BCP- 6

2074 Words
Perjalanan seseorang melangkah dari langkahan pertama hingga langkah tak terhingga, melewati tahun demi tahun, ciptakan ritme masa lalu sebagai kenangan. Ada yang semanis madu, tak sedikit pula sepahit jamu. Semua sudah di lalui seseorang di masa lalu berperan membentuk karakter yang ada di masa dia berpijak sekarang. Perjalanan manis pernah di raup Tara ketika menemukan dan bersama dengan Clarisa, hanya beberapa tahun teramat singkat. Lalu dia meneguk perjalanan pahit ketika kehilangan Clarisa. Kehilangan orang yang begitu di sayangi, tidak siap akan kehilangan menimbulkan kesedihan akan rindu, dan keperihan karena sakit. Tara, menyadari kehilangan istrinya berhasil membuat dirinya yang kini di rasa banyak berubah oleh keluarganya. Orang tuanya jelas akan cemas memikirkan kehidupannya, terutama ada Clarie yang perjalanan hidupnya baru di mulai tapi anak malang itu sudah belajar kehilangan ibunya bahkan ketika dia belum mengenal apa arti Ibu. Tara menatap sang putri yang sudah terlelap dengan wajah begitu damai. Dia teringat pembicaraan dengan Papi tadi. Sesuai yang di katakan Papi di telepon tadi, begitu Tara sampai rumah, Papi langsung minta Tara masuk ruang kerja pribadinya. Tidak ada Mami, karena kondisi Mami yang belum pulih juga pembicaraan yang Tara pun yakin akan membuat Mami semakin drop sebab Tara akan menolak dan keberatan atas rencana orang tuanya. Bicara dengan pimpinan Rashid alias Papi memang tak perlu lantang dan berdebat, pada dasarnya Papi adalah orang yang tak banyak bicara, dia lebih mengamati tapi ketika mulai membuka mulut, kalimatnya seperti tak bisa di bantah oleh lawan bicaranya. Walau keputusan-keputusan akhir yang di pilih Papi selalu sulit di baca Tara, dan sejauh itu semua terasa benar seperti ketika Papi setuju untuk Tyas, adiknya menjalani hidup mandiri bahkan ketika Tyas mengenalkan lelaki pilihannya. Seseorang yang tenang ketika bicara, adalah orang yang paling sulit di selami isi kepalannya. "Kami bukan orang tua yang otoriter, kamu tentu tahu betul maksud kami ini demi kebaikan kamu, terutama Clarie." Papi menatapnya dengan serius ketika Tara mengatakan dia menolak rencana apa pun orang tuanya. Dia merasa sudah bisa menentukan pilihan sendiri, perjodohan itu tak perlu, Tara berpikir keluarganya memaksa dia melupakan Clarisa, padahal jelas wanita itu tak akan pernah tergantikan. Memangnya kenapa kalau dia tak menikah lagi? Dia masih bisa hidup, besarkan anaknya seorang diri. Pikir Tara. "Kamu sudah dewasa bahkan menjadi seorang ayah, seharusnya ketika menjadi orang tua mulailah pikirkan masa depan anakmu. Apa pun yang terjadi dengan orang tuanya, Clarie pantas mendapatkan yang terbaik." "Banyak single parent yang berhasil mendidik anaknya seorang diri." Kata Tara bersikeras dengan nada yang masih normal. "Memang banyak, tapi, menjadi orang tua tunggal itu tak mudah. Coba kamu tinjau ulang, mereka berhasil karena berani mengambil langkah, beranjak dari masa lalu, melupakan kesakitan di belakang dan mulai hidup baru dengan semangat menggebu, menata masa depan." Papi berhenti sejenak, dia mengedikan dagu dan menatap cincin yang melingkar di jari Tara. "sebagai lawyer sebelum membawa fakta muncul ke permukaan, sebaiknya kamu riset ulang pernyataanmu. Kurang tepat malah akan di jadikan senjata oleh rivalmu. Banyak orang di luar sana yang kamu bilang, apa mereka masih memakai cincin pernikahan padahal sudah berpisah dengan pasangannya?" Tara termenung masih duduk di sisi ranjang putrinya, kalimat Papi terngiang jelas di telinganya. Lampu kamar yang temaram tetap membuat Tara bisa melihat cincin yang berkilau di jarinya, cincin tak pernah dia lepas. Menghela napas kembali Tara memerhatikan dengan dalam dan sarat akan rindu yang menepi di dalam kalbu Kenyataannya, benda-benda penuh memorial bersama istrinya yang masih dia simpan adalah fakta telak, dia masih berdiri di dalam sebuah lingkaran, pada masa lalu yang tak ingin dia lupakan. Lalu Tara bergantian menatap wajah putrinya, tangannya terulur mengusap keningnya, menyingkirkan poni rambutnya. "Maafkan Papa belum bisa jadi orang tua yang baik buat kamu." Melupakan, memang cara mudah untuk berdamai. Namun, melakukannya tak semudah di ucapkan. *** Seperti malam-malam setelah ada pembahasan yang menyinggung masa lalunya, Tara pasti tak akan bisa tidur padahal sebelum kejadian itu, Tara adalah orang yang mudah sekali tidur, masalah apa pun tak akan membuatnya terjaga memikirkan sepanjang malam dan yang terjadi beberapa tahun ini justru Tara kerap terbangun setelah mimpi-mimpi kelam lalu terjaga sampai matahari bersinar. "Dhito?" Tara menemukan adik iparnya sedang berdiri di depan dispenser air dengan gelas tinggi yang sudah terisi penuh. "Belum tidur atau terbangun, Tara?" usia mereka yang hanya terpaut satu tahun, Dhito di atasnya buat mereka nyaman dengan gaya panggilan mirip teman begini. "Terbangun." Jawabnya, Tara mulai mengambil cangkir. "Mau kopi, Dhito? Biar sekalian gue buatkan." Dhito tersenyum, niat mau kembali ke kamar di urungkan, malah duduk di kursi bar sembari memerhatikan kakak iparnya mulai sibuk dengan Coffee maker. "Thank you, Tara. Gue nggak bisa minum kopi jam satu malam, kalau pun minum, Tyas akan mengomel." Tara takjub dengan adik iparnya, bahkan Dhito berhasil hentikan kebiasaan merokok ketika nikah dengan Tyas, alasannya demi kesehatan. Jangankan orang luar sana yang gagal berhenti merokok, Tara sendiri tidak bisa melakukannya. "Tyas nggak akan tahu." Tara terkekeh. "Dia akan tahu." Tara menyeringai "Oh iya lupa, kalau kalian berciuman Tyas akan rasakan kopi yang tertinggal." "Bukan hanya itu, tepatnya sampai besok siang gue nggak lanjut tidur, efek kafein bikin mata strong." Keduanya tertawa lagi. "Itu nggak terjadi sama gue, harus dua sampai tiga gelas baru berasa." "It's not good for your health, Tyas tak akan suka mendengarnya." Adiknya itu sudah sering mengomel juga ketika tahu Tara terlalu berlebihan pada minuman itu. "Maka jangan katakan pada Tyas." "Never, tapi, kalau gue nggak buru-buru kembali ke kamar dia akan menangkap basah lo, Tara." Tara mengerutkan kening, "Tyas belum tidur?" tanyanya, lalu dia tertawa begitu Dhito terlihat menyesal sudah memberikan informasi tak langsung. "Astaga gue lupa, suami-istri jelas memiliki waktu malam yang panjang." lanjutnya dengan ambigu. Dhito terkekeh, "Kalau gitu gue balik ke kamar sekarang." Tara mengangguk, melihat adik iparnya membawa gelasnya tersebut, Tara dapat menyimpulkan Dhito sengaja turun untuk ambilkan minum untuk istrinya. "Besok penerbangan ke Bali jam berapa?" "Siang, jam sebelas." Dhito sudah berdiri. "Hm a good choice, jadi bisa habiskan malam dengan Tyas sebelum long distance relationship." Dhito hanya menanggapi dengan menggelengkan kepala, lalu dia benar-benar berbalik dan meninggalkan Tara yang masih tertawa. Diantara mereka tak ada yang sangka akan bisa sedekat ini, di awal Dhito memang agak insecure setiap berhadapan dengan Tara seperti pada Papi. Tapi, Tara yang tak sungkan ajak dia bicara dengan berbagai topik yang Dhito juga tahu, buat keduanya makin dekat dan bersikap akrab antara ipar. *** Lagi-lagi Tara tidur dengan waktu yang singkat dan keluar sudah tak ada anggota keluarga yang sarapan. Suasana lebih sepi, dari penjelasan pekerja rumah, Tyas dan Dhito sarapan di luar membawa Aileen dan Clarie sekalian mengantar Dhito ke bandara. Tyas memang bebas membawa Clarie ke mana pun tanpa perlu ijin dari Tara, adiknya berperan dan tak pernah membeda-bedakan antara anaknya juga Clarie. Tara berterima kasih pada adiknya itu, sebab dengan ini Clarie bisa merasakan sosok wanita hadir dalam hidupnya. Selesai sarapan, Tara memutuskan untuk masuk kamar orang tuanya, dia belum melihat Mami. "Mami?" Tara mendapati kamar kosong, dan tak ada Mami di kamar mandi juga. "Erin, di mana Mami saya?" tegurnya pada Erin yang kebetulan lewat di depan kamar orang tuanya. "Di rumah kaca sama pak adam" "Lho memang Mami sudah sehat?" "Ibu Tantri jauh lebih sehat hari ini." Syukurlah. Bisik batin Tara. "Oh okay, thank you. Kamu bisa kembali bekerja." Erin mengangguk sopan, lalu Tara menuju ke bagian belakang rumah. Ada rumah kaca yang tak besar, hanya sekitar lima kali empat meter. Rumah kaca yang menampung koleksi-koleksi kaktus berharga milik Mami. Bukan hanya koleksi, tapi di jadikan bisnis oleh Mami dan harga jualnya cukup tinggi. Jiwa berbisnis Mami memang mempuni, tidak hanya mengandalkan penghasilan dari profesi Papi sebagai pengacara Handal, Mami yang terlihat memilih jadi ibu rumah tangga, justru memanfaatkan di sela-sela waktunya untuk berbisnis. Maka dari itu pendirian rumah mentari berhasil sampai saat ini karena pemikiran matang Mami. Mengurus kaktus yang banyak, tak di lakukan Mami seorang diri, apalagi usianya tak lagi muda dengan penyakit hipertensi yang di miliki. Ada dua pekerja membantu urus juga mengantar pada pembeli jika ada pesanan. Mami hanya menjual pada teman-temannya, lalu pemasaran ala ibu-ibu yaitu dari mulut ke mulut membuat koleksi kaktus Mami terkenal. "Mami kok di sini?" tegur Tara menemukan Mami duduk sambil menikmati secangkir teh hangat dan mengawasi pekerjanya merawat tanaman kaktus. Tapi, tara tak menemukan Papi. "Bosan di kamar, Mami juga sudah lebih sehat." "Papi di mana?" Tara ikut bergabung duduk di kursi kayu aesthetic. "Sudah sibuk kembali di ruang kerja. Kamu nggak keluar?" "Mau ke mana minggu pagi—" "Sudah siang, kamu saja yang baru bangun." Tara mengendus, "Adikmu saja sudah berangkat antar suaminya ke Bandara. Clarie juga ikut Aileen. Dua anak itu seperti kembar, sulit di pisahkan, padahal sering bertengkar." Lanjut Mami. Wajar karena Cla dan Ai seusia. Jika bola mata Cla tidak biru, sekilas mereka terlihat mirip. "Mami soal seminar, Tara setuju mewakili rumah mentari." Kalimat Tara yang tiba-tiba membuat Mami tersenyum. "Syukurlah Mami tak perlu lagi berdebat untuk membuatmu setuju." Balas Mami membuat Tara kembali mendesah. "Mami harap kamu pun akan setuju dengan perjodohan yang Mami atur." Tara berdiri, sebaiknya tak tetap berada di sini jika tak ingin buat kesehatan Mami semakin buruk karena jelas perihal yang satu itu belum dia pikirkan atau jawabannya Tara sudah pasti, Tara menolak. "Setidaknya bertemu lah dulu, baru kamu bisa putuskan untuk menerima atau menolak." "itu hanya buang-buang waktu, jelas-jelas jawabanku nanti pada akhirnya akan sama." "it's not fair karena kamu belum mencoba tapi sudah memutuskan jawabannya. Oh atau kamu takut Artara Rashid." "Takut?" Maminya ada-ada saja, apa yang perlu dia takuti? "Iya, kamu berubah pikiran, dan mengakui wanita yang Mami pilihkan ini cantik juga tepat." Tara tertawa, "palingan juga yang Mami pilihkan wanita manja. Udahlah Tara nggak mau di tuduh bikin Mami sakit kalau terus bahas ini." Mami dengan santai kembali menyesap tehnya lalu berujar, "Memang kamu yang bikin Mami sakit." Malah membenarkan, buat Tara melongo. Dari semua hal karakternya, Mami memang selalu bicara jujur meski terdengar pedas sekali pun. Oh astaga! bagaimana bisa Mami dan Papi-nya memiliki karakter yang berbeda begini? Atau memang sudah jodoh, mereka saling melengkapi, kalau memiliki karakter yang serupa pasti kurang menantang. Pikir Artara Rashid sambil berlalu dan kembali masuk ke rumah, mulai berpikir cari kesibukan mengisi hari minggu di akhir pekan ini. "Kalau ada Clarie dan Aileen pasti lebih seru mengajak mereka main." Tara mulai merindukan anak dan ponakannya itu. Sambil menunggu anak-anak cantik itu pulang ke rumah, Tara pilih masuk  dan habiskan waktu di dalam ruang kerja. Membaca beberapa berkas kasus kliennya. Sayang, di tengah-tengah fokusnya justru Tara merenungi keinginan orang tuanya terutama perkataan Papi. Apa memang dia nggak akan bisa besarkan Clarie sendirian? Masa lalu yang terulang di ingatan akan menghambat langkah menuju masa depan, Tapi tolong beritahu dia bagaimana caranya? Sudah bertahun-tahun, Tara tidak ingin semua orang terus memaksa dia melakukan apa mau mereka. Tara punya pikiran, punya pilihan. Dia sudah sangat cukup tahu apa yang terbaik untuknya. Tapi, mengingat Clarie. Tara jadi tidak yakin cukup pahami yang terbaik untuk putrinya. "Papa?" Tara mengerjap dengar suara putrinya yang sudah berdiri di hadapannya, tubuh Clarie yang tinggi belum sampai meja membuat Tara segera berdiri dan menghampiri. "Bunny? Sudah pulang?" Clarie mengangguk, anaknya bawa satu cup es krim besar rasa coklat dan stroberi. "Papa cedih?" Tanya Clarie yang ternyata perhatikan raut wajah sang Papa. Tara menggeleng, dua kakinya bertumpu di lantai. "No I'm not." "Benel, Pa?" Tanyanya lagi. Menarik sudut bibirnya lebar, Tara berusaha beri senyum terbaik untuk putrinya. "Selama Papa punya kamu, Papa nggak akan pernah biarkan kesedihan halangi kebahagiaan kita." Clarie terlalu kecil untuk pahami arti perkataan Tara, tapi gadis cantik itu tersenyum karena percaya pada Tara. "Akuh cayang Papa!" Katanya dengan suara nyaring. Tara mengambil kotak es krim lebih dulu baru mendekapnya. "Papa lebih mencintaimu, Cla." Masa lalu tak akan halangi perjalanan Clarie yang sangat masih panjang. Tara akan pegang janjinya pada mendiang sang istri, apa pun menyangkut kebaikan untuk sang putri, Tara akan lakukan segalanya. Jika Clarie pun suatu hari minta sosok seorang Ibu, mungkin meski berat Tara akan lakukan untuk buat Clarie merasa lengkap. Bukan hanya kasih ibu yang sepanjang waktu, kasih dan cinta seorang ayah bahkan kekal, tak lekang termakan waktu. Seorang ibu bisa pertaruhkan hidup dan mati untuk anak-anak mereka, dan seorang ayah bisa lakukan apa pun, beri yang terbaik untuk anak-anak mereka. Tara mengangkat Clarie sembari bawa es krim, melangkah keluar ruang kerja. "Siap pesta es krim, bunny?" Clarie tersenyum lebar, "Ciaaap, Papa!" Tara akan berusaha keras agar senyum manis Clarie tetap bersinar seperti saat makan es krim kesukaan. [to be continued] 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD