Laboratorium.

1748 Words
Aaron kembali memusatkan pikirannya untuk mengetahui atau mencari petunjuk bagaimana cara masuk ke dalam markas bawah tanah itu. Dia berharap mendapatkan petunjuk, apapun itu agar tidak perlu menggunakan kekuatannya untuk memaksa lantai di kakinya terbuka. Sayangnya dia masih tidak memiliki petunjuk apapun. Yang terlihat di kepalanya hanyalah chemical yang harus dipadukan agar mendapatkan serum. "Apa kau mendapatkan petunjuk?" Tanya James. Aaron menggelengkan kepalanya. Dia mendesah karena sekuat apapun ia berusaha, tidak ada petunjuk untuk masuk ke dalam. "Tetap berusaha, Aaron." Mereka tidak ingin mengambil resiko sekecil mungkin agar tidak menghancurkan laboratorium bawah tanah di bawah kaki mereka. Jadi menunggu Aaron agar mendapatkan petunjuk dari otaknya yang ditembak dengan sinar adalah opsi satu - satunya. "Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Ken kemudian. Mendadak Aaron memiliki ide memasuki ruang bawah tanah dengan cara menghancurkan sedikit demi sedikit lantai yang mereka pijak. Itu menggunakan energi air dan juga api. Perpaduan dua energi itu bertujuan untuk mengikis permukaan lantai yang disemen itu sedikit demi sedikit sehingga membentuk lubang kecil yang cukup untuk dimasuki oleh mereka. " Bukankah batu jika terkena air dan panas secara terus menerus akan lapuk? " ucap Aaron. "Kau benar. Meski membutuhkan waktu yang tidak sedikit, itu lebih baik dari pada mengerakkan tanah dan beresiko menghancurkan laboratorium." Ya, karena di bawah kaki mereka terdapat kemungkinan berdirinya laboratorium, tentu saja mereka tidak ingin mengeluarkan kemampuan untuk tanah atau menggetarkan. Sudah pasti barang - barang yang berada di dalam laboratorium merupakan barang pecah belah. Ada kemungkinan professor Philips juga meninggalkan sesuatu untuk mereka di masa lampau. "Baiklah aku dan Ken akan menembak lantai di satu titik agar lantai ini bisa dihancurkan dengan mudah." Sean menyetujui ide dari Aaron. "Thanks guys." Semua yang berada di sana mengangguk setuju. Ken dan juga Sean pun tidak menunggu lama untuk menembakkan kemampuan mereka ke satu titik secara terus - menerus dan bergantian. Keduanya bekerja keras hingga berjam - jam tanpa kenal lelah. Sedangkan James dan Saga mengawasi sekitar karena hari sudah mulai malam, sementara Aaron mulai mempersiapkan makanan kaleng untuk makan malam. Mereka tidak ingin zombie yang memiliki sifat nekat seperti zombie mutasi ketiga tiba - tiba menyerang mereka dari arah yang tidak diketahui. Satu hal yang tidak mereka ketahui yaitu kemampuan Saara untuk melebur molekul di tubuhnya menjadi partikel udara yang mampu menembus dinding apapun. Sayangnya kemampuan itu tidak berguna karena rekan - rekannya tidak bisa ikut masuk ke dalam laboratorium seperti yang ia lakukan. Apalagi yang berperan penting untuk membuat Serum di sini adalah Aaron. Jadi mau tak mau Saara juga menunggu hasil dari usaha Sean dan juga Ken. Grrrh... "Eh, ada zombie?" Ucap Aaron menujuk ke arah satu zombie yang tidak sengaja lewat. "Kurasa dia zombie bodoh karena tidak memiliki insting seperti zombie lainnya, padahal zombie - zombie yang lain menghindari Saara. Memang ada satu zombie yang tersasar ke arah mereka. Kebetulan zombie itu adalah zombie mutasi pertama sehingga Saara langsung untuk menyerangnya dan mengambil kristal yang ada di kepalanya. "Kasihan sekali, zombie yang malang." "Ya, kau benar. " Aaron dan yang lain kini mulai tidak bisa membedakan mana pihak tertindas dan ditindas. Sebab zombie yang dulu berada di puncak rantai makanan kini diincar oleh makhluk lain untuk diambil kristalnya. Apalagi cara mengambilnya termasuk sadis. Beginilah kehidupan di end of world, siapa yang kuat maka dia yang akan menang. *** Sudah dua hari berlalu semenjak Jenderal Mayer mengambil alih markas Selatan. Kehidupan pengungsi di markas yang lain sekarang jauh lebih kondusif daripada yang dulu. Itu karena Jenderal Mayer tidak pernah terlambat mengirimkan pasokan makanan kepada markas yang lain agar mendapatkan kesetiaan mereka. Dan seperti biasa, pada malam hari Jendral Mayer kembali mendatangi Robinson dan rekan - rekannya yang sudah ia ubah menjadi zombie. Jenderal Mayer kembali mengendap - endap ke arah pintu yang menghubungkan ruang bawah tanah. Hari ini dia ingin mengambil kristal zombie yang ia rasa sudah tumbuh di kepala mereka. Cekrek. Perlahan - lahan Jenderal Mayer membuka rantai yang menutup pintu tempat Robinson dan rekan-rekannya terkurung. Robinson dan rekan - rekan yang sedang menjadi zombie segera menyerang Jenderal Mayer yang membuka pintu. Namun mereka tidak beruntung karena terpental sebelum menyentuh tubuh Jenderal Mayer. Pria itu memiliki kemampuan petir sama seperti anak buahnya yang lain sehingga tidak mudah untuk mengalahkannya. "Rupanya kalian tumbuh sangat baik ya di sini?" Sinis Jenderal Mayer. Tentu saja Robinson dan rekan - rekannya tidak menjawab. Mereka hanya mengerang dan bangkit dari lantai untuk menyerang Jenderal Mayer lagi. Rasa lapar yang mendominasi kepala mereka, membuat mereka tanpa kenal lelah menyerang Jenderal Mayer terus - menerus. ''Ahahaha baiklah - baiklah. Aku akan membebaskanmu dari penderitaan seperti yang kau inginkan, Roby. Sekarang serahkan kristalmu untukku..." Cras. Tanpa perasaan Jenderal Mayer mengarahkan tangannya ke kepala Robinson untuk mengambil kristalnya. Tanpa Rasa jijik maupun mual, dia mengaduk - aduk demi mengambil bongkahan kristal yang biasa terdapat pada zombie. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kristal yang berada di tangan Jenderal Mayer sekarang merupakan kristal mentah yang tidak memiliki keistimewaan apapun. "Akh... Si*l! " teriak Jenderal Mayer. Dia sangat kesal mendapati jika tidak mendapatkan panen." Dia pun menatap ke arah rekan - rekan Robinson yang bersiap menyerahnya. Dia begitu marah sehingga ingin menghabisi mereka semua sekali serangan. Akan tetapi begitu dia memikirkan kristal zombie yang bisa ia dapatkan dari mereka, maka niatnya dia urungkan. Jenderal Mayer bukanlah orang yang bertindak membabi buta karena kemarahan. Sebelum berbalik untuk menuju pintu, Jenderal Mayer terlebih dahulu menghempaskan rekan - rekan Robinson yang menjadi zombie akibat perbuatannya. Setelah itu dia melangkah dengan tenang menuju pintu keluar lalu kembali menguncinya dengan rantai. Jenderal Mayer berpikir akan kembali ke sini seminggu kemudian dan berharap jika kristal zombie sudah terbentuk sempurna di kepala rekan - rekan Robinson tersebut. Pada saat perjalanan menuju ke ruang pertemuan, Ben menghentikan Jenderal Mayer di tengah jalan. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam sehingga membuat Jenderal Mayer penasaran. "Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu pucat, Ben?" Tanya Jenderal Mayer. "Lapor Jenderal... Draco dan lainnya tidak kembali sampai sekarang," lapor Ben. Jenderal Mayer terdiam karena tidak bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan. Dia tidak bisa mengirim orang - orang untuk mencari Draco yang bertugas mengirim logistik makanan ke markas barat-- pada saat masa transisi kekuasaan. Akan tetapi dia juga membutuhkan kepercayaan dari pasukannya saat ini. Dia tidak ingin dicap pemimpin yang tidak memiliki perasaan pada anak buahnya. "Ben, apa kau ingin mencarinya sendiri?" Tanya Jenderal Mayer. Solusi ini yang bisa ia pikirkan untuk membuat Ben maupun dirinya tidak mendapat masalah. "Tapi aku tidak bisa mengirim orang lain selain dirimu. Bagaimana?" Tanya Jenderal Mayer. Karena sifat setia kawannya, Ben menyanggupi perintah Jenderal Mayer. Lagi pula dirinya memiliki kemampuan petir yang luar biasa sehingga mampu melawan gerombolan zombie yang lambat itu. "Baik." Jenderal Mayer menepuk bahunya. "Bagus, lakukan diam - diam, Nak. Mereka akan protes jika aku membiarkanmu pergi karena saat ini masih masa transisi kekuasaan. Apa kau mengerti? Pergilah," perintah Jenderal Mayer. "Siap." Ben menyanggupi dan segera meninggalkan Jenderal Mayer. Dia melompat ke langit - langit seperti tupai dan membuka jendela. Lalu menghilang dari menara markas pusat. Jenderal Mayer merasa lega setelah Ben menghilang dari pandangannya. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun dalam masa transisi kekuasaan ini. Dia harus mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari pasukan markas Selatan maupun pasukan Pusat. Merasa sudah aman, Jenderal Mayer kembali melanjutkan langkahnya ke ruang pertemuan. Tanpa disangka Kendal menghentikannya dari belakang. "Oh aku mencarimu. Rupanya kau di sini," sapa Komandan Kendal. Hampir saja Jenderal Mayer melonjak karena terkejut dengan kedatangan komandan Kendal yang tiba - tiba. Dia pun mengatur nafasnya untuk menenangkan detak jantungnya yang berpacu karena terkejut itu. "Oh, kau mengejutkan ku," ucap Jenderal Mayer. Komandan Kendal tertawa, dia tidak menyangka jika Jenderal Mayer akan terkejut karena sapaan pelannya tadi. "Maafkan aku ahaha..." "Baiklah. Ayo kita ke ruang pertemuan. " *** Setelah dua hari di ditembak oleh kekuatan air dan juga panas, lantai yang dilapisi oleh semen itu mulai retak. Sarah segera mengeluarkan tenaga telekinesis nya untuk menghancurkan lantai dari semen itu sedikit demi sedikit menjadi Butiran Debu. Dan yang mengejutkan ternyata ada tangga yang menghubungkan tempat mereka berdiri menuju ke sebuah lorong yang panjang. "Yes kita berhasil!" Pekik James. Akhirnya hari yang ditunggu - tunggu terjadi, sehingga tidak mengherankan jika ia memekik senang. Orang yang paling lega adalah Sean dan juga Ken. Mereka kehabisan tenaganya karena sudah dua hari mengerahkan tanpa henti. Akhirnya kini mereka bisa beristirahat dan menyerahkan sisanya pada rekan - rekannya yang lain. Tentu saja mereka memanfaatkan itu untuk memulihkan tenaga. "Aku menunggu di sini, kalian masuklah," guman Ken dan Sean. Keduanya duduk di tanah dengan nafas yang memburu. Wajah mereka nampak kelelahan karena harus mengeluarkan tenaga yang tidak sebentar. Aaron merasa jika ide itu bukan ide yang bagus. Sebab masih ada zombie mutasi ketiga yang mengincar mereka dari jauh. Jadi dia menyarankan kepada kedua orang itu untuk tetap mengikuti kelompok agar tidak diserang oleh zombie mutasi ketiga. "Apa kalian yakin tidak ikut? Ingat, para zombie itu enggan mendekat karena ada Saara," ucap Aaron. Ken dan Sean bertatapan, Karena kelelahan mereka melupakan fakta penting itu. "Ya ampun, aku hampir lupa." Kedua orang itu pun berdiri dan mengikuti rekan - rekannya yang mulai menuruni tangga bawah tanah. Pits. Entah mekanisme seperti apa yang dibangun oleh processor Philips, sebab begitu mereka menginjakkan kaki di lantai terbawah, lampu di sekitar mereka menyala. Mereka pun menatap kagum pada mekanisme tersebut karena sudah lama tidak melihat teknologi yang seperti itu. "Rupanya masih ada lorong yang harus kita lewati," ucap Aaron. Semua orang hendak melangkah melewati orang tersebut sebelum Sean menghentikan langkah mereka. " Tunggu dulu... Bagaimana jika ada zombie yang masuk ketika kita berada di dalam? "Tanya Sean. Saara yang tidak pernah basa-basi langsung mengeluarkan tangannya sehingga pohon yang menjadi petunjuk mereka tadi, berada tepat di atas lubang yang mereka buat. Setelah itu Saara melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikitpun. "Masalah selesai, " ucap Sean. Ucapan Sean disambut oleh cekikikan keempat pria yang berada di sana. Mereka semua hampir lupa jika ratu es masih belum berubah. Dia akan menyelesaikan segala masalah tanpa berbicara dan tetap berwajah datar. Tanpa mereka sadari tawa ini adalah tawa mereka yang pertama setelah dua hari. Sebab dua hari terakhir mereka begitu tegang menantikan hasil dari tembakan kekuatan dari Sean dan juga Ken. Mereka bahkan sempat putus asa jika kekuatan Ken dan juga sayang tidak mampu membuat lantai semen itu rapuh. Jika hal tersebut terjadi maka mau tidak mau mereka akan membuka lantai semen itu dengan cara yang kasar. Hanya saja kekhawatiran mereka terlalu berlebihan ternyata tidak ada barang pecah belah di bawah lantai semen yang mereka bongkar, yang ada justru lorong panjang yang menuju entah ke mana. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD