2 | Sebutan di Malam Pertama

2231 Words
Aku yang keliru atau kamu yang terlalu lihai? Sehingga bangkai sebusuk itu apik tak terhidu. . . "Boleh aku tanya satu hal?" Hari itu, sebelum Tania putuskan untuk mengemas barang-barangnya dan pulang ke rumah orang tua. Selepas semalam tidur pun pisah ranjang dengan suami yang telah mengajaknya bercerai. Mars urung melangkah, untuk sejenak dia berbalik dan kembali menatap Tania. "Ya, silakan." Tania membasahi bibir. Merasakan denyut menyakitkan di jantungnya kala bertanya, "Apa ... apa setelah ini, setelah kita resmi berpisah, Abang akan menikahi Kak Zinia?" Hening tercipta. Mereka bertemu tatap. Hingga Mars menjawab, "Entahlah." Tania menahan napas. Entahlah? Mars melihat jam tangan, sudah mepet, dia pun lantas berpamitan. Namun, kembali tertahan langkahnya oleh Tania yang berseru, "Hari ini aku akan pulang ke rumah orang tua!" Tania menatap punggung tegap itu. "Ya, hati-hati di jalan." Mars kembali melaju, dengan tanpa menoleh sama sekali. Betapa mencelusnya hati Tania kala itu. Serius demikian? "Bukannya Abang harus memulangkanku dengan benar terlebih dahulu?" gumam Tania, melirih di sepeninggal suaminya. Tak ada bahasan soal itu. Ralat, bukan suami. Kini sudah jadi mantan. Tania menelan kelat saliva, menunduk, menatap cincin di jemari manis yang pernah Mars pasangkan. Cincin pernikahan. Saat itu air mata Tania mendobrak pertahanannya. Jatuh tanpa permisi. Tania terisak. Dia ingat-ingat lagi perihal kenangan manisnya dengan Mars, apakah betul-betul hanya kamuflase belaka? Selain saat malam pertama, apa semua perlakuan baik Mars padanya juga hanya pura-pura? Atau jika tidak, mungkinkah selama ini Mars justru memandangnya sebagai Kak Zinia? Napas Tania kian tercekat saja. Sesak di d**a. Jadi, sejak hari di mana Tania merasa 'lebih dekat' dengan Mars, sejak saat itu dirinya di mata Mars adalah pantulan sang kakak? Sontak Tania menutup wajah dan menangis di sana. Sakit. Rasanya sangat sakit. Pantaslah nama yang keluar, yang didesahkan pada akhir penyatuan erotis malam pertama mereka, yang Mars sebut adalah 'Nia'. Panggilan kecil gerangan kepada Kak Zinia. Pantas saja .... Pantas di saat sedang bertiga–Tania, Mars, dan Kak Zinia—Mars tidak pernah melibatkan diri dalam obrolan mau seseru apa pun itu. Mars hanya bicara dan menimpali seperlunya. Awalnya Tania pikir begitulah cara Mars menghargainya sebagai istri, dengan menjaga batasan kepada ipar. Namun, dipikir-pikir lagi ... Tania bahkan pernah sesekali memergoki kebersamaan mereka yang terasa akrab dan dengan lugunya Tania anggap itu biasa. Oh, soal sebutan 'Nia', nyatanya tak pernah Tania dengar adanya sebutan 'Nia' dari Mars untuk Kak Zinia, bahkan sedari awal dirinya tahu soal persahabatan mereka. Tidak pernah Tania dengar sebutan itu, makanya dia menafikan hal tersebut dari kejanggalan yang ada, pada saat Mars memanggilnya 'Tan' dan bukan 'Nia'. Sebelum menikah Mars menyebutnya dengan panggilan lengkap; Tania. Sama sekali tak menaruh curiga. Tania yang kurang sensitif atau Mars yang terlalu apik membuat segalanya jadi terasa jauh dari kata janggal? Atau ... atau bagaimana? Kepala Tania penuh dengan asumsi. Namun, satu hal yang pasti, apa yang Tania dengar di studio tempo hari, terkait pertikaian Mars dan Kak Zinia, itulah kenyataannya. Bahwa Mars tidak pernah mencintai Tania, bahwa Mars menikahinya karena Kak Zinia, bahwa Mars ... masih mencintai kakak Tania sehingga hendak menjandakan istrinya agar dapat memperistri Kak Zinia yang otewe bercerai juga. Astaga. Napas Tania terhela pendek-pendek, bayangan itu menyakitinya. Meski demikian, Tania tak lantas membenci sang kakak. Justru karenanya, Kak Zinia sampai berkorban dengan menerima perjodohan hanya agar Mars ... menikahi Tania? Sungguh, Tania tidak membenci. Dia hanya menyayangkan. Kenapa Kak Zinia melakukan itu? Karena kerusakannya terasa sangat fatal sekarang sehingga Tania ... rasanya tak ingin melihat wajah mereka. Kak Zinia dan Mars. Terbayang dirinya seakan menjadi lelucon konyol untuk perbincangan mereka di masa depan, mungkin dibahas sambil berlagak di atas ranjang. Sialan. Tania menjerit. Sendiri di sana. Di apartemen yang selama tiga bulan ini menjadi tempat tinggalnya dengan suami. Suami, huh? Dan kalau diingat lagi, alasan pindah ke sini .... "Kamu butuh privasi buat mengulang malam percintaan kita kemarin, kan?" Pipi Tania sempat bersemu, dia tersipu malu-malu, waktu itu. "Gimana ... suka? Kita pindah ke sini aja mulai besok, Tan." Tan. Sebutan kecil yang agak menyentil kala Tania dengar, padahal semalam disebut 'Nia' waktu dimesrai. Namun, bodohnya Tania memilih mengesampingkan itu. Terlebih malam-malam setelahnya, lagi-lagi nama 'Nia' yang disebut. Tania menyimpulkan, itu panggilan sayang sewaktu bermesraan dengannya. Sewaktu wajah Mars tenggelam di ceruk lehernya, meninggalkan jejak di sana, juga menyebut nama Nia dengan begitu syahdu. Argh! Di mana kini d**a Tania kembang-kempis penuh emosi, deru napasnya berantakan serupa perasaan cintanya untuk suami. Sekali lagi ... suami, hm? Tania melepas cincinnya, merasakan rambatan nyeri di hati. Yang lalu dia berdiri dengan sisa-sisa kewarasan, setidaknya Tania tak sampai mengacau di apartemen yang akan dirinya tinggalkan ini. Tania pupus air mata, dia sudahi sedu sedannya. Esok ... tak akan Tania biarkan air matanya jatuh untuk pria itu lagi. Tidak akan. Sebab, setelah ini Tania rasa dia akan membekukan hatinya sehingga kebas dan nama Mars tak akan membuat dadanya berdebar, apalagi bergetar. Cincin pernikahan itu Tania letakkan di meja rias sebelum berikutnya dia berkemas. Oh, ya, ada satu hal yang harus Tania sampaikan kepada mantan suaminya. Tak sempat diutarakan tadi. Tania kirim lewat pesan. [Tolong rahasiakan dulu soal hubungan kita saat ini dari orang tuaku. Mereka masih bersedih atas kabar rumah tangga Kak Zinia.] [Dan aku akan bilang bahwa Abang sedang pergi ke luar kota sehingga untuk beberapa waktu aku tinggal di rumah mereka.] [Mohon kerja samanya.] Terkirim. Oh, langsung dibaca. Bahkan dibalas. Mars: [Oke. Atur aja.] Tania menggigit bibir semata menahan rasa sesak di d**a. Tanpa terasa ... rupanya kepedihan itu sudah jauh berlalu. Tahun demi tahun. "Mami ... help me, please!" "Mami!" Suara khas anak kecil yang sangat Tania kenali, gegas dia hampiri. *** Big News! Penyanyi yang kini kerap main film, Mars T. S., mengaku SUDAH MENIKAH! Mars meletakkan ponsel yang Angkasa—saudara kembarnya—sodorkan itu ke meja. Ya, dia pulang ke rumah orang tua. Yang mana di sini ada Angkasa bersama keluarga kecilnya. Sedangkan Mars? Mestinya dia tinggal di apartemen. Sebuah tempat yang sejak empat tahun lalu terasa tak lagi nyaman dia tinggali. Dan kini .... "Gara-gara itu, rumah kita diserbu wartawan. Liat!" Mars menoleh ke arah jendela yang Angkasa tunjuk dan memang ramai di sana oleh para pemburu berita. "Mars, kenapa lo malah bikin ombak di tengah air tenang, sih? Lo sekarang jadi artis problematik tau, gak?" gerutu Angkasa, sebal kepada adik kembarnya. Yang jadi masalah, pernikahan mereka bahkan sudah berakhir. Pernikahan Mars dan istrinya yang sesama artis itu. Pernikahan yang dilaksana secara tertutup dari publik, kini apa maksud Mars gadang-gadangkan dirinya sudah menikah? "Ya udahlah, Ca. Biarin aja. Nanti juga surut sendiri." "Enteng lo ngomong gitu, Mars. Lo enak bisa ngumpet seharian di dalem. Gue? Istri dan anak-anak gue? Kegiatan kami nggak cuma di rumah aja, tau!" Angkasa yang panggilan kecilnya adalah Aca, ngomel-ngomel semakin kesal saja kepada Mars di sini. "Udah, udah. Mungkin untuk sementara kita disuruh rehat dulu dari kegiatan di luar kali, Ca. Nikmati waktu intimate di rumah sama keluarga," ucap papa, menengahi. Mars pun memilih berlalu ke lantai dua di mana kamarnya berada, melarikan diri dari gerutuan Angkasa. Maksud hati bilang dirinya sudah menikah agar tak ada media yang menyebar berita hoax tentang hubungan asmaranya. Yang kalau-kalau main film, langsung terunggah berita cinlok antara Mars dengan pemeran utama wanita di filmnya. Sekali pun itu film nonromansa. Namun, mengapa dia merasa harus mencegah adanya berita hoax itu? Yang malah dengan memunculkan hoax baru, bahkan mungkin akan menyeret nama segelintir wanita yang pernah kedapatan dekat dengannya. Pasti, akan diduga-duga sebagai istri Mars. Oke, sekarang agensi menghubunginya dan Mars pasti akan disuruh jumpa pers. "Bilang kalo apa yang kamu umumkan itu spoiler film barumu, Mars." "Dan nanti saya harus bermain film lagi, Pak?" "Ya—" "Nggak. Saya, kan, mau rehat dulu. Itu sudah di-acc." "Kalau mau rehat, ya, kamu jangan bikin masalah! Sekarang mau gimana lagi itu? Kondisi kita jadi kacau gara-gara kamu. Anggap aja sebagai bentuk dari tanggung jawabmu, Mars. Pokoknya, lakukan sesuai apa yang saya bilang. Spoiler film baru!" Sial. Mars menyugar rambutnya ke belakang selepas dia letakkan ponsel di nakas. Di mana setelahnya, laci di nakas itu menarik perhatian Mars. So, dia buka. Melihat sebuah kado kecil persegi panjang berpita biru muda, sedangkan warna kotaknya adalah navy. Mars meraih benda itu, dibukanya perlahan, untuk kemudian dipandangi sebentar isinya. Lima buah test pack bergaris dua. *** "Mami, apa macih lama?" "Sebentar lagi sampai. Kenapa, Sayang?" "Cely mau pipis." "Kan, kamu pakai pampers, Nak." "No, no, Mami. I need the toilet, please." Dengan logat dan ciri khas suara anak-anak walau berbahasa Inggris. Cely Daneswara, putri Tania Maira Daneswara itu sepertinya sudah tak tahan ingin buang air kecil. Oh, padahal tanggung sedang dalam perjalanan. "Pak, tolong mampir ke pom bensin dulu, ya? Sebentar. Anak saya kebelet." "Oh, siap, Mbak." Pak sopir melihat-lihat wajah penumpangnya, terasa familier. Lalu dia menepikan mobil sesuai yang diminta penumpang. Di mana kini mbak-mbak itu sudah melenggang bersama anak kecil di gendongan. Pak sopir lantas berpikir keras. Merasa bahwa pernah melihat wajah itu, tetapi di mana? Sampai akhirnya, mereka telah tiba di lokasi. Kawasan elite Jakarta Pusat. Sopir taksi menurunkan penumpangnya di sana. Di depan sebuah kediaman dalam area perumahan. "Terima kasih, ya, Pak." "Ya, ya. Mari!" So, Tania menarik kopernya sambil menggendong sang anak yang terlelap. Syukurlah pintu gerbang langsung dibukakan oleh satpam dan koper Tania diambil alih, kemudian .... "Selamat datang kembali, Maira." "Tania," koreksinya, menanggapi sambutan hangat dari satu-satunya orang yang dia kabari tentang kepulangan ini. Namun, tidak Tania izinkan untuk menjemputnya di bandara. "Ya, ya. Tania ... selamat datang dan selamat menempuh hidup baru." "Apa, sih? Ini kehidupan lamaku," decak Tania. Kalau bukan karena kontrak empat tahun lalu, rasanya enggan Tania kembali menapaki Tanah Air ini, apalagi .... "Apa cuma saya yang merasa perempuan kecil ini semakin bertumbuh malah semakin terlihat lebih mirip lelaki itu daripada kamu, Tania?" Pak Marteen me-notice sosok kecil nan cantik yang berada di gendongan ibunya. Cely Daneswara. "Diamlah." Geram rasanya. "Dan tolong jangan katakan apa pun tentang itu di depan anakku, Sir," imbuh Tania, lirih. Langkahnya tiba di dalam rumah. Saat itu Cely terbangun. "Mami ...." "Ya, Sayang. Sudah sampai." Cely mengerjap, menatap sekeliling, lalu menangkap sesosok pria yang tersenyum kepadanya. "Sil Maltin?" "Yes, I am. Cely apa kabar?" *** Empat tahun waktu yang tidak sebentar, bukan? Dan itu adalah empat tahun yang penuh misteri. Di suatu waktu setelah berulah, Mars mendatangi agensi dengan topi dan masker, bergerak super hati-hati agar tidak diendus wartawan. Dirinya sedang jadi buronan bagi mereka si pemburu berita, perkara ungkapan Mars di media sosial bahwa dia sudah menikah. Tiba di sebuah ruangan, Mars disambut senyuman karier dari pewaris–pendiri agensi–yang menaunginya. Pak Marteen. Manajer Mars pun datang menyusul dengan tergopoh, mengejar langkah artisnya. "Nah, ini naskah filmnya. Bisa kamu lihat. Dan, ya, bisa jadi ini naskah terakhir sebelum kamu benar-benar rehat." Mars mencebik. "Film yang sebelumnya itu apa kalau begini?" "Salahmu yang bikin gara-gara," ujar Pak Marteen. Mars sungguh-sungguh mau cuti di dunia perfilman, dia ingin fokus membuat beberapa lagu baru selama masa rehatnya nanti. Namun, sudahlah! Dia raih bundel naskah itu. Dibacanya dengan saksama. "Pengantin Best Seller?" Alis Mars naik sebelah. Menyebut tiga kata bercetak tebal di naskah. "Ya, itu judulnya." Mars lanjut membaca. Baru setengahnya saja dia periksa, Mars sudah melempar bundel itu ke meja. "Maaf, Pak. Bukannya saya sudah pernah bilang, tidak ada film romansa dewasa, terlebih sebanyak itu adegan percintaan dewasanya untuk saya. Adakah film selain Pengantin Best Seller dengan tema pernikahan yang rating-nya maksimal tujuh belas tahun ke atas?" Mars memang kerap menolak tawaran bermain film dengan tema dewasa, khususnya yang ber-rating dua puluh satu tahun ke atas. Demikian Mars sampai alih genre dari yang tadinya sering membintangi film-film romansa, jadi thriller atau horor. "Bercanda, ya, kamu?" timpal Pak Marteen. Manajer Mars lalu menjadi penengah, dia ambil alih untuk bicara kepada sang penyanyi rangkap aktor sukses ini. Katanya, "Mars, usiamu sekarang, kan, lebih cocok untuk main film tema pernikahan dewasa. Kebetulan yang kamu perbuat tempo lalu di media sosial itu sangat pas dengan naskah baru ini. Jadi—" "Yang lain." Mars memangkas. "Jangan yang ini." Mutlak. Dia bersedekap. Pak Marteen meraih bundel naskahnya. "Ya sudah. Nanti dicarikan. Yang penting kamu datang ke acara pers buat klarifikasi postingan media sosial dan tetap bilang itu spoiler film baru. Tapi kalau begitu ... jadinya untuk film ini kira-kira siapa yang cocok, ya, berpasangan dengan Tania?" Tania? Lihat! Kepala Mars langsung menoleh dan menyebut satu nama itu. "Tania Maira Daneswara?" Lengkap hingga nama terakhirnya. Di mana kini, di kediaman Tania yang baru, bahkan dia baru saja sampai di Indonesia. Pak Marteen menyodorkan seberkas kontrak film, tanpa menunggu hari ini terlewati dulu. Oh, yang benar saja, Sir! "Bukannya aku perlu istirahat dulu habis perjalanan jauh, Pak?" "Iya, habis tanda tangan ini, silakan kamu istirahat sepuasmu sebelum tiba masa akting, Tan." "Pak!" "Hanya tanda tangan, Tania. Ingat, saya tidak pernah memberimu job film yang memberatkan, bukan? Semua film yang saya atur untukmu selaras dengan dirimu. Nah, atau silakan ini baca dulu isi kontraknya walau sekilas." Tania mendengkus. "Saudariku ...." Astaga. Pak Marteen tersenyum. "Atau mau baca-baca naskahnya dulu?" Kepala Tania serasa nyut-nyutan. "Ya udah, mana? Di mana aku harus tanda tangan?" "Naskahnya nggak mau dibaca dulu? Sekilas?" "Nanti malam aja. Sini kontraknya. Aku capek mau langsung istirahat." "Oke, oke. Maaf, ya, Tan. Tapi sumpah, film ini pasti akan meledak! Terlebih pemainnya adalah kamu ...." Ya, lihat nanti. Tania cuma perlu tanda tangan dan dia bisa tidur setelahnya, kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD