Tyas menanti dengan cemas kemunculan sang kakak, dia ingin tahu apa yang terjadi selama seminar tadi. Sampai akhirnya Tara melewati pintu utama, Tara yang muncul dengan wajah tak pias, senyum kecil tertera di sana membuat istri dari Ardhito Pamungkas itu tahu kalau Tara telah selesaikan hari ini dengan baik.
"What are you doing here now, Tyas? Belum tidur?" waktu sudah tunjukan jam sembilan malam, harusnya Tyas sudah di kamar bersama putrinya.
"I know no need to worry about you!"
Tara sangat mengenal adik satu-satunya itu, Tyas pasti khawatir pada dirinya. Terlahir hanya berdua sebagai anak dari pasangan Rashid, membuat mereka sangat dekat. Saling mengerti dan menjaga satu sama lain. meski sempat Tara tinggal lama di London, bukan berarti dia tak pernah mengawasi adiknya itu dari kejauhan.
Dia akan jadi yang paling terdepan lindungi adiknya jika sampai ada yang menyakitinya, begitu pun sebaliknya. Bahkan, ketika Tara kehilangan Clarisa. Tyas dan suaminya yang pertama datang, Tara yang tak berujar apa pun, berdiri kaku bak patung menyaksikan istrinya di makamkan, barulah tangisnya pecah ketika adiknya itu datang dan memeluknya. Tyas mengerti apa yang Tara rasakan.
"Papi mendidik kita untuk nggak jadi pengecut."
Tyas tertawa, "Perlu aku ingatkan, ka Tara kalau tadi ada yang mengatakan untuk pilih pergi walau waktunya belum selesai?"
Tangan Tara terulur menguap puncak kepala adiknya dengan sayang, "Thank you, kamu selalu beri aku kekuatan di saat aku sendiri bahkan nggak yakin dengan diri sendiri."
Dewasa seseorang tak diukur dengan angka pada usia mereka, atau posisi mereka yang adik atau kakak. Tara terkadang belajar juga dari adiknya ini. Tyas seringnya bicara asal, bertingkah manja namun Tyas bisa mengambil porsi untuk menguatkan orang sekitarnya di waktu yang tepat.
"Jangan berterima kasih padaku yang tak melakukan apa pun, ucapkan itu pada diri sendiri karena berhasil melewatinya."
"Jadi istri seorang mantan buaya darat membuat kamu lebih bijaksana." Gurau Tara.
Tyas mencebik, mereka melangkah bersama sampai di dekat tangga.
"Suamiku dulu nggak seburuk itu, Ka! Astaga menyebalkannya!" Protesnya tak terima.
"Kamu nggak menemaninya di masa lalu—Aduh!" Tara mengerang sakit ketika Tyas mencubit bahunya dengan keras.
"Semua orang punya masa lalu, terpenting suamiku sudah berubah. Lalu kapan giliran Ka Tara untuk beranjak dari masa lalu?"
"Clarisa bukan masa lalu yang akan aku lupakan." Jawaban Tara buat Tyas menghela napas.
"Kami nggak pernah minta kamu untuk lupakan Clarisa, sudahlah aku kembali ke kamar saja." Kalau sudah Tara terlihat dingin ketika bahas masa lalu, Maka lebih baik Tyas akhiri dan pergi.
Satu kaki adiknya sudah menginjak anak tangga pertama, satu tangan berpegangan pada sisi tangga.
"jangan lupa temui Clarie."
"Clarie belum tidur?"
"Tadi sih belum, lagi mewarnai sambil tunggu kamu pulang padahal aku bilang belum tentu kamu akan pulang cepat. Eh jam sembilan malam sampai rumah sudah terbilang cepat buatmu, ya Ka?!" diakhiri dengan cibiran.
"Dasar! Aku pasti akan ke kamarnya."
Tyas terkekeh, "Sudah ah aku mau tidur."
"Nggak ada Dhito, kamu bisa tidur awal, coba kalau ad—"
"Ka Tara jangan bilang gitu, nanti aku makin rindu sama Dhito gimana?!" Ucap khas Tyas dengan teriakan yang membuat Tara tertawa puas berhasil mengerjai adiknya.
"Tyas!" panggilnya ketika Tyas sudah di tengah tangga, membuat wanita itu memutar tubuhnya sebentar kembali menatap Tara.
"Apa lagi?"
"Kamu harus telepon Dhito untuk pastikan malam ini dia benaran tidur sendir—"
"Terus saja Ka, terus bikin aku Nething. Curiga itu penyakit nggak baik! Aku percaya sama suamiku. Sangat!" Tyas melanjutkan langkah, tapi berhenti lagi.
"Ka Tara aku lupa bilang kalau sepertinya parfum kakak hari ini beda dari biasanya, Hm apa ya? lebih feminin. Astaga harusnya aku nething sama Ka Tara. Lelaki memang begitu, bilangnya sendiri tapi bukan berarti nggak ada yang menemani." Tyas mengatakan sambil berlalu, itu berhasil memantik tawa di pihaknya.
Tara tidak mengeluarkan sanggahan hanya menggelengkan kepala. Tepat dugaan dia, bahwa Tyas akan sadari dan berpikir macam-macam karena wangi parfum ini.
Tyas memang unik begitu adanya. Dari cerita Dhito pada Tara suatu hari, karakter inilah yang membuat Dhito jatuh cinta padanya.
***
Tara membuka pintu penghubung dengan kamar putrinya, benar kata Tyas kalau Clarie belum tidur.
"Cla, kenapa belum tidur?" Tara duduk di sisi ranjang, putri cantiknya itu langsung beringsut mendekat dan naik ke pangkuan Tara, dua tangan kecilnya memeluk lehernya dengan manja sambil mendongak. Tangan Tara otomatis mengelus belakang kepala putrinya.
"Akuh mau bobo cama papa! Ya, boyeh pa?"
Clarie memang tidur sendiri, ada kalanya ketika ingin tidur dengan Tara maka harus di turuti.
"Makanya bunny tunggu papa, iya?"
Clarie mengangguk, mulut kecilnya menguap sangat lebar. "Hoam!"
"Eh kok nggak di tutup mulutnya?" tegur Tara dengan lembut.
Clarie buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, kemudian wajahnya sudah bersandar pada Tara, matanya yang sayu tanda anak itu menahan diri untuk tidur karena menunggu dirinya pulang. Tara mengeratkan pelukan, mengangkat tubuh putrinya dengan mudah, membawa ke kamarnya.
"Clarie tidur di sini, Papa mandi dulu." Tara meletakan tubuh putrinya, membenarkan letak bantal juga manarik selimut untuknya.
"Iah, Pa." Sautnya sudah mulai memejamkan mata.
"Sweetdream, Bunny." Tara mengecup kening Clarie, dan tersenyum begitu napasnya mulai teratur, Clarie mulai masuk ke alam mimpi.
"I love you." Bisik Tara lagi.
Tara bergerak pelan-pelan tak ingin pergerakannya sampai mengusik putri yang baru tertidur, dia lalu melangkah masuk kamar mandi dan ketika melepaskan kemeja, wangi yang lagi-lagi menggelitik hidung membuat dia menggelengkan kepala, Tyas benar parfum wanita tadi masih tercium.
Banyak hal aneh akhir-akhir ini yang terjadi diluar nalar pada dirinya. Pasti semua hanya kebetulan dan tidak ada artinya. Dia hanya sedang tidak beruntung.
Tara melanjutkan mandi. Dia tidak berlama-lama, Tara kembali lebih segar dan berpakaian tidur berupa celana piama abu-abu dan kaos polos, bergabung dengan Clarie, menepati sisi kosong ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, posisi satu tangan menekuk di atas kening dan lagi-lagi hal yang sama menyapa. Yaitu, rasa rindu yang tak bisa melabuh.
"Clarisa, I miss you a lot..."
***
Hari demi hari berjalan seperti biasa, Tara sibuk dengan pekerjaan. Dia merasa tenang karena Mami atau Papi tidak pernah lagi menyinggung apalagi bahas soal perjodohan dengan wanita mana pun itu. Dia berpikir mungkin orang tuanya bosan bujuk Tara yang keras kepala.
Siang ini, Tara masih di kantor ketika Tyas beri kabar kalau dia baru selesai dari rumah mentari bersama Aileen dan Clarie. Mengajak Tara untuk makan siang bersama di luar, Clarie juga mengatakan di telepon ingin makan ayam goreng resto siap saji.
Tara keluar gedung dan lihat mobil Tyas sudah menunggu, pengasuh anak-anak pun di bawa.
"Biar aku yang menyetir." Kata Tara membuka pintu bagian sisi kemudi.
Tyas keluar, "Gengsi kalau cewek yang menyetir?"
Tara mendelik, "Ya, selain aku merasa lebih tenang jika menyetir sendiri dari pada kamu yang menyetir." Tyas tidak menolak, dia berpindah ke kursi penumpang sementara Erin di belakang bersama dua anak cantik yang aman di kursi khusus.
Mereka mengobrol soal kegiatan di rumah Mentari, Cla dan Ai juga ikut bercerita dengan aksen bahasa yang belum jelas namun itu membuat Tyas dan Tara tertawa, sampai panggilan video masuk ke ponsel Tyas, ternyata dari suaminya. Panggilan mereka berlangsung selama perjalanan.
Mereka sampai di resto siap saji yang tak jauh dari kantor Rashid.
Tara mengendong Clarie sementara Aileen dengan Tyas, mereka langsung cari tempat nyaman. Pastikan anak-anak sudah duduk di tempat masing-masing barulah Tyas yang beranjak untuk pesan makanan.
Tyas kembali dengan makanan yang membuat anak-anak senang, "tunggu sebentar ya." Kata Tyas, lalu minta tolong Erin bantu anak-anak cuci tangan lebih dulu.
"Ini banyak sekali, anak-anak nggak akan menghabiskannya, begitu pun dengan kita."
"Bukan hanya kita, Ka. Ada yang akan bergabung makanya aku pesan lebih."
Apa Tara melewatkan sesuatu? Pikirnya bingung.
"Siapa?" tanya Tara menatap serius adiknya itu.
Tyas tersenyum lebar, lalu dia menunjuk pintu masuk resto dan seseorang muncul di sana, Tara pun melihatnya.
"Ini bukan akal-akalan kamu saja, kan?"
Tyas tersenyum lebar sampai gigi putih dan rapi terlihat, "akal-akalan bagaimana?"
"Aku bisa melihat rencana di mata kamu itu." Tara bukan tak sadar di pertemuan terakhir dengan wanita ini pun, Tyas terlihat berusaha mengatur kedekatan mereka.
"Nggak ada yang salah dengan mencoba." Tyas mengedikan bahu, tangannya melambai memanggil wanita itu dengan semangat menyalah.
"Tyas, My goodness! Apa bedanya kamu dengan Mami."
"Beda dong, lebih punya siasat jitu."
"Aku pastikan itu nggak akan berhasil, Tyas."
"Hush! Nggak boleh langkahi takdir Sang Pencipta."
"Kalau saja kamu bukan adikku!" Sungut Tara kesal bukan main. Bisa-bisanya Tyas rencanakan hal ini! Pikir Tara.
"Karena aku adik Ka Tara, makanya aku manfaatkan itu. Aku yakin Ka Tara nggak akan menelanku karena rencana ini." Jawabnya menyebalkan.
Tara tidak lagi bisa berdebat ketika wanita yang tadi di lihatnya sudah sampai di meja mereka dan Tara hanya menghela napas, tidak percaya dengan niat terselubung ajakan makan siang adiknya itu.
Beruntung Tara bukan lelaki yang terang-terangan tak ramah pada orang yang membuatnya tak nyaman, apa pun rencana adiknya jika memang Tara tidak menginginkan itu terjadi maka dia akan buat Tyas menyesal telah mengusahakannya.
Yulia, teman adiknya itu memang belum menikah. Bagi Tara wajar saja usianya masih muda, tapi, sebagian pandangan masyarakat di negara ini jika wanita di usia tiga puluhan belum menikah itu seakan sebuah pertanyaan yang akan di besar-besarkan.
Teman adiknya itu, sejauh Tara mengenal adalah orang baik dan sopan. memang cantik dan mandiri. Hanya baru sebatas itu penilaian Tara tapi bukan berarti mudah membuat Tara jatuh hati.
"Saya kira Tyas mengajak makan siangnya nggak sama Ka Tara." ujar wanita berkerudung salem itu dengan formal.
"Tyas juga nggak bilang ke saya kalau ada kamu." Balas Tara masih awasi Tyas yang pura-pura berperan dengan fokus terbagi pada Ai dan Cla. Sengaja agar Tara berbincang dengan Yulia.
"Ehem! Bisa kebetulan gitu mikirnya sama" Tyas berdehem, Tara menggeleng melihat kode-kode keras dari adik satu-satunya itu.
"Ya nanti juga akan ketemu di sini, nggak bilang juga" lanjut Tyas lagi membela diri dan tanpa peduli tatapan tajam Tara. Satu-satunya perempuan yang kebal dengan tatapan intimidasi Tara maupun Papi adalah Tyas, tentu setelah Mami.
"Kalau tahu ada Ka Tara pasti saya bawakan pesanan waktu itu."
Kali ini mata Tyas menyipit, merasa angin segar baru saja menerpa wajahnya.
"Pesanan? Wow! Kakak pesan apa dari lo?" tanyanya penuh harap.
Tara bisa membaca tatapan seringai dan puas adiknya itu, seakan baru memenangkan lotre.
"Putu Mayang—"
"Uhuk!Uhuk!" Tyas tersendak minuman soda yang sedang di minum begitu dengar ucapan Yulia.
"Hati-hati dong, Tyas!" tegur Tara ikut bantu menepuk-nepuk punggung-nya.
"Lagian, kenapa Putu Mayang ih?" ujarnya begitu normal kembali.
"Lho apa yang salah dengan kue itu, kakak suka, kue yang enak, jadi bilang ke Yulia kalau datang ke rumah kita lagi, minta di bawakan."
"Ya, tetap saja!"
Yulia tersenyum manis, "Kue itu punya arti penting untuk Tyas, Ka Tara."
"Oh iya, kamu benar saya baru ingat perbincangan kalian tempo hari."
Tara mengangguk-angguk lalu mereka lanjutkan makan sambil kembali mengobrol, meski di dominan obrolan Tyas dan Yulia. Segala hal mereka bahas, terutama kabar terbaru teman-temannya.
Drrrttt.... drttt...
Ponsel Tara bergetar, nama Rian tertera di layar. Rian pasti tanya keberadaan Tara saat ini.
"Artara, di mana?"
Pertanyaan Rian bersamaan ide yang melintas di kepalanya. Tara temukan cara balas adiknya.
***
Makan siang selesai, mereka bersiap untuk keluar resto. Yulia sendiri sudah pergi karena harus kembali ke toko. Clarie di gendongannya tidak berhenti berceloteh betapa senangnya dia bisa makan siang dengan sang Papa karena selama ini sangat sibuk, jika bukan akhir pekan jarang makan siang bersama.
Tara menyeringai sangat puas begitu lihat Rian keluar mobil, melangkah ke arah mereka.
Sementara Tyas mengerutkan kening. "Kaka niat balas dendam?" tegurnya galak.
"Apa? memelihara dendam itu nggak baik."
"Itu ka Rian kenapa ada di sini?"
"Aku mau pergi sama dia, ada kerjaan. So, lebih efisien kalau dia jemput ke sini." Jawab Tara dengan santai, Tyas tidak mudah percaya begitu saja.
"Lagi pula kalian sudah lama nggak bertemu, you said hey sebentar nggak akan buat Dhito cemburu, dia harus tahu kalau dihatimu hanya akan ada suamimu saja. buktinya, kamu kebal akan pesonanya lebih pilih Dhito padahal Rian Hermawan adalah bujangan paling di inginkan perempuan lajang." Lanjut Tara.
"Astaga! Sebalnya punya kakak seperti dirimu, awas ya aku mau mengadu sama suamiku!" Tyas berdecak, membuat tawa Tara pecah.
"Kamu nggak akan lakukan itu, kakak tahu kamu lebih baik nggak cerita dari pada hadapi cemburunya suami kamu."
"Tuhan! Nggak adakah kakak lebih baik dari lelaki ini untukku." Keluh Tyas berlebihan, membuat Tara semakin senang mengerjai adiknya.
Hingga Rian yang berhenti di depan mereka menatap dengan bingung sejenak, sebelum tersenyum lebar dan menyapa Tyas.
"Hai Tyas, long time no see you. Apa kabar?"
Tyas mendelik tajam pada Tara sebelum balas sapaan Rian. Hal-hal kecil seperti ini mampu buat Tara sedikit singkirkan rasa sakit, masih bisa merasakan jadi manusia normal meski dengan luka yang tertinggal di dalam dirinya. Ya, luka yang tidak mudah di mengerti orang lain.
[to be continued]
Aku sih gemesh banget setiap ada part Tara-Tyas, bikin iri.
Tinggalkan Komentar ya dear :)