mengadu pada Bapaknya. Padahal seharusnya dia tidak melakukan itu karena dokter Adi adalah Om-nya si pria sok dewasa itu. Tapi biarlah, toh dokter Adi tidak pernah sepicik itu. Bahkan Bianca yang terang-terangan menolak anaknya –Adrian- pun tetap tidak memengaruhi sikapnya pada Bianca.   “Oh, jadi udah ketemu ya sama dia? Kok cepet banget sih?”   Dan lihat, bukannya menjawab, dokter Adi malah menggoda Bianca. Seperti inilah sosok orang yang sangat-sangat berkesan bagi Bianca. Pendidikan dan jabatannya tinggi, tapi tidak pernah berfikiran picik. Bahkan terkesan bodoh untuk ukuran seorang dokter yang sangat disegani bahkan oleh direktur rumah sakit sekali pun. Bagi Bianca, dokter Adi adalah panutannya.   “Dokter Adi nggak usah mikir yang aneh-aneh ya. Itu tuh kebetulan aja,” Bianca berkilah sebelum pikiran dokter tua itu semakin berfikiran semakin liar. “dan kebetulannya lumayan menjengkelkan!”   “Kamu tuh terlalu sensi, Be, makanya pikiranmu udah mikir yang jelek-jelek aja tentang keponakan saya. Padahal dia baik lho,”   Bianca memutar bola matanya. Baru saja dia ingin menyela dengan cepat, dokter Adi menahannya.   “... maksud saya baik tuh bukan dalam artian sikap ya, tapi hati. Dia orangnya baik, tapi memang mulutnya agak kasar. Suka to the point.”   “Tapi, dok—”   Dokter Adi mengangkat tangannya lagi yang membuat Bianca langsung menutup mulutnya rapat-rapat.   “Nih, ini nih yang saya maksud sensian. Kamu ketemu Prana baru berapa kali sih? Nggak lebih dari lima jari tangan ini kan?” dokter Adi menunjukkan lima jarinya yang kemudian di gelengi oleh Bianca secara spontan. “tapi sikap kamu seolah-olah kamu udah ketemu dia ribuan kali dan dia nggak berubah. Hanya karena pertemuan pertama kamu dengan seseorang nggak baik, nggak bisa dong kamu judge orang itu sebagai orang yang nggak baik juga. Itu nggak adil.”   Iya juga, pikir Bianca.   “Saya kenal kamu tuh udah lama banget, Be. Saya paham lah kalo kamu tuh ngandelin first impression ke orang-orang yang kamu temui, tapi kan itu nggak selalu mencerminkan sikap orang itu. Dan karena first impression-mu ke Prana jelek, jadi ya udah kamu sensi banget kayak gini.”   Dan sekarang dia seperti dinasehati oleh Bapaknya sendiri. Mulut Bianca berkomat-kamit di balik maskernya karena jengkel diceramahi seperti ini.   “Jadi maksud dokter Adi ngomong kayak gini ke saya itu apa? Mau belain keponakannya?”   Dokter Adi tergelak. “Ya nggaklah. Ngapain coba saya belain anak itu. Prana udah gede dan dia nggak butuh pembelaan saya cuma buat menunjukkan sosoknya yang sebenarnya,” kata dokter Adi dengan mengguncang-guncang bahu Bianca. Tujuannya adalah untuk merilekskannya setelah tegang beradu argumen beberapa saat tadi. “justru saya itu mencoba menyelamatkan kamu sebelum kamu makin terjerumus dalam standar first impression-mu yang salah itu.”   “....”   “Sapa tahu kamu udah ditakdirkan bertemu dengan jodohmu dengan first impression yang jelek. Dan karena kamu udah sensian dari awal, kamu menjauh deh. Dan akhirnya kamu jomblo seumur hidup karena tanpa sadar udah mengabaikannya.”   Bianca langsung bergidik karena memikirkan apa yang dikatakan oleh dokter Adi. Pria paruh baya itu tergelak menyadari responnya.   “dokter Adi jangan bikin aku parnoan ya. Yang namanya jodoh itu udah diatur!”   “Ya memang udah diatur, tapi kalo kamu terus-terusan berfikir negatif ya bakal kabur juga orangnya.”   Bianca mendengus.   “Makanya ya, Be, berfikiran positif itu memang penting banget. Dari situ kamu bisa menjalin hubungan baik antar sesama manusia. Dan kalo udah berhubungan baik kan pasti bisa mengenal sampe ke dalam-dalam dengan baik juga.”   “....”   “Dan orang pacaran pasti dimulai dari situ juga kan? Mereka jadian ya karena dia udah mengenal lawannya dengan baik. Nggak mungkin jadian tanpa tahu apa pun. Akhirnya? Mereka ketemu dengan jodohnya. See? Hanya dengan berfikiran positif kamu bisa mendapatkan banyak hal, mulai dari percintaan sampai bisnis.”   “Dan kenapa dokter Adi bahas berfikiran positif, trus merambat ke jodoh saat kita membahas keponakan Om yang sok dewasa itu?” tanya Bianca dengan mata menyipit.   Dokter Adi mengangkat bahunya cuek. “Ya siapa tahu kalo jodoh kamu bakal persis seperti dia. Kalian ketemu dengan first impression yang kurang baik, tapi karena kamu mencoba untuk berfikir positif akhirnya kamu jadi mengenal dia dengan baik.”   “Maksudnya dokter Adi jodoh saya Prana-Prana itu, hm?”   “Saya bilang yang persis. Saya nggak bawa-bawa  nama Prana kok. Kamu aja yang nyimpulin.”   Bianca menghembuskan napasnya dengan kasar. Dokter Adi menampilkan senyum lebar yang membuat Bianca semakin jengkel saja.   “Jangan-jangan dokter Adi sengaja ya nyuruh Prana ngontrak depan rumah aku? Dokter mau jodohin aku sama dia ya?!” tanya Bianca dengan telunjuk terarah pada pria paruh baya itu. Dokter Adi menepis tangan itu dengan gemas.   “Kepedean banget sih kamu, Arbetiana Bianca!”   Bianca langsung merengut dan mengubah cara berjalannya menjadi menghentak-hentak. Dokter Adi tergelak.   “Saya tuh nyuruh Prana ngontrak di sana karena kenal Bu Siwi. Daripada saya pusing-pusing nyari orang lagi ya mending saya pilih dia aja. Toh rumahnya udah oke. Sesuailah sama selera dia yang nggak mau pusing buat hunian sementara.”   “....”   “Kamu tuh judes-judes tapi kalo mengkhayal tinggi banget ya. Hebat!”   “Semakin aku tua namun single, banyak orang-orang yang mulai suka ikut campur dalam hidup aku. Ya kayak-kayak makcomblang gitulah. Aku tuh nggak suka ya yang begitu, dok, jadi jangan aneh-aneh.”   “Nah, ini nih yang negative thinking ke beginian. Padahal sisi baiknya kamu dikenalkan ke orang yang prospek cocoknya tinggi tanpa perlu repot-repot. Eh kamu udah suudzon bakal dapet yang buruk. Positive thinking, Be. Baru aja dikasih tahu tapi udah lupa aja.”   “....”   “Lagian saya juga ogah ya jodohin kamu sama Prana. Daripada buat Prana mending saya jodohin kamu buat Adrian. Iya nggak, Be?”   Bianca langsung menepuk kepalanya dan melepaskan rangkulan dokter Adi yang membuat gerah. Ya, dia gerah kalau sudah membahas perjodohan dan dokter Adi mengajukan anaknya yang merupakan dokter bedah. T  anpa perlu berfikir dua kali atau bahkan ribuan kali sudah jelas jawabannya: Ya nggak mungkinlah!   ***   Prana membuka pintu dengan malas. Dan tatapan mengantuknya semakin menjadi-jadi kala tahu siapa si tersangka yang mengganggu tidurnya. Tanpa malu-malu Prana menguap lalu masuk lagi ke dalam dan rebahan di sofanya. Dia tidak perlu mempersilakan si tamu karena tahu hal itu tidak berguna.   Sementara itu dokter Adi Sapta Sp.P menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tidak percaya. “Enak ya orang jam segini baru balik kerja lah kamu malah baru bangun tidur.”   “Ya gimana lah, Om. Kerjaan kita kan emang beda. Suruh siapa Om mau jadi dokter.”   Dokter Adi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Untung kamu nggak jadi dokter. Kalo jadi, udah dipastikan kamu bakal semena-mena. Nggak tahu bakal kayak apa pasien-pasienmu nanti.”   Prana tergelak. “Ya kan aku memang udah bilang nggak cocok jadi dokter. Dan untungnya Mama nggak maksa walau gemes banget.”   “.....”   “Kalo aku buat rumah sakit keluarga kayaknya seru ya, Om? Keluarga rata-rata dokter. Mama sama Pram juga dokter. Om juga dokter. Gimana? Keren nggak, Om?”   “Iya, sana buat. Terus jadiin Om direkturnya.” kata dokter Adi menanggapi celetukan Prana yang kadang memang tak terduga. Setelah itu dia mengambil undangan yang dia selipkan ke tas kerjanya dan menyodorkannya ke Prana. Prana menerimanya dengan bingung.   “Apaan ini, Om?”   “Undangan.”   Ya gue juga tahu kalau ini undangan, gerutunya.   Prana mendengus. Matanya yang tadi hanya terbuka setengah kini terbuka lebar-lebar untuk melihat nama yang tertera. Bukan namanya, lalu kenapa diserahkan ke dirinya?   “Ini undangan Mama, Om.” Prana memberitahu dengan nada gemas.   “Ya iya, tapi Mamamu bilang suruh kamu aja yang ngewakilin. Dia lagi nggak enak badan mau ke luar kota cuma buat kondangan.”   “Ya terus ngapain kasih ke aku? Orangnya aja nggak kenal kok. Dan karena ini undangan buat Mama, pasti ya tamunya nggak jauh-jauh dari orang kesehatan. Om lupa kalo aku bukan orang kesehatan?” kata Prana dengan nada cuek.   “Kenal dia sama kamu tuh. Kamu aja yang kudet,” kata dokter Adi dengan nada gemas. “dulu tuh dia temen Mamamu pas jaman kuliah sama residen, trus masih akrab sampe sekarang.”   “Ya kan tetep aja bukan orang yang aku kenal banget. Ini mah orang-orangnya Mama, ya yang kondangan ya Mama lah, bukan aku.”   “Ya udah sih tinggal kondangan bentar buat ngewakilin Mama kamu. Di sana nanti juga ada Om sama Adrian, jadi nggak bakal deh kamu keliatan kayak orang bego.”   Prana memalingkan wajahnya antara kesal sekaligus malas. Kondangan selalu menjadi kegiatan yang paling Prana hindari. Pertama, dia tidak punya pacar, sehingga pertanyaan ‘mana pasangannya’ membuat dia bisa gondokkan detik itu juga. Dan setelah dia menjawab tidak membawa pasangan, kalian tahu apa yang terjadi? Prana dipersilakan untuk memilih pasangannya di resepsi pernikahan tersebut.   Silakan dicari, tadi banyak kok yang cantik-cantik, itulah jawaban mereka. Dan detik itu juga Prana langsung kehilangan makna dari kondangan itu sendiri. Karena dia sudah kehilangan makna kondangan, maka Prana pun sering sekali mendatangi kondangan dengan cara yang tidak benar. Kadang hanya kado atau amplopnya saja, tapi orangnya entah di mana. Dan terkadang dia hanya singgah sebentar, bersalaman, dan pergi. Atau kalau mood-nya benar-benar buruk, dia tidak akan datang sama sekali. Case closed.   Dan ini... Prana menatap undangan ibunya dengan miris. Undangannya sendiri pun sering dia abaikan, lalu kenapa harus ditambah undangan ibunya? Prana menghembuskan napasnya dengan jengkel.   “Aku titip amplop aja ya atas nama Mama? Males banget tahu, Om. Sekarang tuh aku lagi sibuk-sibuknya prepare buat acara launching nanti.”   “Ditinggal bentar kan bisa sih? Astaga. Nggak akan mundur tuh jadwal launching.”   Prana masih tidak terima, tapi dokter Adi kembali menyela dengan cepat.   “Udah, pokoknya harus banget dateng. Walaupun cuma bentar, penting nampakkin muka atas nama Mama. Kasihan dia tuh kalo harus terbang dari sana ke sini.”   “....”   “Tuh, lagian nanti tetangga depanmu itu juga bakal dateng. Dia kan staff medis juga di rumah sakit.”   “Ya memangnya kenapa kalo dia juga dateng?” tanya Prana dengan nada bersungut-sungut.   “Ya intinya kamu itu ada orang yang dikenal. Kan ada Om, Adrian, sama ada Arbe. Kamu nggak sepenuhnya sendirian di sana.”   “Om sama Adrian memang kenal, lah perempuan itu? Ngawur.” kata Prana dengan nada mengejek. “Aku aja nggak kenal sama orang itu.” tambahnya dengan nada tidak terima yang kental sekali.   “Mana mungkin udah ketemu tapi nggak kenal sih? Jangan bohong ya. Om tahu lho.” kata dokter Adi dengan nada menggoda.   Prana memutar bola matanya. “Ketemu sih memang ketemu, tapi Om tahu nggak kita tuh ngapain dalam pertemuan itu?” ujar Prana dengan menaikkan sebelah alisnya. Dokter Adi ikut menampilkan ekspresi penasaran. “Ya kita berdua berantemlah! Nggak usah bayangin yang lebay-lebay. Orang judes kayak gitu mana bisa dijadiin kenalan. Siapa juga yang mau sama perempuan kayak gitu.”   Prana bersungut-sungut mengingat sikap judes perempuan itu saat dirinya mengambil paket kemarin. Beberapa hari berlalu, tapi dia masih geleng-geleng kepala kala mengingat kejadian itu. Seumur-umur sepertinya baru kali ini dia bertemu perempuan sejudes itu.   “Ya udah kalo memang nggak bisa dijadiin kenalan, tapi bisa nggak dijadiin istri?”   Sontak saja mata Prana membulat lebar ke arah Om-nya. “Ya nggak mungkinlah!” sangkal Prana dengan nada tegas. Berkat pertanyaan itu, matanya menyipit curiga ke arah pria yang selama ini dikaguminya dengan sepenuh hati. “Jangan-jangan Om sengaja ya milihin kontrakan ini buat aku? Supaya aku bisa sering ketemu sama dia dan... boom! Rencana Om buat jodohin aku sama dia goal. Iya kan?”   Dokter Adi kembali tergelak. “Kamu kepedean banget sih, Prana...” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresi senangnya terlihat kentara sekali. “Ya nggak mungkinlah Om jodohin kamu sama Arbe. Daripada dijodohin sama kamu, mending Om jodohin sama Adrian. Kamu pikir saya nggak mau punya mantu kayak dia?”   Dokter Adi menambahkan dengan nada mengejek. Gelak tawanya sirna digantikan dengan seringaian tipis saat teringat akan sesuatu yang lucu dari obrolannya dengan sang keponakan hari ini.   “Tapi kamu tahu nggak sih apa yang lucu dari semua ini, Prana?”   Prana mengerutkan keningnya. Seingatnya dia tidak melawak daritadi sampai sekarang.   “... kok bisa sih kamu sama Arbe punya pemikiran yang sama? Iya, tentang perjodohan itu. Kok bisa sih kalian mikirnya kalau kalian itu sedang Om jodohkan? Atau jangan-jangan kamu sama Arbe memang pengen Om jodohin tapi gengsi?”   Prana terperangah. Posisi duduk malasnya kini berubah menjadi berdiri sambil berkacak pinggang. Seketika dia kegerahan dan itu berkat perkataan Om-nya yang tidak berdasar. Mana mungkin dia pengen dijodohkan sama perempuan kayak gitu.   “Om jangan ngada-ngada ya. Aku mikir kayak gini karena terlalu banyak kebetulan di antara kami berdua. Dan sebagai seseorang yang hobi dijodohkan belakangan ini, aku nggak bisa percaya dengan kebetulan begitu aja, Om.”   “Jangan terlalu keras dengan pemikiran itu, boy. Kamu nggak bisa mengatur bagaimana kamu bakal dipertemukan dengan jodoh kamu nantinya. Dan semuanya pasti didasari dengan kebetulan. Karena nggak semua kebetulan itu direncanakan oleh manusia, tapi bisa jadi kebetulan itu memang sudah direncanakan oleh Tuhan.”   “....”   “Ah, dan jangan terlalu keras dengan orang yang nggak kamu sukai. Kamu tahu kan kalo perbedaan suka sama nggak suka itu tipis? Kepleset dikit bisa cinta setengah mati kamu nanti sama dia. Kan kalo udah gitu malunya sampe ke pembuluh darah.”   “....”   “Dan kalo itu sampe terjadi, memangnya kamu bisa apa?”   Prana terdiam dalam artian yang sebenarnya. Sikapnya mungkin kurang baik, tapi Prana tetap percaya kalau takdir itu nyata. Dan kalau takdirnya memang seperti itu –seperti kata dokter Adi-  dia tidak akan bisa melakukan apa pun.   Tapi... siapa namanya? Arbe? Apakah jodohnya akan seperti Arbe-Arbe itu? Prana menggeleng. Dia masih mencoba menepis bayangan liar yang muncul berkat Om-nya yang kurang kerjaan itu.   “Ish, sana Om pergi ajalah. Aku pusing denger ceramahannya orang tua.” katanya dengan nada ketus.   “Nggak usah diusir juga Om udah mau pergi,” katanya dengan legowo. Sudah biasa dia diperlakukan seperti ini oleh keponakannya, jadi tidak ada rasa tersinggung sedikit pun. “Oh ya, jangan lupa kondangan ya? Mama kamu lho yang request.”   Prana mendengus. Undangan lagi, undangan lagi. Lepas dari topik jodoh yang tak terduga dan sekarang dia dihadapkan pada keharusannya untuk kondangan menggantikan sang Mama.   “Iya, iya. Om udah puas? Gih, buruan pergi.”   “Dan jangan lupa untuk liat sosok Arbe yang sebenarnya.” Sang Om menambahkan dengan kedua jempol teracung bangga.   Prana melengos. “Om...” ujarnya dengan suara jengkel yang tak ditutupi lagi.   Dokter Adi mengangkat tangannya pertanda menyerah. Dia sudah sampai pada batasannya. “Om pergi sekarang. Udah tuh muka dikondisikan lagi, jangan galak-galak.”   Prana mendengus memerhatikan kepergian sang Om yang pergi dengan santainya setelah membuat mood-nya seburuk ini. Gara-gara itu juga kantuknya hilang seketika. Perasaan gelisah menyerbunya. Berkali-kali Prana mencoba menepisnya, tapi pikiran tentang jodoh yang tak tertebak membuat Prana gelisah.   Dan perasaan ini terus dirasakan Prana sampai malam menjelang dan dia dituntut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia memejamkan matanya sambil mengusapnya secara kasar. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan berbaring di sana dengan rileks.   Dan dalam ketenangan itu, Prana bertanya-tanya akan sesuatu: Akan seperti apa jodohnya nanti? Dan bagaimana dia akan dipertemukan nantinya? Mungkinkah dia sosok yang lemah lembut yang dipertemukan dengan cara yang halus atau justru yang...   Prana memalingkan wajahnya saat mendengar ada deru motor yang memasuki jalan komplek depan rumahnya. Matanya menyipit saat melihat seorang perempuan turun dari Gojek. Seketika dia melirik jam di dinding. Pukul sembilan lebih. Prana tercengang karena perempuan itu menyerahkan helm, kemudian membayarnya, dan masuk ke rumah dengan santainya. Yang artinya dia memang terbiasa dengan keadaan ini. Astaga. Perempuan macam apa sih Arbe-Arbe itu? benaknya bertanya-tanya.   “Itu perempuan setengah preman atau setengah ninja sih? Kok ya berani banget pulang jam segini pake Gojek. Selain judes, tapi beraninya luar biasa.” gerutu Prana di dalam rumahnya. Dia terus memerhatikan gelagat perempuan itu sampai akhirnya masuk dan hilang dari pandangannya.   Dan tanpa Prana sadari, hatinya mulai memupuk rasa penasaran yang tinggi pada sosok Arbetiana Bianca sejak mulutnya melontarkan kalimat gerutuan yang ditujukan untuk perempuan itu.      TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD