AB - LORONG VIP PENUH DOA

2649 Words
  Happy Reading ^_^   ***   Haiiissshh, ini orang kenapa belum sembuh-sembuh sih? Doa gue kurang manjur apa gimana? Batinnya dengan muram saat masuk ke ruang VIP dan masih bertemu dengan pria sok dewasa itu. Dia mendengus keras-keras sampai partner samplingnya –Ibu Nela- bisa mendengarnya dengan jelas. Dengan gemas Ibu Nela menyikut lengan juniornya yang kadangan memang suka kurang ajar ini.   “Kakak ajalah yang ngambil. Aku ogah.”   Sikutan Ibu Nela semakin menjadi-jadi. Yang dia dengar bukan dengusan lagi, melainkan suara nyata. Arbetiana Bianca berbicara sejudes itu pada pasien VIP mereka. Ingin rasanya dia menepuk jidatnya detik ini juga.   “Kamu jangan ngomong sembarangan ngapa? Dia pasien.”   “Ya justru karena dia pasien makanya aku ngomong gini. Dia kan nggak mau diambil sama orang yang nggak pro kayak aku.”   Prana menunduk dalam-dalam untuk menahan malunya. Sudah tiga hari dan si Arbe-Arbe itu tetap menyimpan dendam padanya. Dasar pendendam, gerutunya dalam hati. Apa ini yang dibanggakan oleh Om Adi? Prana benar-benar yakin kalau baik Om Adi dan Adrian sudah dibutakan oleh sosoknya jadi penilaiannya tidak lagi objektif.   “Bu, tolong buruan di ambil darahnya ya? Saya juga nggak betah sama rekan ibu yang satu ini. Saya pusing.”   Ibu Nela hanya bisa tertawa canggung mendengar permintaan yang dibalut pengakuan yang sangat jujur. Tanpa banyak bicara dia langsung mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan seperti alat suntik baru, kapas alkohol, plester dan tabung penampung darah yang sesuai untuk pemeriksaannya. Tanpa banyak bicara Ibu Nela langsung melakukan pengambilan darah sesuai permintaan pasien.   “Bu, doain hari ini HB saya udah oke ya? Saya bener-bener harus segera keluar sebelum ketambahan penyakit lain gara-gara sering ketemu sama rekan ibu yang satu ini. Saya angkat tangan udahan.”   Ibu Nela tertawa canggung. “Iya, Pak. Semoga cepat sembuh ya.”   Dan sebagai responnya disindir seperti itu, Bianca meletakkan plester dengan kasar –persis seperti pertama kali- ke luka bekas tusukan jarum suntik. Dia menyeringai saat si pria mengaduh dengan lebay-nya. Dengan cepat Ibu Nela memberesi peralatan yang dipakainya dan bergegas membawa Bianca pergi sebelum pertarungan antara pasien dan tenaga medis terjadi di depan matanya.   “Kamu tuh jangan kayak gitu sama pasien, Be. Kasihan.”   “Orang kayak gitu kok dikasihani sih, Bu? Mulutnya pedes banget ngalah-ngalahin orang yang sehat. Rasanya pengen aku plester tuh mulut kurang ajarnya.”   “Tapi gitu-gitu dia kan tetep pasien kita lho. Attitude-nya mana ke pasien? Kalo dia bikin pengaduan, kamu bisa tegur nanti.”   Bianca langsung terdiam. Seketika perasaan menyesal merayapinya. Yang dikatakan seniornya tadi memang masuk akal. Seburuk apa pun orang itu –dia tetap pasiennya. Bahkan Bianca tidak diizinkan untuk membalas kelakuan buruk pasiennya terlepas itu sangat menyakitinya atau tidak. Seketika perasaan menyesal menyusup ke dalam relung hatinya. Bukan, ini bukan karena dia takut dipecat, melainkan sebagai sosok tenaga medis yang disumpah untuk pekerjaannya. Haruskah dia meminta maaf? Pikirnya.   Bianca sadar kalau kepribadiannya memang kadang suka meluap-luap. Dan karena pekerjaannya di bidang pelayanan medis, dia pun berusaha untuk mengendalikannya. Ketika perasaannya sudah tak terkendali, dia akan menarik napas dalam-dalam. Dia akan menenangkan diri sebelum mengeluarkan sepatah katapun. Walau bukan seorang yang ahli, tapi dia berhasil mengontrol emosinya. Tapi kemarin dia gagal dan semua itu karena keponakan dokter Adi yang sok dewasa itu.   “Awalnya gimana sih kok kamu bisa sampe perang secara terang-terangan sama pasien? Kamu diapain emangnya sama dia?” tanya Ibu Nela yang penasaran dengan cerita full-nya.   Bianca memutar bola matanya detik itu juga. Teringat pria itu membuat cengkeraman tangan Bianca pada box samplingnya menguat. Ingin rasanya dia meremas wajah pria itu sebagai Bianca, bukan Arbetiana Bianca yang sudah disumpah untuk sebagai salah satu tenaga medis.   “Orang itu tuh ngeremehin anak magang kita lho, Kak. Kakak tahu kan kalo aku jengkel banget sama orang macem itu? Mau muda, tua, bahkan aki-aki sekalipun pasti aku omelin kalo jatuhnya udah meremehkan orang lain.”   “....”   “Dalam pekerjaan, kita dituntut untuk memanusiakan manusia, tapi kok ya manusia tersebut nggak memanusiakan kita balik sih, Bu? Kayak kecewa gitu dengan orang yang kayak gitu. Kok kesannya kayak... kita tuh sama-sama manusia lho, kenapa perlu meremehkan orang lain demi meninggikan derajat dia? Apa karena dia ngerasa sebagai orang VIP gitu jadi bisa semena-mena?”   Yup, ini adalah kelemahan Bianca. Dia bisa dibentak, dimarahi, atau bahkan dimaki –tidak masalah. Tapi jika sudah diremehkan, Bianca benar-benar tidak akan membiarkannya. Attittude-nya akan dia tanggalkan dan mulutnya akan melontarkan kalimat penuh hinaan secara halus. Tidak, Bianca tidak akan bermain seara kasar karena harga dirinya menjadi taruhannya. Justru sebaliknya, dia akan bermain secara halus –sangat halus malahan- sehingga orang yang bersangkutan akan terprovokasi dan melakukan tindakan barbar yang akan mempermalukan diri mereka sendiri.   Dan sikap Bianca ini sudah diketahui oleh banyak orang. Jangan kan sesama ATLM, rata-rata dokter yang bersinggungan dengannya pun tahu. Dan bagi mereka yang tahu, mereka tidak akan mencari masalah dengan sikap barbar Arbetiana Bianca yang satu ini. Seperti halnya dokter Adi yang memperingatkan keponakannya kemarin –kira-kira seperti itulah cara mereka menjaga agar Arbetiana Bianca tidak meledak dan mengomeli semua orang yang dilihatnya.   Ini bukan perkara dia ingin dihargai dengan berlebihan. Dia hanya ingin orang-orang saling menghargai tanpa melihat umur, pekerjaan, atau latar belakang sosialnya. Orang yang tidak akrab dengan Bianca pasti akan mengira dia sosok yang ingin dihargai secara berlebihan. Tapi bagi orang-orang yang mengenalnya dengan baik –seperti dokter Adi- Arbetiana Bianca adalah sosok yang patut dilestarikan. Dia jujur, sosok yang keras kepala namun lembut hatinya, dan penuh kepercayaan diri.   “Sebenernya itu bukan semena-mena sih, Be. Tapi semacam... kepuasan diri?” Ibu Neli memancing dengan tidak yakin. “Yah, intinya dia merasa karena dia udah bayar lebih, jadi dia pasti mengharapkan pelayanan yang lebih dari ekspektasinya dong. Kalo ketemu yang kayak gitu ya kamu kalem aja karena pada dasarnya memang itu tujuan mereka ketika menukar uangnya dengan pelayanan kita.”   Bianca termenung dan membenarkan semua perkataan Ibu Neli. Yah, mungkin inilah bedanya ATLM senior yang sudah makan asin-manisnya kehidupan dengan ATLM junior seperti dirinya.   Ibu Neli menepuk bahu Bianca untuk menenangkannya. “Udah, dibawa santai aja ketemu pasien kayak gitu. Kalo kenapa-napa, bukan dia yang rugi, tapi kamu. Image-mu jadi buruk karena orang yang nggak penting. Dan kalo image-mu udah buruk, pasti yang kesusahan ya kamu. Kamu bakal susah dipercaya pasien, kalo cari kerja lagi sulit dipercaya HRD, terus kalo lagi cari jodoh juga pasti dipersulit karena sikap barbarmu.”   “Kok jadi jodoh sih, Bu? Selalu deh.”   Bianca menggerutu karena setelah menasehatinya sampai menyesal, mereka pasti langsung menyinggung jodoh padanya. Inilah resiko menjadi orang yang masih single di antara orang-orang yang sudah punya dua sampai tiga momongan. Tekanannya berat.   Ibu Neli terkikik senang karena setelah suasana tegang kini mereka bisa mengobrol santai.   “Ya abisnya kamu nggak cepet-cepet nikah. Kan orang di lab jadi penasaran sama souvenir pernikahanmu nanti apa.”   Bianca memutar bola matanya. Jangankan souvenir, Bianca pun penasaran akan seperti apa rupa jodohnya yang butuh waktu lama untuk muncul.   “Jangankan mikirin souvenir, Bu, jodohnya aja nggak ada.”   “Beneran nggak ada, Be? Nggak ada tanggal jelasnya atau nggak ada orangnya?”   “Nggak ada orangnya, Ibu Neli alias Kak Neli tersayang.” Bianca menjawab dengan gemas. Kenapa orang-orang tidak percaya kalau dirinya ini jomblo beberapa tahun belakangan?   Dan Ibu Neli menepuk dahinya detik itu juga. Dia pikir Arbe hanya bercanda kala mengakui dirinya sebagai jomblo. Wajar saja orang-orang tidak memercayainya karena sosok Arbe tergolong sebagai orang sangat prospek-able sebagai calon istri. Walau emosinya kadang suka meluap-luap, tapi dia cukup terampil dalam banyak hal, baik di bidang pekerjaan maupun personal seperti bersolek dan memasak. Tapi dia single? Benar-benar single? Kalau begini salahnya di mana sampai dia masih jomblo?   “Kriteria kamu tuh sebenernya kayak mana sih, Be? Kok bisa gitu masih jomblo padahal umur udah cukup. Jangan nyari yang kayak CEO-CEO gitu, nggak akan nemu di sini. Yang ada kamu malah ditipu abis-abisan nanti.”   Bianca tergelak membayangkan dirinya ditipu dengan mudahnya hanya karena cinta. Bodoh sekali, pikirnya.   “Ya apa salahnya sih sama umur aku, Bu? Jodoh kan nggak memandang umur. Dan sekarang emang belum ketemu aja jodohnya, jadi ya gitu deh,” ujar Bianca dengan cuek.   “Ya gimana mau ketemu jodoh kalo kamu aja nggak nyari, Be? Ini nih jadinya kalo keseringan nengokin anak dinas malem, jadi waktu kencan malemnya nggak ada. Kurangin lah. Kesenengan mereka karena kamu tengokin sambil bawa makanan terus.”   “....”   “Dicari jodohnya, Neng. Jangan cuma nungguin aja. Iya sih kalo jodoh udah diatur sama Tuhan, tapi kalo kamu nggak usaha nyari ya gimana mau dipertemukan. Bahkan kalo kamu udah punya pacar sekalipun, tapi kalo kamu dan doi nggak sabar menjalinnya ya nggak bakal jadi. Jodoh tuh bukan hanya perkara udah ada terus ya udah pasrah nunggu hilal nikah. Ada proses untuk membentuk sampe itu bener-bener jadi takdirmu, Be.”   “Iya sih, Bu. Tapi kan masalahnya jodohnya nggak ada, jadi mau jalin sampe jadi takdir pun ya bingung gimana caranya.”   “Makanya dicariiiii.” Ibu Neli terlihat gemas sekali. “Kurang-kurangin tuh standar tingginya. Kurang-kurangin juga galaknya.”   “Standar tinggi apa sih, Bu? Nggak ada. Standar aku ya standar aja. Dan aku galak?” Bianca menghela napas. “Ya emang aku galak sih.” Tambahnya dengan kekehan ringan. Tapi alih-alih disebut galak, Bianca justru akan sangat terkesan kalau orang menyebut sifatnya itu sebagai tegas.   “Nah, itu dikurangin. Senyumnya diperbanyak. Kalo keliatan ramah kan orang mau deket jadinya enak. Kalo kamu kayak gitu, yang ada mereka jadi takut. Karena sejujurnya, Be, orang-orang tuh jadi segan buat deketin kamu karena dari casing aja udah keliatan susah banget digapainya. Kakak yakin kamu pasti ngerasa kan?”   Bianca mengangguk perlahan. “Pernah sih aku ngerasa kayak gitu, Kak. Laki-laki kayak minder gitu dengan aku padahal ya aku cuma biasa aja.”   “Yang ngerasain biasa aja kan diri kamu sendiri, Be, bukan orang-orang di sekeliling kamu.”   Bianca mendengarkan dengan seksama. Inilah saatnya untuk mengoreksi dirinya dari sudut pandang orang lain. Tapi benarkah ada yang perlu dikoreksi? Padahal Bianca merasa dirinya biasa saja.   “Tanpa kamu sadari kamu tuh udah membangun image sulit didekati dari raut muka kamu yang terkesan dingin. Dari caramu berpakaian, jalan, sampe pritilan-pritilan kecil yang jadi pelengkap fashion kamu. Belum lagi dengan statusmu yang pegawai tetap RS. Orang mikirnya gaji kamu pasti gede makanya mendukung banget dengan gaya hidupmu. Dan satu lagi yang penting,”   Ibu Neli menggantung kalimatnya dengan nada yang membuat siapapun penasaran. Bianca menaikkan sebelah alisnya.   “Umur. Di umur sematang ini dan kamu belum nikah pasti bikin orang mikir ‘wah seleranya pasti tinggi, milih jodohnya nggak nanggung-nanggung’. Makanya sampe muncullah stigma kalo kamu tuh bakal sulit didekati hanya dengan sekali lihat padahal kan ya nggak kayak gitu.”   Bianca tergelak. Entah kenapa semua yang dikatakan seniornya itu menggelitik humornya. “Kakak bener, tapi yang menjadi pertanyaan aku adalah kenapa aku harus mengubah hidup aku demi demi sebuah jodoh, Kak? Yakin itu jodoh, bukannya figuran usil dalam hidup aku?” Bianca menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku kayak gini tuh bukan karena aku hobi foya-foya, tapi ya ini semacam aku mengapresiasi diri aku setelah selama ini bekerja keras, Kak. Nggak lebih. Bahkan kalo pun nanti aku punya suami, aku juga bakal tahu kok batasannya. Kakak tahu kan se-detail apa aku dengan yang namanya uang?”   “Kakak tahu, Be. Tapi orang-orang nggak tahu. Mereka pasti mengiranya lebih, Be.”   Bianca menjentikkan jarinya. “Kalau begitu, kesalahannya bukan ada di aku, tapi orang-orang yang hanya bisa mengira-ngira tanpa tahu kebenarannya. Bisa jadi mereka juga nggak minat sama aku sejak awal makanya mereka cuma ngira-ngira doang tanpa berani take action. Padahal faktanya ya, Kak, aku beli barang-barang yang menunjang fashion aku ya pas promo doang. Aku akuin soal hobi aku yang ngoleksi tas sama sepatu, tapi kan nggak semuanya aku beli sekaligus. Aku nabung dulu. Bahkan aku nahan dulu demi diskon yang sewaktu-waktu. Intinya ya aku tuh sama kayak perempuan lain, Kak.”   Ibu Neli kemudian berfikir tentang apa yang dikatakan juniornya. Seingatnya memang Arbe memang bukan tipe perempuan yang aneh-aneh. Bahkan Arbe terkesan kuno di antara banyaknya perempuan seusianya yang gila dengan pengakuan. Belum pernah dia melihat Arbe memotret banyak hal untuk kemudian dia pamerkan di sosmed-nya. Bahkan akun sosmed-nya terkesan tidak berguna karena update-an terakhirnya sudah berbulan-bulan yang lalu.   “Lagian, bukannya itu bagus ya, Kak? Dengan begitu kan keliatan mana cowok yang mentalnya oke buat deketin aku sama yang nggak. Mereka yang mentalnya lemah, nggak percaya diri, dan hobinya minderan pasti nggak akan berani deketin aku. So, secara nggak langsung aku menyelamatkan diri aku sendiri dari laki-laki bermental lemah kayak gitu.”   “....”   “Karena sejujurnya, Kak, aku paling gemes sama orang yang lelet dan orang yang bermental lemah. Belum apa-apa udah minder duluan. Ngeliat aku berhasil dikit, bukannya bangga tapi malah minder. Dia bahkan nggak bisa mempercayai dirinya sendiri, jadi gimana mungkin dia bisa mempercayai aku gitu? Pikiran dia pasti negatif terus. Ujung-ujungnya? Bukan nggak mungkin kalo one day dia bakal mengubah aku sampe dia puas. Aku?” Bianca menggeleng dramatis. “Aku nggak dapet apa pun selain terjerat dalam hubungan yang toxic.”   “....”   “Bukan aku nggak mau berubah ya, Bu. Aku mau kok, asal berdampak baik untuk aku juga, bukan untuk menaikkan kepercayaan diri dia semata. Karena faktanya, mau aku berubah kayak apa pun, pasti nggak akan pernah cukup bagi dia. Bahkan kalo aku merendah serendah mungkin supaya dia bisa lebih menonjol dan percaya diri pun tetep nggak akan berhasil. Dia akan selalu kurang. Karena apa? Ya karena sejak awal masalahnya ada pada diri dia, bukan aku.”   “Bagus sih, jadi kayak tanpa sadar ada jaring pemilah sendiri. Yang siap ya bertahan, yang nggak ya udah bablas. Tapi ya kalo kelamaan juga lolos semua jodoh kamu, Be.”   “Santai, Kak. Jangan pusing. Aku aja enjoy, tapi kok Kakak yang kebingungan.” Bianca berujar sambil mengamit lengan kakak seniornya itu. Dia tertawa di balik masker yang menutupi separuh wajahnya.   “Ya ini nih yang bikin kamu single sampe detik ini. Ke-enjoy-an kamu tuh!”   Bianca tergelak. “Aku pusing, Kak. Percaya deh. Apalagi Ibu sama Bapak di kampung juga udah heboh karena anak gadis tetangga udah nikah semua. Tapi ya apa aku harus nangis gitu? Kan nggak mungkin. Kok kesannya kayak aku nggak menghargai berkah Tuhan yang lainnya sampe bersikap kayak gitu. Intinya aku udah berusaha. Dan aku melakukan yang terbaik, jadi sekarang saatnya berdoa semoga diberikan yang terbaik.”   Ibu Neli menghela napas. Beginilah akhirnya kalau dia berbicara pada anak gadis modern yang pandai bersilat lidah seperti Arbe. Semua nasehatnya dimentahkan begitu saja hingga pada akhirnya dia memunculkan pembenaran akan pilihannya yang terus jomblo sampai detik ini.   “Tapi usahanya ditambah ya, Be. Jangan galak-galak. Perbanyak senyum. Perbanyak relasi juga karena kita sendiri nggak tahu jodoh kita itu siapa dan diperantarai oleh apa.”   Bianca tertawa riang. “Iya, Kak. Siaaaapppp.”   “Termasuk ke pasien juga. Kayak pasien tadi tuh. Kan kamu nggak tahu ke depannya akan seperti apa, jadi jalin hubungan baik terlepas dia jengkelinnya kayak apa pun.”   Bianca mengangguk-angguk. Memang sudah menjadi sifat alamiah ibu-ibu mungkin ya jadi hobinya menasehati gadis-gadis yang terasa seperti anaknya sendiri, pikir Bianca.   “... siapa tahu dia perantara kamu dan jodoh kamu di masa depan. Kan kalo gitu kamu bersyukur banget pasti terlepas dia jengkelinnya kaya bakteri. Atau jangan-jangan malah dia lagi jodoh kamu di masa depan? Kan jadi enak banget tuh walau agak malu-maluin diri sendiri.”   “Ih, Kak Neli ini apa-apaan sih? Jangan ngawur ya,” kata Bianca bergidik. Tapi tanpa sadar dia membayangkan apa yang dikatakan seniornya. Buru-buru dia menggeleng untuk menepis semua pikiran absurd itu.   Keduanya meninggalkan lorong VIP dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ibu Neli dengan tawa lebar karena berhasil menggodai si anak rantau yang masih single itu, sementara Bianca dengan gelengan kepala menepis semua bayangan nakal yang muncul begitu saja. Tapi ada satu hal yang tetap tertinggal di sana: sebuah doa.   Dan mulai detik ini orang-orang harus percaya kalau ucapan adalah doa. Ya, tanpa sadar ada banyak orang yang mendengungkan Arbetiana dan Pranadipa akan dipertemukan dalam takdir berkat ruang VIP ini. Itu adalah sebuah doa. Tapi apakah skenario cinta dari Tuhan akan mengabulkan doa orang banyak tersebut?   Note:   Bianca emang manggil seniornya nggak tentu ya. Kadang Kak, kadang Ibu. Aku pribadi pun seperti itu di rumah sakit. Manggil Kak karena emang habit di kampus tuh kayak gitu, jadi terbiasa aja. Tapi setelah dipikir-pikir mereka juga udah jadi ibu-ibu/bapak-bapak, jadi kayak bingung haha.   Tapi nggak perlu dibuat pusinglah ya. Yang penting masih dalam standar sopan, manggil apa pun nggak masalah.    TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD