8 | Rindu Tanpa Temu

2411 Words
Kita memang belum pernah bertemu, tetapi aku telah dapat merindukanmu. . . "Siapa yang mengizinkan dia masuk ke kamarku?" Tania marah. Jelas, bagaimana tidak? Sepulang dari lokasi syuting, Tania sempatkan mampir ke rumah pribadinya sebelum pulang ke kediaman orang tua. Begitu tiba di sini, Tania langsung memasuki kamar dan ... betapa terkejutnya melihat Mars Tatasurya Semesta tengah rebah di atas ranjang Tania bersama putrinya. Oh, Cely tampak terlelap damai. Tak pedulikan itu, Tania langsung menerjang Mars dan menarik tangannya untuk dia bawa keluar. Ke hadapan mama dan papa. Sekali lagi Tania tanyakan, "Siapa yang mengizinkannya masuk ke kamarku? Mama? Papa?" Bergantian dia tatap kedua orang tuanya. "Mars ingin bertemu putrinya, tapi Cely lagi tidur. Jadi—" "Oke. Mama yang izinkan?" pangkas Tania, agak geram. "Abang yang maksa masuk, Tan." What? Abang?! Tania mendelik. Rasanya baru kemarin dia memperingati laki-laki ini agar tidak macam-macam dan cukup betindak sebagai paman, alih-alih ayah putrinya. Namun, apa ini? Berani sekali menginjak garis yang Tania bentangkan sebagai batas larangan. Fine. Tania manggut-manggut. Tak lagi membalas sorot mata Mars, Tania memilih bicara kepada mama dan papa yang terdiam. "Kalau begitu, aku pulang. Di sini aku nggak nyaman." Detik hendak berbalik, lengannya dicekal Mars. Kemudian mama mendekat seraya bilang, "Kamu tetap di sini, biar suamimu yang—" "Dia bukan suami aku!" sergah Tania, bablas emosi. Why? Kenapa orang tuanya malah terkesan pro kepada Mars? Oh, ralat. Mamanya. Sebab, papa diam saja. Tidak tahukah bahwa Tania habis-habisan terluka karena lelaki ini? Perlukah Tania tunjukkan bekas luka di hatinya? Rasa sakitnya. "Mars, sebaiknya kamu pergi." Papa yang bilang. Ya, harusnya memang begitu. Harusnya bahkan jejak kaki Mars tidak ada di sini. Di rumah ini. Harusnya. Meski empat tahun sudah berlalu, tetapi kepulangan Tania itu baru. Sambutannya kenapa malah keakraban mereka? Kan, Tania sudah jujur tentang rumah tangganya yang hancur sebab Mars mencintai Kak Zinia. Walau hingga kini nyatanya Mars masih sendiri selepas Tania tinggal pergi, tetapi tetap saja tak seharusnya diterima oleh mama. Bukan begitu? Apalagi sampai diizinkan masuk ke dalam ruang pribadi Tania. Kamar, lho, ini. Cekalan Mars di pergelangan tangan Tania terlepas, Tania yang menarik paksa lengannya. Hari itu, Tania agak lepas kendali. Gegaslah dia masuk kamar dan menutup rapat pintunya, mengunci. Pokoknya, Tania mau pulang ke rumah sendiri. Cukup sudah menginap di rumah orang tua jikalau begini. "Mami ...." Tania yang sedang berkemas langsung menuju sang putri. "Udah bangun? Mau lanjut bobok? Biar Mami mpok-mpok." Seraya ditepuk-tepuk b****g putrinya. Cely menguap, tetapi menolak terpejam lagi. "Atau lapar?" Lanjut Tania bertanya. Mata mereka asyik bercengkerama. Tania usap-usap kepala putrinya, menyisir rambut itu dengan jemari. Cely geleng-geleng kecil, jemari mungilnya menyentuh sisi wajah sang mami. Tania ulas senyuman, merasakan tangan Cely di pipi. "Mami habis malah-malah, ya?" katanya tiba-tiba. Eh? "Kedengaran sampai kamarkah suara Mami?" Cely mengangguk. "Maaf." Sambil Tania dekap. Tadi memang agak lepas emosinya. Tak terkendali. Habisnya, kesal maksimal mendapati lelaki sialan itu di dalam kamar ini. Rebah di ranjangnya, dengan seenak jidat melingkarkan lengan di tubuh mungil putrinya. "Apa Cely kebangun gara-gara suara Mami?" Cely menggeleng lagi. "Terus?" Tania tangkup wajah cantik jiplakan Mars ini. Berdecak dalam hati, gara-gara kemiripan tak terbantah mereka, dulu Tania sempat kena baby blues, ditambah-tambah kondisi mentalnya yang belum stabil. "Om Mals macuk cini." Tuh, kan! "Om Mals cium-cium pipi Cely." Astaga .... Tania langsung usap-usap pipi itu. Ganti, dia yang cium-cium sekarang. Berharap menghilangkan bekas ciuman lelaki kurang ajar tersebut. Cely terpejam menikmati. "Mami, geli ...." Sambil haha-hihi. Tania dekap lagi anaknya. Dia bertanya, "Kenapa nggak ditolak ciuman dari omnya?" Jujur, agak kesal. "Cely macih bobok, telus kena cium dan kebangun." "Habis itu?" "Cely bobok lagi. Eh, cuma melem ayam-ayaman, cih. Lagi pula Om Mals cepeltinya olang baik, Mi. Om minta maaf kalena udah bangunin Cely." "Cely nggak takut sama om itu? Kalian, kan, baru kenal. Jangan biarkan sembarang orang bobok di sisi Cely. Mami udah pernah wanti-wanti, kan?" "Maaf. Tapi, kan, ini di lumah nenek. Cely pikil Om Mals udah izin cama nenek. Telus kalau diizinin, kan, belalti om-om baik. Dan lagi, Mami cendili yang kenalin Cely ke Om Mals. Calah, ya, Mami?" "Salah," tukas Tania. "Kamu ini selalu nggak ada takutnya sama orang baru. Kan, Mami khawatir. Walau betul Mami yang ngenalin kalian." Sambil dipeluk lagi. "Masa dibiarkan begitu aja orang baru kenal cium-cium pipi Cely?" "Ya cudah, becok Cely omel-omel Om Malsnya. Nggak boleh kayak gitu lagi." Tidak ada besok. Tania tidak mau kecolongan part dua. Lagi pula, kok, Mars nekat sekali? Apa maksud menghampiri Cely seterang-terangan tadi sampai masuk ke dalam ruang pribadi? Meski begitu, Tania lebih kesal kepada siapa pun yang memperbolehkan hal itu terjadi. Seolah ingin mendekatkan Mars kepada putri Tania ini. "Tapi, Mami ...." "Hm?" "Om Mals itu macih kelabat kita, kan?" *** Beres syuting hari kedua, kebetulan masih sore dan Mars tergerak untuk mampir di rumah orang tua Tania. Mars bahkan meminta manajernya untuk pulang dengan taksi, sedangkan dia nyetir mobil sendiri. Kedekatan Mars terhadap keluarga ini sempat dicurigai hingga tersiar di berita televisi. Namun, Mars menanggapi dengan santai bahwa dia dulunya adalah teman dari putri sulung mereka. Mars jelaskan sebagaimana adanya dahulu, bahkan ada fotonya dengan kawan-kawan seangkatan di kampus. Mars sebut Zinia merupakan salah satu sahabatnya. Dulu. Maka dari itu, Mars lepas dari jerat berita miring tentang hubungannya dengan keluarga Tania. Tiba di kediaman tersebut, Mars mengucap salam dan masuk. Seperti biasa, papa Tania yang semula duduk di ruang tengah sambil nonton TV, begitu Mars bertandang beliau langsung beranjak ke kamar. Jadi, Mars cuma disambut oleh mama Tania. Tak apa. Sudah biasa. "Tania ... ada, Ma?" Karena jasanya di mata mama mertua cukup ternilai, Mars bahkan masih diberi keleluasaan memanggil 'mama'. Intinya, hanya mama Tania yang welcome kepada Mars. Termasuk Zinia. Namun, sejak satu dan lain hal terkuak, Mars jaga jarak. "Belum pulang, Nak. Mau kopi? Mama buatkan." "Oh, nggak. Jangan repot-repot, Ma. Tapi ... Cely ada?" Agak hati-hati Mars bicara, berdebar-debar dadanya. Tuhan .... Ini langkah pertama yang akan Mars ambil. Ya, ambil hati anaknya dulu, baru ibunya. Kalau-kalau ibunya dulu begitu sulit dia jangkau. Pikir Mars begitu. "Ada, ada. Tapi lagi tidur. Cuma udah jam segini. Bentar, Mama bangunin." "Ehm ... Ma!" sergahnya. Mama menoleh. "Boleh Mars aja yang bangunin?" Mengalir begitu lancar ucapan Mars yang menahan langkah sang mama mertua. Masih mertuanya, bukan? Masih. Harus masih. Mars memaksa. Tampak menimbang-nimbang, mama agak kurang berkenan, tetapi setelah Mars memohon, akhirnya dipersilakan. Betapa plongnya hati Mars, padahal cuma gara-gara hal itu. Oh, tidak. Ini bukan sekadar cuma. Namun, merupakan terobosan yang paling jauh dan Mars mendapatkannya. Izin memasuki kamar Tania. Kamar di mana dahulu penuh dengan kenangan mereka. Sesungguhnya, baru sekarang lagi Mars menginjakkan kaki di dalam sana. Setelah empat tahun berlalu dari hari itu. Gemuruh di d**a Mars menjadi saksi betapa dia tidak lupa akan segala kisahnya di sini. Membuka pintu kamar Tania, dulu kalau ada Tania di dalamnya, wanita itu akan menyambut dengan senyum. Seringnya malu-malu, mulanya gugup dan kikuk, hingga ... perih sekali hati Mars mengingat masa itu. Masa kebodohannya. Mars tutup pintu tersebut, pelan saja. Dia dekati ranjang yang teronggok anak kecil di atasnya. Ya Salam .... Itu putrinya. Darah dagingnya. Mars tepat berdiri di sisi ranjang. Lagi, pelan-pelan dia duduk di tepinya, dengan sama sekali tidak mengalihkan tatapan dari wajah cantik Cely. Tampak begitu damai, embusan napasnya teratur, Mars pandang-pandangi. Bolehkah dia sentuh? Namun, sebentar saja. Mars ingin seperti ini dulu lebih lama. Memindai raut anaknya. Mirip siapa? Kok, Mars berasa mendapati sosoknya versi wanita di diri putri Tania? Ah, iya .... Saat hamil, Tania pasti sedang mati-matian membencinya. Darah Mars berdesir hangat. Tanpa sadar tangannya lalu menjulur, ujung telunjuk dia jatuhkan di pelipis Cely. Sangat-sangat pelan seolah takut Cely dapat merasakan. Posisi tidur Cely memeluk guling menghadap Mars duduk. Cantik. Cantiknya Papi. Mars terkekeh dalam hati. Seolah hubungannya dengan ibu sang anak baik-baik saja. Ini bahkan baru pertemuan kedua di antara Cely dan dirinya setelah dari lahir tak pernah berjumpa. Pedih hati Mars. Salahnya. Dia bersalah. "Maaf ...." Lirih suara Mars membisik. Pun, dia jatuhkan kecup di pelipis itu. Lagi, kecup di pipi. Lagi, di kepalanya. Dan ... lagi, inginnya begitu, tetapi mata Cely terbuka. Oh, putrinya terjaga. Mars menegang di tempat, sesaat saja. Detik di sebelum Cely membeo, "Om Mals?" Dengan suara khas bangun tidurnya. Bocah itu pun menguap. Mars ukir senyum tanpa dirinya kehendaki, meski meringis dalam hati sebab sebutan om itu. "Mami mana?" tanya si kecil. "Maaf Pa—eh, Om bangunin Cely. Maaf, ya? Cely keganggu boboknya." Meski tujuan Mars di dalam sini adalah untuk membangunkan sang anak. Hampir dia sebut dirinya 'papi'. "Mami?" Cely bertanya, lugu betul rautnya. Tidakkah umumnya anak seusia Cely akan terbangun dari tidur sambil menangis kalau-kalau tak ditemukan sosok yang dikenalnya dengan baik? Minimal berteriak memanggil-manggil yang dikenal. Nenek, misal? Mars punya ponakan dan saat mereka seusia Cely terbiasa bangun dengan penuh drama. Namun, Cely tidak. Apa karena sudah terbiasa demikian sewaktu di negeri nun jauh darinya? "Mami belum pulang. Mm ... Om mau lihat Cely. Kalau nggak salah, kan, kita belum kenalan lebih jauh." Sepertinya Cely sosok anak yang bisa diajak ngobrol. Cely mengerjap. "Om ciapanya mami?" E-eh? Bergemuruh jantung Mars. Tiba-tiba. Apa ini? Macam mana Cely bisa punya pemikiran sejauh pertanyaan barusan? "Bukan cuma teman, kan?" Lagi. Makin deg-deg-ser. Mars hampir bilang suami dan Om adalah papi Cely andai Cely tak mendahului dengan, "Kelabat, ya?" Tapi kenapa anak sekecil itu mempertanyakan statusnya di sini? Kaku, Mars senyum. Ingin bilang bukan. Ingin bilang lebih tepatnya Om adalah ... "Kalau bukan?" Itu yang akhirnya Mars ucapkan. Cely menyahut, "Belalti tidak boleh cium-cium Cely. Becok-becok jangan begitu lagi, ya? Mami tidak akan cuka, kecuali kalau kelabat." Mengobrol dengan Cely, Mars agak merasa ini mimpi. Cely lalu hendak berguling, tetapi Mars menahan dan dirinya ikut rebahan. "Betul. Om kerabatnya Cely, kerabat dekat sekali. Kalau begini, boleh dong kita bobokan dulu di sini? Om kangen Cely." Cely batal beranjak. Di negeri sebelumnya, Cely tidak punya saudara. Begitu di sini dan ternyata dia punya banyak kerabat, Cely welcome atasnya. Senang-senang saja. Semakin terasa banyak orang yang menyayanginya. "Tapi, kok, bica kangen? Memang kalau belum pelnah ketemu juga bica melaca kangen, ya? Coalnya Cely nggak kangen cama Om. Cama Tante Nia juga nggak kangen. Cama nenek-kakek nggak juga. Tapi Cely pengin ketemu, penacalan cama meleka yang biacanya cuma ketemu di hape, ini coal kakek-nenek." Ceriwis. Hati Mars kian menghangat. "Karena Cely ternyata mirip anaknya Om." "Oh, ya?" Cely berbinar. "Mau lihat fotonya!" Mars berbohong, masih takut dengan reaksi Tania kelak kalau dia bilang bahwa dirinya adalah papi Cely. Jadi, pelan-pelan .... "Nanti Om kasih lihat. Sekarang boleh, ya, Om bobok gini sama Cely? Peluk sebentar. Cely juga bobok lagi aja, Om kangen banget sama anak Om." Kasihan. Cely merasa kasihan tanpa Mars tahu. Anak kecil itu lalu manut dan memejamkan mata saat dilihat mata Mars tertutup. Sebetulnya, Cely tahu bagaimana rasanya rindu tanpa pernah bertemu dahulu. Cely punya jenis kerinduan yang sama. Namun, bedanya di balik rindu Cely, dia tidak mengambil pusing hal itu. Mungkin namanya bukan rindu, mungkin. Cely tidak begitu memahami perasaannya sendiri. Dan lagi, Cely merupakan sosok anak yang mudah akrab bila itu sudah diperkenalkan oleh mami. Karena Cely percaya, orang-orang yang mami kenalkan padanya adalah orang baik. Kecuali kalau orang yang Cely temui dan belum diperkenalkan oleh mami, Cely akan otomatis jaga jarak, akan pendiam. Setidaknya, untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia merasa tak akan kenapa-napa jika berinteraksi dengan sosok itu. Contoh, Kak Rio—anak Tante Zinia. Tidak dikenalkan oleh mami, tetapi Cely bisa akrab hingga minta mandi bareng buaya-buayaan waktu itu. Meski, tak dilaksana, sih. Sedangkan, Om Mars ini dikenalkan oleh mami. Sudah pasti orang baik. Jika tidak, ya, paling memang bagian dari kerabat. Cely tahu apa makna kerabat, mami pernah mengajarinya soal itu, saat-saat sebelum pindahan ke negera tanpa hujan salju ini. Mami bilang, di Indo nanti Cely akan punya banyak teman. Tak hanya kakek dan nenek, Cely akan bertemu banyak orang lainnya karena pindahan tersebut dengan niat menetap lama. Kerabat-kerabat Cely di sana. Tidak disebut nama Om Mars memang, tetapi karena dikenalkan .... "Keluar!" Oh, suara mami. Pelan memang. Menarik Om Mars tanpa menoleh kepada Cely yang terjaga, hingga mami keluar dengan sempurna beserta Om Mars dicengkeraman tangannya. Mami marah. Terdengar hingga ke sini. Cely tidak mengerti. Sampai saat suara pintu dibuka, Cely memilih tidur lagi. Ralat, pura-pura. Cely diam hingga dirasa tak tahan. Dia memanggil sang mami. Lepas itu, di luar .... Mars terpaksa harus hengkang. Namun, untuk sejenak dia tatap pintu kamar Tania. Kiranya mereka sedang apa di dalam sana? Selepas Tania heboh mengusirnya. Tadi ... Cely tidak benar-benar tidur lagi, kan? Habis ini, Mars yakin Tania tak akan tinggal diam. Mars merasakan aura kemarahannya lebih daripada saat bicara empat mata. Berpikir. Ayo berpikir! Bagaimana cara agar Mars bisa meluluhkan hati Tania, setidaknya agar Mars dapat mengenalkan diri sebagai papi dan bukan om kepada Cely. Itu saja dulu. Lantas, hari ini ... apa Mars terlalu gegabah? Meski respons Cely baik dan di luar ekspektasi buruknya, tetapi tampaknya Tania tidak akan berkenan. Salah Mars masuk ke kamar mereka. Padahal tadi Mars pikir, itulah kesempatan yang harus diambilnya. Kesempatan untuk melampaui batas Tania, Mars bisa ambil langkah terjauh melalui Cely. Namun, nyatanya Mars tidak berani. Bagaimana kalau malah semakin tidak terjangkau? Tania sungguh-sungguh tidak menginginkannya dekat dengan sang putri. Lihatlah .... Esok hari Tania syuting, dia membawa Cely. Pun, dengan penjagaan ketat di sekitar tendanya. Seolah takut Mars berulah lagi kalau-kalau Cely tak terjangkau mata Tania. "Aku ayahnya." "Sebatas itu," balas Tania. Mereka bisik-bisik. Sedang ambil scene nyaris ciuman di sisi pintu rumah yang nanti disaksikan oleh tokoh Zeedan—sahabat yang menyukai Marlena di serial film Pengantin Best Seller. "Dia membutuhkanku." "Tiga tahun lebih tanpamu, Cely baik-baik saja." "Tapi pasti dia pengin—" "Cut!" Obrolan mendesis antara Mars dan Tania berhenti, kameramen telah berhasil mendapatkan scene yang dimaksud, sutradara pun puas dengan itu. Tania gegas menjauh. Sedangkan Mars, matanya awas kepada wanita itu. Tak lama, dia melirik putrinya. Cely anteng nonton entah apa di ponsel. Gemuruh di d**a Mars sejak melihat mereka rasanya tak pernah padam. [Kita harus bicara. Kali ini lebih lama dan bukan soal yang pernah dibahas, ada banyak yang pengin Abang sampaikan. Kiranya kapan kamu ada waktu?] Mars melihat Tania tengah menggenggam ponsel dan ... Tania menatapnya. Dari tatapan itu seolah bertanya; dari mana kamu mendapatkan nomor ponselku? Sebelum Tania tampak mulai mengetik, lalu Mars mendapati pesan balasan. Tania: [Bicarakan nanti di pengadilan.] Rahang Mars mengetat, diliriknya Tania dan terlihat asyik dengan putri mereka. Tahu? Tania yang Mars kenal dulu tidak begitu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD