AB - KARMA DIBAYAR LUNAS. SAH?!

2736 Words
  Happy Reading ^_^   ***   Karma dibayar dengan lunas.   Mungkin inilah kalimat yang pas untuk mendeskripsikan sosok Arbetiana Bianca dua hari ini. Dia mengomeli pasiennya dengan kalimat kasarnya dan hari ini Tuhan meng-azab dirinya. Bianca hanya bisa menatap motornya yang tidak bisa dihidupkan dengan hampa. Bahkan setelah dibantu oleh petugas parkir pun si matic tercinta tetap tidak mau hidup.   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Tarik napas, hembuskan...   Jangan emosi, Bianca, batinnya menyemangati dengan terus meyakinkan diri.   Bianca tidak akan berfikir sepicik itu kalau ini hanya perkara motornya yang tidak mau hidup. Beberapa hari ini Bianca seolah-olah berlangganan paket sial dalam hidupnya. Pertama, dia kehilangan helm yang dia pesan secara custom di tempat kerjanya sendiri. Iya, dia kehilangan helm di rumah sakit tercintanya. Bianca tidak bisa menyalahkan siapapun karena dia tahu ini bukan kesalahan tukang parkir. Ada banyak orang yang keluar masuk dan tukang parkir tidak bisa memerhatikan semuanya satu persatu.   Alhasil dengan membesarkan hatinya dia pulang bersama Mamang Gojek. Ini jauh lebih aman daripada dia harus pulang dengan kondisi tanpa helm. Tidak masalah kalau dia ditangkap polisi, tapi kalau ada kecelakaan dan dia korbannya? Tidak, tidak. Bianca masih sangat sayang pada nyawanya. Safety first, no debat!   Karena hal itu Bianca menitipkan motornya di pos khusus agar lebih aman. Dan motornya memang aman, Bianca sudah mengeceknya. Tapi masalahnya, kenapa sekarang motornya tidak mau hidup? Sudah tiga orang berganti mencoba mengotak-atik dan motornya tetap diam. Trus apa gunanya dia buru-buru membeli helm kalau motornya pun tidak bisa dipakai?   Bianca pikir keapesannya yang diawali dengan bertemu pria sok dewasa itu akan berakhir kala pria itu keluar dari rumah sakit. Mood-nya buruk sekali karena dia didera beban moral sudah bertindak kurang ajar pada pasiennya. Baru kemarin dia merasa lega karena pria itu sudah keluar dari rumah sakit, tapi hari itu juga keapesannya bertambah. Dan seolah-olah diperpanjang secara otomatis, keapesannya datang lagi hari ini. Sial sekali, pikirnya.   Frustasi dengan motornya yang sering ngambekan, Bianca memilih mengabaikannya. Daripada dia memikirkan harus diapakan, lebih baik dia memesan Mamang Gojek lagi. Semua beres. Motornya? Masuk gudang pos penjaga parkir RS kembali. Perkara nanti dia harus dandan itu bisa dipikir nanti. Dia hanya ingin pulang dan rebahan sekarang.   Saat sedang mengotak-atik ponselnya, Bianca dikejutkan dengan tepukan di bahunya. Dia berbalik dan tersenyum riang saat tahu siapa pelakunya.   “Kak Hendrik kok di sini? Siapa yang sakit memangnya?” tanya Bianca setelah menurunkan maskernya. Tangannya secara spontan langsung terulur untuk bersalaman secara sopan.   Pria yang usianya terpaut setahun dengan Bianca itu membalas uluran tangannya dengan sopan. Tawa lebarnya terlihat menakjubkan karena diikuti dengan lesung pipi super dalam. Manis sekali, pikir Bianca.   “Ada temen sakit. Makanya nengokin. Yah, walaupun sebentar nggak apa-apa, yang penting niatnya.” Pria itu menjawab sambil memerhatikan lawan bicaranya lekat-lekat. “Kamu apa kabar? Kok kayaknya kamu berubah banyak ya, Dek? Pasti seneng banget ya udah langgeng di rumah sakit ini. Gajinya juga pasti udah oke banget ini.”   “Halah, Kakak jangan ngejek ya. Gaji orang Prodia pasti lebih gede dari aku.”   Keduanya tergelak.   “Kabar aku di sini ya baik-baik aja. Yah, gini-gini ajalah pokoknya. Kakak sendiri gimana?”   “Ya baik-baik aja kayak yang kamu liat,” jawab pria itu singkat. “oh ya, kamu ngapain kok daritadi cuma berdiri di sini aja? Nungguin pacar jemput?”   Bianca langsung menipiskan bibirnya. Semua orang pasti menyinggung pacar kalau bertemu dengannya. Bahkan Kak Hendrik –Kakak asuhnya*- pun menanyakan hal yang sama.   “Bukan pacar, Kak, tapi Mamang Gojek. Nggak ada pacar tahuuu.”   “Nggak mungkin nggak ada pacar kamu tuh, Bi,” ujar Hendrik dengan tatapan menggoda. “by the way, memangnya kenapa kok pesen Gojek? Kan kamu ada motor.”   “Motornya nggak tahu rusak apanya, tapi nggak mau hidup. Nggak tahulah, motor tua ya gitu. Banyakan ngambeknya daripada sehatnya.” Bianca menjawab sambil menunjuk motornya yang terparkir dekat pos penjaga parkir. Hendrik melihatnya dengan prihatin.   “Trus mau di dandan kapan? Kayaknya deket-deket sini ada bengkel deh. Mau aku bawain ke bengkel motornya?”   “Nggak usah, Kak. Biarin aja. Nanti biar aku yang mikir mau di dandan kayak mana itu motor.” Bianca mencegah dengan mengibaskan tangannya secara cepat. Dia jarang bertemu dan tidak sopan kalau sekalinya bertemu malah menyusahkan. “Aku pulangnya pesen Gojek aja dulu. Males mikirin motor yang ngambekan.”   “Daripada pesen Gojek, kenapa nggak aku anterin aja? Mumpung aku juga baru mau pulang.”   “Kan nggak searah, Kak,” ujar Bianca dengan tak enak hati. “Nggak apa-apa sih, Dek. Kayak apa aja. Udah, ayo sama aku aja. Aku belum sedekah hari ini, jadi ya itung-itung aku sedekah ke kamu yang lagi kesusahan.”   Bianca terharu. Kakak asuhnya ini memang kakak paling the best sejak jaman mereka kuliah. Orangnya baik dan selalu positive thinking. Saking baiknya sampai dia berhasil mengampu jabatan sebagai Presiden Mahasiswa pada masanya.   “Makasih ya, Kak.”   “Eh, aku nggak ada helm. Kamu ada kan?”   Bianca mengangguk. “Ada kok. Baru banget, masih mulus.”   Hendrik tergelak lalu mempersilakan Bianca naik motornya yang sudah siap. Tanpa pikir panjang Bianca langsung naik dan keduanya melaju membelah jalanan yang cukup padat sore ini sambil sesekali mengobrol.   “Gimana rasanya kerja di Prodia, Kak? Dulu aku pernah tuh fieldtrip ke Prodia. Seru banget kayaknya.”   Hendrik tertawa mendengar pertanyaan adik asuhnya itu. Dengan terus berfokus dia menjawab rasa penasaran sang adik asuh. “Kenapa memangnya? Kamu mau pindah ke Prodia?”   Bianca berfikir sejenak. “Pindah sih nggak tahu ya, tapi kayak asyik aja gitu. Apalagi yang steam cell* itu, penasaran banget aku.”   “Coba aja ngelamar di sana, Dek. Setahu aku yang steam cell memang masih kekurangan ATLM-nya. Pengalaman kamu juga oke tuh, pasti peluangnya gede.”   “Kalo dulu pas aku masih muda kinyis-kinyis mah pengen, Kak. Pindah sana, pindah sini kerjaannya. Tapi sekarang udah setua ini pengen menetap aja deh. Lagian peluang di RS juga oke kok. Tapi ya meskipun begitu yang namanya penasaran kan pasti ada.”   “Iya, aku juga mikirnya gitu. Walau prospek di Prodia itu oke, tapi ya prospek-mu di RS ini juga oke kok. Sistemnya semakin bagus dari hari ke hari, terus pemeriksaannya juga lengkap. Dulu kan aku PKL di RS tempatmu kerja, jadi tahu walau sedikit-sedikit.”   “....”   “Apalagi udah beberapa tahun jadi aku yakin udah akrab banget sama ATLM di sana. Udah, nggak usah nyoba-nyoba lagi, fokus aja di RS ini. Pasti ada berkahnya kok terus di sini.”   “Iya, Kak. Aku juga males udahan pindah-pindah tempat kerja. Capek pindahan kontrakan terus. Udah gitu harus beradaptasi lagi. Dan di RS ini aja yang pali pas.”   “Nah, bagus. Jadi nggak perlu tuh adaptasi sama petugas lainnya. Sekarang fokus aja adaptasi sama cowok, kali aja nemu jodoh trus tahun ini nikah.”   Bianca tergelak mendengar celotehan kakak asuhnya yang luar biasa kreatif. “Ya nggak munginlah, Kak. Jodohnya aja belum ada jadi ya nggak mungkin tahun ini nikah.”   “Lho, kamu meragukan kekuasan Tuhan ya, Bi?”   Bianca tertawa kering. “Bukan nggak percaya, Kak, tapi jodohnya itu lho yang belum ada. Kalo ada mah bulan depan aku pasti udah sebar undangan.”   “Makanya usaha nyari jodoh, Dek. Trus ya diniati tahun ini nikah. Kalo dah niat pasti dimudahin jalannya.”   Benarkah semudah itu? Batinnya bertanya-tanya. Ya inilah adalah salah satu bukti betapa Bianca memang tidak menganggap serius tentang pernikahan. Baginya yang masih nyaman sendiri, pernikahan adalah sesuatu yang harus dipikirkan matang-matang. Kebebasannya bisa terenggut. Dan yang terparah kalau dia bertemu dengan pria yang salah. Semua pasti akan terasa sia-sia.   “Kakak sendiri kapan nikah? Nyuruh-nyuruh aku nikah padahal mah sesama jomblo.” Bianca menggerutu yang dibalas gelak tawa dari depan.   “Kakak emang jomblo, Bi, tapi tahun ini udah diniatin nikah. Yah, semoga aja jodohnya dipermudah.”   “Kalo udah diniatin tahun ini ya pasti udah ada jodohnya. Nggak mungkin berani niat-niat kalo nggak ada kejelasan. Hayoo, siapa, Kak?” tuding Bianca dengan ringan.   “Berarti kamu nggak percaya sama kekuatan takdir yang dibarengin niat. Tunggu aja undangannya nanti. Aku kasih deh buat kamu yang spesial.”   “Ya udah deh aku tungguin undangannya. Jangan lupa souvenirnya ya, Kak.”   “Siaaaaappp!”   Dan tanpa terasa Bianca sudah sampai di depan kontrakannya. Ya, kakak asuhnya ini memang tahu kontrakannya dengan baik. Bianca menampilkan senyumnya setelah maskernya dia turunkan.   “Makasih ya, Kak. By the way, mau dibayar nggak? Lumayan lho buat beli bensin.” Celetuk Bianca.   “Nggak usah. Kayak apa aja sih kamu, Bi? Udah masuk sana. Trus besok jangan lupa motornya segera dibawa ke bengkel.”   “Okee, Kak.”   “Ya udah, aku pergi ya.”   “Okee. Makasih ya, Kak.”   “Yoi.”   ***   Hubungan Bianca dengan kakak asuhnya memang terkenal sangat baik. Saat Bianca dulu kebingungan, sosok itulah yang dengan sabar mengajarinya. Bahkan Kak Hendrik juga memberi Bianca bantuan berupa laporan lengkap dengan note miliknya yang ditulis dengan tulisan yang sangat rapi. Sejak saat itu Bianca tahu kalau Kak Hendrik adalah kakak asuh idaman semua teman seangkatannya.   Dan rasa syukurnya semakin menjadi-jadi pasca dirinya lulus. Saat itu dia belum tahu akan ke mana, tapi dengan rendah hatinya Kak Hendrik mencarikan lowongan pekerjaan yang menerima fresh graduate seperti dirinya. Oleh karena itu bagi Bianca sosok Hendrik begitu berjasa untuk hidupnya, baik dalam jenjang sekolah maupun jenjang karir. Karena Bianca sadar, lowongan dari kakak asuhnya itulah yang menjadi batu loncatan untuknya sampai pada posisi ini.   Karena itu sebisa mungkin Bianca menjaga hubungannya tetap baik. Meski tidak ada komunikasi intens, tapi dia akan berusaha menjaga menjaga hubungan kekeluargaan tanpa darah itu dengan baik. Ini bukan karena dia menyukai kakak asuhnya, tapi ini murni untuk menghargai orang yang begitu berjasa pada hidupnya. Ya, itulah yang Bianca rasakan dan semoga sang kakak asuh juga tidak berfikiran liar seperti ini. Karena sejujurnya, Bianca benar-benar tidak sanggup membayangkan hubungan mereka berkembang ke fase yang lebih serius.   Bianca mendorong pintu gerbang kontrakannya dan menutupnya setelah dia masuk. Akhirnya dia sampai di rumah yang berhasil dikontraknya dengan uangnya sendiri. Dia akan bertemu ranjang sebentar lagi, tapi sayangnya...   “PAKET! PAKET!”   Bianca memutar bola matanya. Terbiasa membeli apa pun dalam bentuk online membuat Bianca kadang suka gelagapan saat ada suara petugas JNE atau JNT yang berteriak lantang. Dalam hatinya dia mengingat-ingat kalau dia tidak melakukan checkout apa pun minggu. Jadi dapat disimpulkan kalau paket itu bukan miliknya. Tapi suara lantang petugas itu membuat fokus Bianca buyar. Dia berbalik dan menatap si petugas JNT itu.   “Itu alamatnya rumah yang nomor berapa, Pak?” tanya Bianca sesopan mungkin.   “Rumah yang ini, Mbak.”   Bianca mengerutkan keningnya saat si petugas menunjuk rumah di depan yang notabene-nya adalah rumah kosong. Sudah sebulan lebih rumah dikosongkan karena sang pemilik sudah lulus kuliah dan kembali ke rumah aslinya. Bianca tahu dengan jelas si anak pemilik rumah itu adalah anak gadis Bu Siwi yang merupakan senior Bianca di rumah sakit.   “Rumah itu tuh kosong, Pak. Jangan ngawur ah.”   “Tapi alamatnya bener kok di sini, Mbak,” ujar di petugas ekspedisi itu sambil membacakan ulang alamat yang tertera. Dan memang benar.   Apa anak Bu Siwi mengirim paket ke alamat yang salah? Bisa jadi sih, pikir Bianca. Mungkin saja anak gadis Bu Siwi lupa memeriksa alamatnya saat checkout makanya masih menggunakan alamat ini padahal sudah pindah.   “Ya terus gimana dong, Pak? Tuh, Bapak liat kan kalo gerbangnya aja digembok. Jelas-jelas nggak ada orangnya.”   “Kalo gitu saya titipin tempat Mbak aja ya? Tujuan paketnya di sini, jadi ya tugas saya selesai sampe sini. Perkara dia salah masukin alamat atau gimana ya itu urusan customer. Kalo penting ya pasti bakal diambil, kalo nggak ya sudah.”   Bianca membenarkan apa kata petugas ekspedisi. Kalo anak gadis Bu Siwi sampai komplain, jelas itu bisa dibantah dengan fakta yang dipaparkan si petugas. Lagipula siapa suruh tidak hati-hati dengan alamat padahal kan sudah pindah.   “Mbak kenal kan sama orangnya? Saya titip tempat Mbak aja ya? Jadi kalau pun beliau mau ngambil ya beliau tahu orangnya.”   “Tahu sih, Pak, tapi...”   “Nggak apa-apa ya, Mbak? Sudah sore juga ini. Paket tanggung jawab saya ya tinggal satu ini. Bisa-bisa saya nggak pulang Mbak kalo paket ini nggak ada yang nerima. Mbak tenang aja deh, nanti saya tulis di note biar customer ini tahu paketnya ada di mana tanpa perlu kebingungan.”   Bianca kasihan dengan petugas itu dan akhirnya menganggukinya. Ya, itung-itung berkah, persis seperti kata kakak asuhnya.   “Ya udah nggak apa-apa, Pak. Tapi minta tolong bawa masuk ya? Keliatannya gede dan berat banget.”   “Bukan keliatannya aja Mbak, tapi emang berat banget.”   Petugas paket berujar sambil mengangkat pintu. Dengan sopan Bianca membukakan gerbang dan pintu rumahnya karena tahu petugas itu tidak akan bisa melakukannya sendiri. Selesai dengan itu, sang petugas berfokus pada handphone-nya.   “Ini paketnya diterima atas nama siapa?”   “Bianca. Tulis aja Bianca, rumah nomor duapuluh dua.”   Si petugas mengangguk. “Sudah ya, Mbak. Kalo gitu saya permisi ya, Mbak, dan makasih banget sebelumnya.”   “Iya, Pak, sama-sama.”   Dan akhirnya dia bisa sedikit bersedekah hari ini, pikirnya sambil menutup pintu kemudian merebahkan diri di sofa terdekat.   ***   Bianca melirik tajam saat mendengar pintu kontrakannya diketuk dengan tidak sopan. Orang itu sudah mengetuk berkali-kali dan tidak ada jawaban, jadi bukankah dia seharusnya peka untuk pergi? Fix, orang ini memang tidak pekaan, batin Bianca mengklaim.   Dengan cepat dia mengguyur rambutnya yang belum bersih dari shampoo. Setelah dirasa cukup bersih, dia mengelap tubuhnya dengan serampangan dan mengikatkan kimono handuk mandinya erat-erat. Perlukah dia membawa segayung air untuk disiramkan ke orang tidak tahu diri itu? Tahan, tahan. Bisa jadi itu pak RT yang memang ada kepentingan. Jangan sampai dia membuat masalah yang membuat image baiknya di kontrakan ini sirna.   Dengan rambut yang masih menitikkan bulir-bulir air dia membuka pintu. Matanya yang tadinya terlihat biasa saja membulat lebar saat tahu siapa orang yang tidak tahu etika bertamu.   “Lo –Lo kok bisa ada di sini sih?” tanya Bianca dengan telunjuk yang terulur. Matanya membulat semakin lebar.   Tapi di sisi lain orang yang ditunjuk Bianca justru kebingungan. Dia sampai melirik ke belakang untuk memastikan. Dan tidak ada orang. Dengan tatapan cengo pria itu menunjuk dirinya sendiri.   “Saya? Kamu... kenal saya? Saya yang punya paketan. Katanya dititipin sini.” tanya orang tersebut yang tidak lain adalah Pranadipa Mahendra. Dia berkedip beberapa kali.   Prana semakin di buat bingung karena perempuan aneh yang sok kenal itu terlihat tidak sopan lagi. Dan apa itu? Baju handuk? Betapa beraninya dia membukakan pintu untuk pria dengan pakaian yang tidak pantas itu, gerutu Prana dengan jengkel.   Bianca langsung menurunkan telunjuknya dengan jengkel. Dengan terang-terangan dia menghembuskan napas secara kasar. Pria itu mungkin tidak mengenalinya karena selama ini separuh wajah Bianca selalu tertutup masker. Tapi meskipun begitu, Bianca mengingat wajah pria sok dewasa itu dengan baik. Dan itu sudah cukup untuk menyulut emosinya karena tanpa diminta sikap sok pria itu kembali terputar-putar dengan tidak sopannya.   Tapi kemudian Bianca sadar ke mana arah mata pria itu. Dadanya... pria itu melihat ke arah dadanya. Dia menunduk dan matanya membulat saat tahu bagian atas baju handuknya tidak begitu benar. Payudaranya memang masih terlindungi dengan baik, tapi kulit putuh sekitarnya terlihat dengan jelas. Kepala Bianca pening seketika.   “Mata kamu... mata kamu liat apa? Mau saya colok pake jarum suntik, hah?!” katanya dengan lantang.   “Ya kan... kamu yang bukain. Bukan salah saya dong.” Prana menjawab dengan polosnya.   Iya juga, pikir Bianca. Karena itu juga dia meremas kedua tangannya dengan kuat-kuat sambil menampilkan ekspresi marah. Dengan kasar dia langsung menutup pintu hingga menimbulkan bunyi berdebum yang kuat.   Demi semua sampel bakteri yang hari ini diperiksanya, Bianca benar-benar ingin melemparnya ke wajah pria yang membuat Bianca harus dikarma beberapa hari belakangan ini!   Tidak, ini salah, pikirnya. Kenapa pria itu harus muncul lagi sih? Seolah-olah karmanya belum cukup, hari ini dia dipertemukan lagi dengan pria sok dewasa itu. Tujuan Bianca bersedekah bukan karena gila pahala, melainkan hanya sekedar membantu. Tapi kenapa sedekahnya harus dibalas dengan musibah seperti ini sih? Bahkan dia juga bersedekah melalui kulit mulus sekitaran dadanya yang tak sengaja dia pampangkan tanpa sadar. Mungkin ini bisa disebut sebagai sedekah plus-plus. Bukan pahalanya yang plus-plus, tapi musibahnya.   Apes sekali dia hari ini, Ya Tuhan.   Note:   Kakak asuh yang dimaksud Bianca bukan kakak asuh seperti yang kalian bayangkan ya. Jadi di kampus Bianca itu sistemnya kakak asuh-adik asuh. Tujuannya lebih ke membantu adik asuh yang baru banget di bidang itu, misalkan kayak minjemin laporan dan lain-lain. Trus karena budi itulah terkadang ada adik asuh yang ngasih something ke kakaknya sebagai tanda terima kasih.   Nah Bianca dan kakak asuhnya ini berhubungan baik ya karena itu. Pemilihannya pun random banget, tergantung HMJ jurusan pas ospek jurusan. Tapi umumnya ya kocokkan, jadi hasilnya random. Jadi nggak nentu tuh ada yang cewek ketemu cowok, begitu juga sebaliknya. Tapi yang jelas apa pun hasilnya nggak boleh komplain. Dan sistem ini berlaku setiap ada penerimaan mahasiswa baru ya, jadi Bianca pun punya adik asuh. Tapi karena nggak deket jadi nggak perlu disinggung.   Aku nggak tahu ya sistem Poltekkes lain kayak mana, tapi di Poltekkes aku gitu. Dan sesuai pengalaman, jadi aku pake yang punyaku. Semoga apa pun perbedaannya tetap dimaklumi.   Thanks ^_^   TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD