PM - PERASAAN BERSALAH

1635 Words
  Happy Reading ^_^   ***   Prana sedang fokus pada pemeriksaan rutin mobilnya kala melihat seorang pria memasuki komplek rumahnya dan memasukkan motornya ke teras rumah tetangga depan. Yup, itu rumah Arbe-Arbe, si tenaga medis yang judesnya tiada tandingan.   Keningnya berkerut sambil terus memerhatikan gelagat pria itu. Tidak ada tanda-tanda aneh yang artinya dia memang mengenal rumah itu dengan baik. Tapi siapa dia? Prana belum pernah melihatnya selama beberapa hari di sini. Dari tampangnya pria itu kelihatan masih muda sekali, bahkan lebih muda dari Arbe-Arbe itu. Apa itu suami Arbe-Arbe itu? Tapi masa iya sih suaminya brondong? Prana menggeleng. Dia ingat sekali kalau Om Adi pernah bilang kalau Arbe-Arbe itu masih single. Kalau begitu mungkinkah pacarnya? Tapi kenapa pacarnya datang saat weekdays di jam di mana Arbe bekerja.   Seketika pemikiran buruk menyelinap. Apalagi saat Prana melihat pria itu kebingungan di depan rumah Bianca. Beberapa kali tangannya mengotak-atik knop pintu, kemudian mengintip ke dalam melalui jendela. Mungkinkah dia pencuri?! Meski tampangnya kelihatan tidak jahat, tapi siapa yang tahu hatinya.   Sontak saja Prana meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan langsung masuk ke area rumah Bianca. Dia mencekal lengan pria yang mencurigakan itu dengan tatapan galak.   “Kamu siapa, hah? Orangnya nggak ada tapi kok berani-beraninya ngintip kayak gitu.” tanya Prana dengan nada galak.   “Situ sendiri siapa?”   Prana memutar bola matanya. Kok malah dia balik nanya sih? Batin Prana dengan nada gemas. “Saya Prana. Kamu siapa?”   “Oh, situ orang baru ya?”   “Hah?”   “Rumahnya mana?”   Kan anak ini yang gelagatnya mencurigakan, kok jadi gue yang diinterogasi sih? Prana menggerutu dalam hati.   “Rumahnya mana?” tanya pria itu lagi yang membuat Prana memutar bola matanya.   “Tuh, rumah saya di depan pas.” Prana menunjuk rumah yang dikontraknya dengan nada sewot. Dia mendengus.   “Beneran, Bang?”   “Masih nggak percaya? Sana hubungin yang punya rumah. Saya tuh ngontrak di situ selama beberapa bulan.” Prana memutar bola matanya. “Tunggu, kan kamu yang mencurigakan, kok jadi kamu yang menginterogasi saya sih? Sekarang saatnya kamu ngaku. Jangan mengubah topik pembicaraan!”   “Tenang, tenang, saya bukan pencuri kok, Bang. Btw, ini dilepas dulu. Nyeri banget cengkeramannya.” katanya sambil berusaha berdamai.   Secara cepat Prana melepaskan cengkeramannya.   “Saya Rendy, sepupunya Mbak Bianca.”   Akhirnya si pria itu berbicaran dan menyebutkan identitasnya. Tapi kemudian Prana mengerutkan keningnya. “Mbak Bianca?” Prana membeo dengan tatapan bodoh. “Maksudnya Arbe-Arbe itu?” tanya Prana untuk memastikan. Nama perempuan itu terlampau rumit, jadi Prana tidak bisa mengingatnya dengan baik meski Om Adi sering mendengungkannya.   “Iyaaa. Namanya Arbetiana Bianca.” Rendy membenarkan. “Saya bukan pencuri, Bang. Masalah kelar kan?”   “Kamu nggak bohongin saya, kan?” tanya Prana masih dengan nada tidak bersahabat. Dia ingat belakangan ini banyak pencuri yang sudah mengintai korbannya dari waktu lama. Oleh karena wajar sekali bagi mereka untuk tahu identitas pencurinya sehingga tidak dicurigai dengan mudahnya.   “Nggak, Bang. Sumpah.” Rendy mengacungkan dua jari tangannya sehingga membentuk huruf ‘V’ yang melambangkan keseriusannya. “Boleh deh Abang telpon Mbak Bianca biar Abang puas.”   Tawaran itu langsung dibalas dengusan oleh Prana. Bagaimana caranya dia menghubungi Bianca-Bianca itu kalau dia sendiri pun tidak punya nomornya? Tapi, ya sudahlah. Toh seharian ini dia tidak punya agenda apa pun, jadi dia bisa mengamati si pria yang masih terlihat muda itu untuk memastikan kejujurannya.   “Kamu ngapa sih celingukan kayak gitu? Bikin orang curigaan aja. Apa nggak tahu kalo Mbak kamu itu lagi kerja jam segini?”   “Tahu, Bang. Tapi saya tuh kelaparan, jadi ya mau gimana lagi. Tadinya aku tuh ada kunci cadangannya, tapi kemaren ketinggalan di dalem. Mbak Bianca tahulah, tapi kok ya nggak ninggalin kuncinya padahal tahu aku sering dateng ngambil makanan.”   “Ya justru karena kamu sering ngambil makanan makanya dia nggak ninggalin kuncinya!”   “Eh, iya juga ya, Bang. Ih Mbak Bianca nih jahat banget sih.” Rendy menggumam pada dirinya sendiri.   “Iya, Mbak kamu itu emang jahat.” celetuk Prana sambil berlalu meninggalkan Rendy. Secara spontan Rendy mengekorinya sampai di rumah yang dikontrak Prana selama beberapa bulan itu. Toh dia tidak bisa masuk ke rumah kakak sepupunya, jadi lebih baik dia ngadem di rumah tetangga barunya saja.   “Bang Prana sendiri di sini udah dari kapan? Dulu tuh rumah ini dikontrak cewek lah, trus tahu-tahu udah dikontrak Bang Prana. Makanya aku kaget pas Bang Prana bilang ngontrak di sini.” kata Rendy dengan nada bersahabat. Kemudian dia teringat sesuatu dan menambhkannya dengan malu-malu. “Oh ya, aku panggil Bang Prana nggak masalah kan ya?” tanyanya setelah berujar ngalor-ngidul. Seriusan, dia baru ingat kalau ini adalah pertemuan pertama mereka. Itupun terjadi dalam momen yang tidak begitu menyenangkan.   “Iya nggak apa-apa. Santai aja sih. Tapi kamu beneran bukan orang jahat kan?” Prana memastikan lagi sampai Rendy gemas dan menepuk jidatnya sendiri.   “Bukan, Bang. Lihat nih muka... ada ya tanda-tanda mukanya orang jahat?” kata Rendy dengan kepercayaan diri tinggi. Prana terkekeh sekilas. “Bang Prana ini lucu... katanya Mbak Bianca itu jahat, tapi kok ya masih ngurusin ada orang aneh celingukan di rumahnya. Mestinya biarin ajalah!”   “Ya kalo saya nggak lihat mah nggak apa-apa, Ren. Tapi masalahnya saya liat, ada beban moralnya kalo sampe biarin aja.” jawab Prana sambil mengotak-atik mesin mobilnya.   “Btw, Bang Prana ketemu Mbak Bianca di mana? Kok udah tahu kalo dia jahat.” tanya Rendy karena penasaran.   “Kemaren kan saya sempet opname di rumah sakit tempat Mbak-mu itu kerja. Dan apesnya ya kebagian jatah diambil darah sama dia. Terus ya terjadi peperangan selama beberapa menitlah.”   “Kok bisa ada peperangan? Mbak Bianca itu kalem lho kalo lagi nyampling. Mulutnya pedes kalo ada yang nggak menyenangkan aja. Ini bukan aku belain Mbak Bianca lho, Bang. Tapi Mbak Bianca tuh tipe manusia yang paling males ngomong. Jadi kalo nyampling pasti cuma sekedar nanya identitas trus ya udah tusuk. Kalo nggak ada yang nanya ya dia nggak bakal ngomong.”   “....”   “Tapi kalo ada sesuatu yang salah menurut dia, wajar banget. Pasti dia bakal nyerocos panjang lebar kali tinggi sampe kuping orangnya panas.”   “Bahkan ke pasien sekali pun?”   “Jangan kan ke pasien, orang nggak kenal di depan dia aja pasti diomelin. Itu kasusnya kalo orangnya salah ya, tapi kalo nggak salah ya dia mingkem.”   Prana tercengang. Arbe-Arbe itu benar-benar tidak terduga.   “Btw, Bang Prana emang salahnya apa sih? Kepo aku kok bisa sampe perang kayak gitu.” tanya Rendy lagi karena sangat penasaran. Soalnya ada banyak manusia, tapi hanya sedikit yang bisa membuat kakak sepupunya itu marah. Dia benar-benar akan marah kalau sesuatu itu benar-benar sudah kelewatan menurutnya.   “Itu...”   Prana gelagapan sendiri. Entah kenapa dia seperti disadarkan kalau tindakannya salah. Dan menceritakan kesalahannya terdengar sangat memalukan.   “Tenang, Bang. Aku nggak bakal cerita kok Mbak Bianca. Santai, santai. Selama dia nggak tahu, taringnya nggak bakal keluar.”   “Yah... ini sebenernya salah saya juga sih,” akunya dengan berat hati. “dia nyuruh anak magang buat ngambil darah saya. Saya nggak mau... yah, terus agak sedikit ngeremehin gitu. Ngomel deh dia.”   Yah, walau dia belum bisa mengakuinya secara langsung pada Bianca-Bianca itu, setidaknya dia sudah menyadari kesalahannya. Tapi kemudian dia menyadari ekspresi masam Rendy. Prana mengerutkan keningnya.   “Kamu kenapa kok mukanya kayak nggak seneng gitu? Saya salah banget ya?” Prana berfikir sejenak, lalu menggumam lagi pada dirinya sendiri. “Nggak usah dijawab juga saya tahu jawabannya, Ren. Tapi ya gimana, insting nggak percaya muncul gitu aja. Jadi ya udah deh.”   “Yah, wajar sih, Bang,” kata Rendy dengan tawa kering yang terdengar tidak tulus sama sekali. Prana mengerutkan keningnya. “Dan untungnya Bang Prana posisinya sakit, coba kalo sehat kali udah digampar sama Mbak Bianca.”   Prana membulatkan matanya. “Galak bener sih Mbak-mu itu!”   “Yaaa... wajar aja sih, Bang. Kalo aku memposisikan diri aku sebagai Mbak Bianca ya pasti gemes ketemu pasien kayak gitu. Soalnya ya kita berdua tahu gimana perjuangan si anak magang untuk sampai di titik ini.”   “Tunggu, tunggu,” Prana menyela dengan kening berkerut. “Maksudnya, kamu sejurusan gitu sama Mbak-mu? Kerjaan kamu juga sebagai tenaga laboratorium gitu?” tanya Prana dengan panik. Kalau benar, dia sudah menyinggung dua tenaga laboratorium. Dan parahnya mereka masih bersaudara. Kelar hidup lo, Prana!   Rendy menunjukkan cengiran bodoh. “Tentang sejurusan memang iya, tapi kalo kerja memang belum, Bang. Aku masih kuliah. Dan beberapa tahun lagi ya aku bakal magang kayak anak magang yang Bang Prana remehkan itu.”   “Sorry, sorry, Ren...” Prana ingin menutup wajahnya dengan karung sekarang juga. Dia benar-benar malu karena sudah menyinggung ini dengan orang yang sejurusan dan sebentar lagi juga akan magang.   “Santai aja sih, Bang. Aku nggak kayak Mbak Bianca yang langsung ngomelin orang kok,” kata Rendy untuk melunturkan rasa canggung yang melingkupi Prana karena hal ini. “wajar sih untuk orang-orang ngeremehin anak magang. Kami nggak sehebat ahlinya. Tapi ya tetep aja sih pengen didukung karena ya dari situlah kami belajar untuk jadi orang pro.”   “....”   “Tapi kami belajar kok, Bang. Seriusan. Di kampus juga kami udah berlatih ke sesama temen. Teorinya mah mateng, kalo prakteknya yang masih kurang. Kurang di sini maksudnya bukan kurang latihan, tapi kurang praktek ke pasien langsung. Orang sakit kan venanya kadang nggak teraba, makanya kesulitan sampling-nya pun lebih tinggi. Nah ini yang kami butuhin.”   “....”   “Soalnya kalo di kampus pasti ke sesama temen, dan temen kita pun sehat. Kalo orang sehat mah kecillll. Gampil ngambil darahnya.”   Detik itu juga Prana langsung dilanda perasaan tidak nyaman. Penyesalannya semakin dalam berkat penjelasan Rendy tentang profesinya. Dan ketika mendengar ini, wajar saja Bianca seperti induk singa yang dibangunkan.   Melihat ekspresi Prana yang lesu, Rendy langsung menepuk bahunya dengan ringan. “Santai aja sih, Bang. Nggak usah mukanya ditekuk-tekuk kayak gitu. Aku nggak kayak Mbak Bianca kok.”   Dan meskipun begitu Prana tetap tidak bisa tenang. Inilah akibatnya kalau dia terlalu banyak drama. Seharusnya dia menurut saja waktu di sampling kemarin oleh anak magang itu. Toh sebelum sampai pada posisi magang mereka pasti sudah kuliah dan tidak mungkin mereka tidak tahu apa-apa. Apalagi untuk yang benar-benar belajar seperti yang Rendy katakan, mereka pasti akan tersinggung. Tapi lagi-lagi mereka hanya anak magang. Mereka tidak akan punya keberanian untuk memarahinya, makanya Bianca-lah yang menjadikan dirinya sebagai tameng.   Dia sudah bersalah. Lalu bagaimana caranya meminta maaf dengan natural di saat mereka sedang bersitegang seperti musuh bebuyutan begini?  TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD