BCP- 7

2102 Words
Pagi, suasana rumah akan selalu ramai mulai ketika Clarie dan Aileen sudah bangun, masih memakai piama tidur kuning yang cerah bermotif animasi kelinci yang lucu, keduanya benar-benar sekilas seperti kembar dari belakang, rambut Clarie yang hitam menuruni keluarga Rashid sehingga dari belakang tak terlihat ada campuran darah ibunya yang berasal dari negara dengan julukan Black Country. Mereka sedang duduk menonton kartun favorit sambil menghabiskan s**u di gelas masing-masing di temani pengasuh mereka sementara Mami dan Tyas sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Senin pagi, Tara sudah bangun dan bersiap. Dia biasa mandiri mempersiapkan segala perlengkapan pakaian yang akan di pakai. Kamarnya sangat rapi dan tertata, tinggal lama dan mandiri di luar negeri membuat terbiasa semuanya sendiri bahkan Tara bisa memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Memang apa yang sulit, jaman serba modern seperti ini? Mencuci dengan mesin memudahkan segalanya, tinggal klik-kilik jadi. Peralatan masak juga sudah canggih, resep mudah di dapatkan dari internet. Alat-alat pembersih debu bisa gerak sendiri. bahkan menurut Tara rumah orang tuanya ini sudah ketinggalan teknologi, sekarang ada smart home, rumah yang memiliki sistem tersambung dengan internet. Tak ubahnya seperti serial film keluarga home alone series ke empat. Jika Mami mengizinkan Tara berencana memiliki rumah seperti itu, sayangnya untuk tinggal mandiri di apartemen berdua dengan Clarie saja Mami tak memberi lampu hijau dengan alasan rumah sebesar ini untuk apa mereka bangun jika satu pun anak-anak mereka tak ada yang mau tinggal bersama. Tara sebagai anak pertama mengalah, lagi pula putrinya akan lebih aman dan terawasi di sini karena Tara tak bisa dua puluh empat jam mengawasi selama dia bekerja atau berkegiatan di luar rumah. "Molning Papa!" teriak Clarie dengan semangat begitu melihat Tara turun tangga. "Morning bunny, morning Ai." "Paghi Papa tala" saut Ai yang juga dapat sapaan Tara, lelaki itu membungkuk mengecup kepala mereka bergantian. "Ayah ke mana, Ai?" pertanyaan Tara mengundang decak di belakangnya, tak lain Tyas. "Yayah, kelja!" Jawab Aileen santai tapi tidak dengan Tyas yang mendekat. "Jangan jahil kak, kalau Ai menangis minta ke ayahnya kakak tanggung jawab!" Tara tertawa. "Pakai trik apa buat anak ini mau lepas dari bapaknya?" "Tuh series barbie terbaru." Tunjuk Tyas pada rumah barbie mencolok berwarna merah muda juga dua barbie baru sebagai penghuninya. "Aku yakin nggak cuman ini." "Benar, hafal sekali sama karakter ponakan kakak ini." Tyas sudah merapikan gelas-gelas yang sudah kosong dan minta Erin untuk membawa ke dapur. Tara tertawa, "Pasti Dhito janjikan sesuatu." "Dhito menjanjikan liburan akhir tahun nanti." "Ke mana?" "Korsel." "Hah? Ke mana, Tyas?" "Korea Selatan." Tyas memperjelas, Tara mengerutkan kening. "Bilang saja kalian mau Honeymoon lagi." "Iya dong, sekalian ajak Ai dan Cla ke disneyland di sana juga mau main salju." "Cla juga di ajak? Kamu lupa sama Papanya? Nggak minta ijin dulu?" Tyas terkekeh, "mandi dulu, sarapan terus menonton lagi." Tyas memerintah pada keduanya, Erin yang sudah kembali langsung mengarahkan naik ke lantai dua, ke kamar anak-anak. "Cla kan anakku juga, ngapain aku ijin kakak. Lagian kasihan dia punya Papa penghasilannya menjanjikan, tapi nggak pernah di ajak jalan-jalan." Lanjut Tyas dengan santai. "Heh aku ini Papanya! Bukan nggak pernah ajak jalan-jalan, aku cuman bosan ke luar negeri setelah bertahun-tahun tinggal di London." Tara berdecak, meski sudah pasti dia tak akan melarang adiknya mengajak Clarie, anaknya juga pasti senang bisa pergi bersama Aileen. "Alasan saja." "Lihat nanti ya, kalian mau ke Korsel kapan? Atur jadwal dan tiket sekalian untuk aku dan Cla." Tyas menyeringai merasa bangga sudah buat Tara terpengaruh. "Sekalian dong kita dibayari." "Enak di kamu, bayar sendiri. Suami kamu sangat mampu hanya untuk liburan ke sana." Tolak Tara kali ini tak akan terpengaruh Tyas. Tyas langsung lesu, "Dasar pelit, sama adik sendiri juga!" Tara akan mendebat lagi di urungkan begitu lihat Mami. "Apa yang kalian ributkan? Ini sudah siang, kamu bisa terlambat jika berdebat dengan Tyas. Kamu bukan ada persidangan siang ini?" "Tyas ada rencana Honeymoon, mau ajak Ai sama Cla." Jawab Tara, “Jadwal sidangku nanti siang, aku cukup santai pagi ini.” Lanjut Tara. "Terus kenapa? Bagus dong, biar Mami cepat punya cucu lagi. kamu juga bisa punya rencana liburan, tapi sebaiknya lebih dulu berencana punya pasangan lagi." Tara menghela napas, "Selalu ujungnya ke situ!" Keluh Tara sambil berlalu, membuat Tyas puas melihat kakaknya yang kini gantikan posisinya dulu sering tak sejalan dengan Mami. "Ka Tara bilang mau ikut lho Mi kali ini, hebat kan aku?" Bangga Tyas pada diri sendiri. Mami menggeleng kecil. "Belum hebat kalau kamu nggak bisa bujuk Tara terima perjodohan ini." "Lho kok jadi tugas aku?!" Tyas tidak terima. "Memang kamu nggak mau lihat Tara kembali punya pasangan?" "Ya jelaslah aku mau lihat Ka Tara bahagia seperti dulu." "Kita bahas ini nanti, sekarang lebih baik kamu sana lihat Erin mengurus anak-anak lalu kita sarapan bersama." Tyas pun menurut. *** Agenda persidangan terjadwal hari ini hanya menerima keputusan hakim, berjalan tidak sampai satu jam. Artara Rashid lagi-lagi mencetak kemenangan untuk kliennya. Lalu dia tak bisa berlama-lama tetap di pengadilan, memutuskan untuk mencari tempat makan siang di dekat gedung yang akan jadi lokasi Tara mengisi seminarnya. Pukul satu, Tara sudah di gedung tersebut, para panitia acara menyambut dengan hangat arahkan Tara ke ruang tamu khusus. Tara tak menyangka acara akan sebesar itu, dihadiri oleh mungkin, ratusan gabungan mahasiswa dari beberapa universitas negeri maupun swasta, ada juga para tamu lain dari berbagai kalangan khususnya perempuan muda. Jujur, dia agak gugup karena ini artinya untuk pertama kalinya dia bicara di depan orang banyak setelah tiga tahun ini hanya mengambil beberapa kasus di persidangan yang tak banyak di hadiri orang. Tara mengambil ponsel, ketika panggilan dari Tyas masuk. "Aku gugup, Tyas." Tara terbuka pada adiknya setelah menanyakan bagaimana perasaan Tara. "You can do it! Aku nggak meragukan itu." "Bagaimana kalau aku lakukan kesalahan." Tara tak bisa membayangkannya. "Setiap manusia bisa lakukan kesalahan, tapi, kamu jangan pikirkan hal negatif, itu hanya akan membuat ka Tara semakin merasa gemetar, no need to worry about that! Coba kakak tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan." Perintah Tyas di turuti Tara. "Jika ada yang bertanya soal kasus Clarisa, aku tidak segan untuk tinggalkan panggung." Seminar di laksanakan untuk peringati hari perempuan dunia, Tara berfirasat dia mewakili rumah mentari di undang pasti untuk menceritakan pengalaman selama menangani berbagai kasus kekerasan yang menimpa sebagian besar perempuan yang kini telah berlindung di rumah Mentari, seharusnya Mami dan Papi sebagai pendiri hadir, mereka yang lebih cocok jadi narasumber, pengalaman mereka lebih banyak. Dulu, pasti Papi yang akan datang. Tapi, panitia acara sepertinya lebih tertarik Tara jadi narasumber. "Nggak ada gunanya itu, kak. yang ada kakak hanya akan permalukan diri kakak, dan menunjukkan pada semua orang kalau kakak masih sangat berduka—" "I know but what should I do? Lagi pula itu kenyataan. Sampai saat ini, detik ini, aku selalu berduka atas kepergian Clarisa." Tyas di seberang telepon menghela napas panjang, Tara yang mulai berujar dingin seperti bongkahan es yang sulit di tembus. Sementara Tara tak perlu khawatir akan ada yang dengar pembicaraannya sebab ruangan itu sepertinya memang khusus di peruntukan Tara karena tak ada orang lain. Lelaki rupawan itu mulai merasa sesak ketika baru saja membayangkan akan ada pembahasan tersebut. Dia menarik lepas dasi Maron yang mencekik juga jas di luarnya, Tara tak ingin berpenampilan terlalu formal nanti, di susul melepas dua kancing teratas kemejanya. Dia harus merasa bebas dan nyaman, jika terlalu formal seperti tadi rasanya semakin sulit nanti. "Ka Tara, mungkin memang ini sudah waktunya untuk mulai hidup baru. Kita tahu bicarakan masa lalu akan buatmu menjelajah luka yang mungkin sampai saat ini belum mengering, tapi sisi positifnya Kakak belajar menerima luka itu, menerima kenyataan." "Aku—" "Lakukan Ka, hadapi. Jika bukan untuk kami, keluarga yang mencintaimu maka lakukan untuk dirimu sendiri, aku yakin Clarisa pun menginginkan Kakak menerima kepergiannya." Itu kalimat terakhir Tyas, membuat Tara semakin dilema, dia bahkan berpikir untuk tak peduli tentang reputasinya, nama besar Rashid yang akan di bicarakan jika dia memilih pergi. Maka, Tara bergerak cepat, menarik dasi dan jasnya akan segera keluar. Ceklek Namun, bertepatan dengan pintu terbuka dari luar. Seorang lelaki berkacamata tebal, memakai seragam panitia tersenyum ramah, tidak sadari Tara yang kesal karena gagal larikan diri. "Pak Tara mohon maaf, ada perubahan jadwal." "Maksudnya?" "Acara sudah di mulai, seharusnya jadwal bapak setelah bintang tamu kami yang lain tapi kami baru dapat kabar jika bintang tamu ini terlambat, jadwal bapak di tukar. Mari bapak ikut saya untuk ke panggung sekarang." Tara menghela napas, kedua tangannya mengepal. Sepertinya, takdir lebih berpihak pada harapan Tyas juga keluarganya. Tara tidak di biarkan untuk menghindar seperti biasa yang dia lakukan selama ini. Sambil melangkah keluar ruangan, Tara tidak berhenti berdoa agar bisa melewati apa pun yang ada di depan nanti. Katanya, Sang Pencipta tidak akan menguji manusia melebihi kapasitas yang di miliki. Buktinya, meski Tara belum bisa menerima masa lalu tapi tanpa di sadari dia sudah berjuang untuk tetap kuat hingga sampai di tahap ini. Artinya ketika takdir di putuskan untuknya karena tahu bahwa Tara mampu melewati semuanya dan atas keyakinan itu, Tara tidak akan mundur setelah melaju. *** Bukan Artara Rashid jika dia tak bisa bersikap tenang selama memberi materi. Selama Tara menjelaskan semua audience sunyi, fokus mengambil ilmu dari pengalaman seorang lawyer kelulusan luar tersebut, dan tentu saja persentase perempuan muda lebih banyak di antara yang hadir, mereka lebih tertarik untuk memandangi, mengagumi ciptaan Tuhan yang sangat rupawan juga berkarisma di depan sana. Di awal Tara sedikit kaku, tapi lama kelamaan dia mulai nyaman. Tak ingin terlalu serius, karena biasanya mahasiswa-mahasiswi berjiwa muda akan mudah bosan, Tara menyelipkan pengalaman menarik juga gurauan yang berhasil membuat ballroom luas itu riuh dengan tawa yang berpadu, berhasil menyulut sesuatu yang sudah lama Tara sengaja tidurkan, perlahan mulai bangkit. Yaitu, semangat menggebu. Sampai sebuah sesi tanya-jawab di mulai, dan Tara masih merasa aman ketika para hadirin tak ada yang menyinggung soal kasus yang menimpa Clarisa padahal kejadian naas itu sempat gemparkan semua media di tempat tinggalnya London, mau pun media di Indonesia. Beruntung kembali, waktunya sudah hampir habis karena seminar ini besar, nara sumber pun banyak di hadirkan akan memberi materi bergantian. "Terakhir dari saya, berpesan pada kalian semua untuk berani speak up melawan rasa takut untuk melapor jika mendapat atau melihat ini terjadi pada orang sekitar kalian yang mengalami kekerasan. Speak up bawa dampak perubahan besar untuk berantas kejahatan macam ini. Sekian dari saya, Artara Rashid, terima kasih." kalimat sebagai penutup di sampaikan Tara membuat para audience bertepuk tangan. Tara berhasil melewatinya lalu dia berpamitan, di arahkan panitia turun. Langkah Tara yang pasti di anak tangga, bersisian dengan seorang wanita sepertinya narasumber berikutnya atau pengisi acara yang akan menghibur, entahlah Tara tak memerhatikan tapi wanita itu tahu-tahu kehilangan seimbang ketika kakinya berpijak di tangga yang sama dengan posisi Tara. Tap! "Aduh!" pekik wanita itu, membuat Tara refleks berbalik serta gesit menyelamatkan agar tak sampai mendarat di lantai dan jadi daya tarik ingin tahu para penonton. Posisi mereka sangat melekat satu sama lain, untung Tara segera sadar. Tara cepat-cepat membantunya berdiri tegak kembali. Belum sempat Tara melihat wajahnya, wanita itu malah menunduk, di tambah lampu yang di redupkan untuk menyambut bintang tamu membuat Tara tak bisa lihat siapa perempuan yang sudah di selamatkan tersebut. "Terima kasih sudah menolong saya." Katanya hanya sekian lalu berbalik cepat dan lanjutkan langkahnya. Tak ingin ambil pusing, lagi pula Tara ada pekerjaan lain, maka langkahnya pasti meninggalkan tempat tersebut, samar-samar alunan biola terdengar tepat Tara melewati pintu utama ruangan. Dia menerima bingkisan terima kasih, juga ucapan langsung dari ketua acara, Tara lalu pamit untuk pergi dari sana. Masuk ke dalam mobil, dia menyimpan bingkisan di kursi sebelah, juga melempar jas yang sudah di lepas. Dia bersandar, memejamkan mata juga menarik napas dalam-dalam. Tak langsung menjalankan mobil, Tara terdiam beberapa detik. "Huft! Tyas benar, ini nggak menakutkan seperti dalam bayanganku" Rasanya lega sekali. Barulah Tara memasang sabuk pengaman dan mulai lajukan mobil. Lalu sesuatu menggelitik hidungnya membuat Tara mengerutkan kening, dia jelas hafal wangi parfumnya. Dia Segera mencari asal wangi feminin, ternyata dari kemejanya. Tara menggeleng kecil, dia terkekeh penasaran seberapa banyak wanita tadi memakai parfum atau jenis parfum apa yang wanginya sampai melekat di kemejanya hanya dengan hitungan detik tak sengaja bersentuhan karena insiden tadi. "Tercium Tyas, bisa-bisa dia berpikir macam-macam." Monolognya. Meski begitu Tara tidak ambil pusing lagi, Tara fokus pada kemudi juga dengan apa yang baru di lewati. Tara kembali mendesah sangat lega, sesuatu yang di takutkan tak terjadi. Syukurlah, pertanyaan lebih tertarik tentang materi dan rumah mentari yang di sampaikan, di bandingkan ingin mengorek hal pribadi Tara. Hari ini dia berhasil melewati, tapi entah di depan nanti. Sebab cepat atau lamban, Tara harus menerima apa yang telah terjadi. [to be continued] Masih setia kan guys? Tara sudah mulai mau melangkah nih, Hahaha. Ayo komentar... komentar... Thank you :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD