Cinta ibarat setangkai mawar. Indah, harum, dan lengkap dengan durinya.
.
.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zinia Ulfa Daneswara binti Danan Daneswara dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
Saat itu Tania tersenyum dan kemudian menoleh, merasa ditatap dari arah kiri, rupanya benar. Tania mendapati sorotan mata tamu undangan paling menawan tertuju padanya. Itu Mars, penyanyi yang Tania gemari.
Sontak saja dia tersipu. Dulu. Di acara pernikahan Kak Zinia dengan tunangannya.
"Kakakmu sudah menikah, kamu kapan nyusul?"
Eh?
"Abang dulu aja nggak, sih? Kan, Abang lebih tua dari aku. Sana, susul Kak Zinia!"
Rupanya Mars, Tania tentu sudah mengenalnya. Beliau ini bukan tamu undangan biasa di acara pernikahan Kak Zinia. Setahu Tania, Mars merupakan sobat akrab sang kakak. Maka dari itu juga jadi lumayan dekat dengan Tania.
"Denganmu, yuk?"
Tania terbatuk.
Ya ampun!
Mereka sedang prasmanan, tempat duduk Tania dihampiri lelaki bernama Mars ini, lalu ... apa tadi dia bilang?
Tania meraih sodoran air minum dari Mars, dia menyedotnya dengan tanpa peduli bila ternyata itu bekas minum gerangan. Yang penting reda dulu batuknya.
"Nggak lucu, ah, bercandanya." Selepas kondusif, Tania menyusut mulut dengan tisu.
"Serius, lho."
"Serius bercanda?" timpal Tania, mengelak. Berlawanan dengan debar di d**a yang menanggapi tak biasa. Dag-dig-dugnya meresahkan sekujur tubuh, aduh!
"Ya sudah kalau nggak mau," katanya.
Mendengar itu Tania sontak menggigit bibir. Ditatapnya wajah Mars, menelisik keseriusan yang digadang-gadangkan. Namun, tak tahan. Mars malah menoleh, membuat Tania memalingkan muka. Dua pipinya pasti sudah semerah blush on di wajah Kak Zinia.
Astaga, Tania ....
Kalem, please!
"Mau, nggak?"
Argh!
Tania berdiri, ditatap oleh Mars yang duduk. Detik di sebelum melenggang, Tania sempatkan bilang, "Biar kupikir-pikir dulu."
Saat itu.
***
"Camera roll action!"
Yang mana setelah hari pernikahan Kak Zinia, Tania mendapat job pertama di film yang pemeran utamanya adalah Mars.
Di sini Tania berperan sebagai karakter pendukung. Film perdana yang katanya diluncurkan untuk memperkenalkan Tania kepada khalayak sebagai artis pendatang baru.
"Kenapa harus aku?" ucap Tania dengan sorot mata tertuju di Mars, sesuai isi naskah filmnya.
"Kenapa harus aku yang kamu jadikan objek balas dendam, sedang yang membuatmu sakit itu Silvia. Tapi kenapa aku yang kamu lukai, Reza?"
"Mel ... maaf."
Di sini Tania berperan sebagai tokoh Melisa, yakni orang ketiga di hubungan asmara itu. Hanya saja, perannya sad girl. Yang bahagia tentu tokoh utamanya; Reza dan Silvia.
Air mata Tania menetes sebagaimana adegan yang harus dia lakoni, lalu menunduk dan menutup wajah, menangis di sana. Yang bahunya diraih oleh Mars sebagai pemeran Reza, tetapi ditepis.
"Cut!"
Ya, Tania lantas tersipu sesudah beradegan itu. Berdebar-debar hatinya, hanya karena bermain peran dengan seorang Mars Tatasurya Semesta.
Si penyanyi yang kebanjiran job akting akhir-akhir ini. Dan dia adalah pria yang tempo lalu mengajak Tania untuk menikah.
"Oke, sip! Break dulu, break!"
Duduklah Tania di bangkunya, ada tenda khusus untuk artis. Meski begitu, tempatnya tidak seistimewa artis senior.
Dan walau dia ditempatkan sebagai figuran, tetapi Tania memiliki karakter menonjol, perannya pun cukup penting di film itu. Ibarat kata, Tania second lead-nya. Memikat para penonton dan dari sanalah Tania memulai kariernya.
[Bagus aktingmu.]
Membaca sebaris pesan itu, Tania mengulum bibir.
Benar, dari Mars.
Sesudah acara nikahan Kak Zinia, dia dan Mars jadi intens berkirim chat.
Tania: [Abang lebih bagus.]
Mars: [Jelas.]
Mars: [Udah sering akting.]
Si paling percaya diri, Mars Tatasurya Semesta. Yang Tania edarkan pandangannya hingga bersirobok dengan tatapan mata lelaki itu.
Wah ....
Kalau begini, sepertinya dia dan Mars cinlok di sini. Bukan di acara nikahan Kak Zinia. Karena pada saat itu Tania masih merasa tatapan Mars belum semanis sekarang.
Yeah ... bagaimanapun tatapan Mars padanya, Tania selalu tersipu. Ini fakta yang tak terbantahkan.
Tania: [Apa yang tempo lalu di acara Kak Zinia juga akting, Bang?]
Iseng saja Tania notice hal itu.
Mars: [Yang mana?]
Gelagat mereka tak diendus, padahal sama-sama sedang asyik chating-an. Namun, nyaris semua di waktu istirahat syuting para artisnya bermain ponsel. Jadi, aman-aman saja dari tangkapan berita gosip selebriti.
Tania: [Yang tiba-tiba ngajakin aku nikah.]
Mars: [Oh. Itu spontan.]
Mars: [Dan dipikir-pikir oke juga, kan?]
Tania: [Yaaah ... aku kira emang udah ada rencana buat nikahin aku. Atau minimal ada perasaan apa gitu.]
Mars: [Ya, ada.]
Mars: [Kalau nggak, gak mungkin juga bisa keluar spontanitas yang begitu.]
Tania: [Masa?]
Mars: [Jadi, apa jawabanmu?]
Mars: [Atau masih mikir-mikir?]
Tania bergeming sesaat memandangi barisan kalimat tersebut. Ibu jarinya mengambang di atas layar. Sebelum akhirnya sutradara kembali berkomando, detik itulah Tania ketik kilat balasannya, dia kirimkan.
[Datang aja ke rumah, deh. Temui orang tuaku kalau emang Abang serius.]
Sudah.
Begitu saja.
Yang entah sempat dibaca dulu atau tidak sebelum lanjut syuting adegan berikutnya.
***
"Gimana sama Mars?"
"Hm?"
Sehabis masa cuti menikah Kak Zinia usai, yang kini kembali memanajeri Tania. Tahu-tahu membahas perihal Mars, sobat Kak Zinia yang Tania sukai sedari lama.
"Cie-cie ... ada apa, nih? Pipimu merah, Tan."
Langsung Tania tangkup dua pipinya yang terasa memanas. Ah, sial! Selalu gagal disembunyikan. Kak Zinia tertawa.
"Nggak tahu, ah, Kak." Sambil tersipu.
"Tania ...."
Dipanggil mama.
"Iya, Ma?"
Dan mama datang ke kamarnya, tampak tergesa. Ada apa, ya?
"Itu ada tamu, Tan." Lalu melirik Kak Zinia. "Zin, tolong bantu rapikan penampilan adikmu."
Yang Tania ingat, hari itulah dirinya dipinang. Hari di mana rasa bahagianya membuncah tak terbantah, melihat rombongan keluarga Mars bertandang. Menyampaikan niat baiknya untuk menikahi Tania.
Esok hari Mars dan Tania langsung mendatangi agensi. Bicara soal pernikahan. Sayangnya, agensi tidak memperkenankan pernikahan secara terbuka. Alias mesti ditutupi dari khalayak. Mengingat kasus wanita yang pernah terlibat skandal dengan Mars, lalu mendapat teror tak sedap. Diduga dari fans fanatiknya.
Tania dan Mars saling melirik. Mau bagaimana lagi, kan? Tania mengangguk.
Tidak apa-apa.
Hanya dengan dinikah oleh Mars, bahagia Tania sudah terasa sempurna.
Hingga hari pernikahan itu tiba, nama Tania binti papanya disebut dalam ijab sah.
"Selamat, ya, kalian."
"Makasih, Kak." Tania memeluk sang kakak.
Kak Zinia lalu bersalaman dengan Mars, sedang Tania fokus pada tamu berikutnya.
Menyesal, mestinya pada saat itu dia melihat bagaimana sorot mata mempelai pria dan Kak Zinia. Mungkin Tania akan menyadari ketidakberesan rumah tangganya lebih awal.
Mungkin.
***
"Besok kamu ada syuting, kan?"
"Iya, Bang."
"Ya sudah, tidur. Abang juga besok ada jadwal manggung."
Malam pertama berlalu dengan tanpa ada yang Tania resahkan. Jujur, sedari kemarin, kemarinnya lagi, tepatnya sedari masa pinangan, pikiran Tania sudah tercemari oleh adegan di malam pertama.
Bukannya apa, lho. Yang namanya malam pertama itu, kan, sakral dan kebanyakan pengantin baru melaksanakannya.
Tapi Tania tahu tak seratus persen begitu, ada juga yang malam pertamanya dilalui dengan tidur seperti dirinya dan Mars malam ini. Tidur dalam artian sebenarnya.
Hingga satu bulan berlalu dan Tania masih ... ting-ting?
"Abang."
"Hm?"
"Aku jelekkah?"
Sontak saja mata mereka bertemu. Mars menoleh kepada Tania saat itu.
"Cantik. Kenapa? Ada yang bully fisik kamu?"
"Menarik, nggak? Tubuhku."
Saat itu.
Diingat lagi, Tania menyesal. Karena beberapa menit sesudahnya, dia dan Mars ....
Yeah, pada akhirnya melaksanakan kewajiban suami istri. Malam pertama yang sudah jauh berlalu, bisakah disebut lagi sebagai malam pertama bagi mereka?
***
Kala itu ....
29 tahun usia Mars, sepantar dengan kakak Tania. Tania sendiri beda empat tahun dengan kakaknya, jadi dia berusia 25 tahun di malam yang paling bersejarah baginya.
Atmosfer berubah panas dalam sekejap bibir mereka bersua. Bersalaman saling mengenal decap yang sahaja. Tania baru tahu kalau ciuman itu demikian rasanya.
Biasa terjadi di antara mereka hanya sekadar kecup kening dan pipi, entah mengapa begitu. Namun, malam ini berbeda.
Saat pikiran liar Tania perihal suaminya mengelana, bertanya-tanya. Jangan-jangan Mars penyuka sesama jenis? Makanya tinggal sekamar dengan Tania tak pernah tergoda. Atau, jangan-jangan Mars lemah syahwat sehingga tidak punya kemampuan untuk tertarik secara seksual padanya?
Namun, malam itu semua pikiran Tania tentang Mars dan orientasinya terpatahkan.
Sempat Tania berpikir, ataukah dirinya yang tidak menggoda? Ataukah dirinya yang tak mampu membuat Mars berhasrat?
Nyatanya, tidak begitu.
Nyatanya, malam ini tercipta.
Dan nyatanya, Tania melihat dan merasakan dengan jelas bagaimana yang orang-orang sebut malam pertama pengantin baru.
"Nia ...."
Ya, disebut namanya.
Nia?
Oh, berasal dari Tania.
Amat merdu, membisik di telinga dan Tania tergelitik hingga terasa kepakan sayap kupu-kupu imaji menenuhi rongga perutnya.
Tania rebah telentang saat itu, dikungkung dalam kuasa pria yang telah menjadi suaminya sejak satu bulan lalu.
Dapat dia rasa sentuhan intens yang dicipta, lalu gerak dengan irama pelan yang bertenaga, terasa amat sahaja. Tania menyukainya walau dia sempat meneteskan air mata di detik pertama pertautan sakral mereka dilaksana.
Tania terluka, andai saja dia sadar di saat Mars menyebutkan nama 'Nia' untuk kali kesekian pada saat itu ... adalah bukan namanya. Bukan untuk Tania. Melainkan 'Nia' atas Zinia.
Sialan.
Terekam jelas di ingatan sekarang.
Bahkan pada kalimat, "Ya, gila karena lo, Nia. Yang meskipun nggak cinta, gue bahkan sampe nikahin Tania. Sebab apa? Lo!"
Dari Mars untuk Zinia.
Ya Tuhan ....
Bodohnya dia, Tania, tak habis pikir dengan semua itu.
Sungguh.
Bagaimana bisa ....
Bagaimana bisa Tania tidak menyadari perasaan Mars yang sesungguhnya?
Bagaimana bisa Tania malah asyik terbawa suasana, padahal semua tentang Mars padanya hanyalah salah satu dari adegan yang lelaki itu perankan dengan kepura-puraan paling sempurna?
Bagaimana bisa ... Tania bahkan sedang mengandung anak dari lelaki itu sekarang.
Laki-laki yang sama sekali tidak pernah mencintainya, yang bahkan Mars mencintai Kak Zinia, juga mungkin yang setelah hari ini berlalu ... mereka akan bersama.
Mungkin.
Kak Zinia hendak bercerai dengan suaminya, lalu Mars menceraikan Tania pada momen yang sama. Bukankah ini perceraian paling kejam?
Kini ... Tania mendapati dirinya di dalam sebuah ruang yang penuh kenangan manis, tetapi sukses membuatnya menangis.
Kamar Tania di kediaman orang tua, dia pulang dengan tanpa mengundang curiga orang-orang di sekitarnya.
Belum Tania sampaikan soal kabar perceraian itu. Tania bahkan meminta agar Mars merahasiakan dari keluarganya dulu, mengingat orang tua sudah bersedih atas berita perpisahan Kak Zinia dan suami.
Oh, muncul satu pesan baru di ponsel Tania atas nama mantan suami.
Sudah jadi mantan, kan, sekarang? Tania telah mendapatkan talak satu, kemarin itu.
Mars: [Tolong jangan menyalahkan kakakmu atas semua yang terjadi di antara kita. Ini ....]
Tak lanjut Tania baca hingga tuntas.
Persetan!
Dia langsung hapus kiriman pesan dari Mars itu, sebelum kemudian mengirimi pesan balasan.
Tania: [Surat cerainya kapan jadi, ya?]
Tania: [Kalo bisa tolong jangan lewat dari bulan ini, ya, Bang.]
Mars: [Kenapa memang?]
Tania berdecih. Kenapa harus ditanya 'kenapa'?
Tania: [Lebih cepat lebih baik, kan?]
Mars: [Oh. Ternyata kamu betul-betul mengharapkan hal ini dari lama, ya, Tan?]
Lho, kok?
Tania: [Maksudnya?]
Mars: [Ya sudah. Tunggu saja.]
Mars: [Masih on proses.]
Yang tidak Tania balas lagi. Dia menjalani hari seperti biasa. Yang membedakan, hari-hari itu mungkin akan jadi hari terakhirnya berkarier di dunia entertain.
Tania putuskan untuk berhenti.
"Lho, kenapa, Tan?"
Karena satu dan lain hal, Tania bilang ingin fokus pada pernikahannya. Alibi yang nanti pun akan terendus kebenaran di balik kebohongan Tania kepada pihak agensi.
"Kalau begitu jangan berhenti total. Gini aja, vakum untuk sementara. Setahun cukup?"
"Pak—"
"Oke, oke. Dua tahun?"
Tania menghela napas. Dia menggeleng. "Aku—"
"Fine. Empat tahun. Nanti kami buatkan surat edaran resminya. Daripada bayar denda pemberhentian total itu, kan? Kontrakmu masih panjang soalnya, Tan."
"Aku bersedia bayar—"
"Empat tahun. Tania, yang bicara denganmu sekarang bukan sekadar CEO, tapi saudara yang tahu betul dengan impianmu di dunia ini."
Saudara, ya?
Tania menggigit bibir bagian dalamnya.
Benar, Tania masuk ke agensi ini juga lewat jalur saudara. Sebetulnya bukan benar-benar saudara, beliau adalah anak dari sahabat papa Tania.
"Kalau begitu ... bisakah Saudaraku merahasiakan semua yang kita bahas hari ini?" Dibubuhi senyum tengilnya.
Pak Marteen mendengkus. "Kamu lagi ada masalah, ya?"
"Please?" Tak Tania indahkan.
Namun, permintaannya dikabulkan.
Dan, ya ... setelah hari itu hingga akhir bulan tiba, surat yang Tania tunggu tak datang. Sedangkan, dia harus segera hengkang.
Harus. Dengan atau tanpa menandatangani surat perpisahan.
Tania tidak mau kehamilannya terpublikasi di sini, bahkan masih apik Tania tutupi dari orang tuanya. Padahal perut sudah terasa semakin menonjol andai dia memakai baju ketat.
Sebisa-bisa Tania pun menghalau morning sickness-nya, dia sangat beruntung karena mual dan muntah yang tidak begitu parah.
"Kok, Kakak nggak tau kalo kamu ada job syuting di luar negeri?"
"Kan, Kakak udah bukan manajerku lagi." Tania mengulas senyum tipis. Dia memang meminta Kak Zinia untuk fokus pada rumah tangganya saja, yang di ujung tanduk itu.
"Lalu mana manajer barumu, Tan?"
"Udah di bandara."
"Bisa-bisanya pergi sendiri-sendiri. Harusnya—"
"Kak, maaf. Waktuku mepet, nih."
"Ya sudah, hati-hati di perjalanan. Kabari kami kalau sudah sampai di sana, ya, Tan?" ucap mama. Memangkas adu mulut dua anaknya.
Tania lantas bercupika-cupiki dengan beliau.
"Suamimu bener nyusul, kan, nanti?"
"Iya, Pa." Bohong. Tania merangkai naskah karangannya sendiri, untuk hidupnya ini. "Nanti habis fan meet-nya beres, Bang Mars nyusul."
Kebohongan yang lahir dari kebohongan lain ... Tania terpaksa begini. Setidaknya, untuk hari ini. Yang penting, kan, pergi dulu saja. Itu prioritas Tania.
Yang dengan tercekat, dia ucapkan salam pamit kepada mereka. Begitu dia memasuki mobil jemputan, air mata Tania luruh tanpa terkecuali. Bahkan Tania sampai menyewa mobil beserta sopir untuk menyempurnakan kebohongannya ini.
Sebetulnya, ada ketakutan paling besar yang memeluk Tania, tetapi tak berani dia ungkap, bahkan kepada mama, papa, apalagi kakaknya.
Takut ....
Bagaimana akhir dari pelariannya ini.
Tania takut sekali.
Yang mungkin, esok hari nanti ... mama dan papa akan dikejutkan dengan kabar cinta lama belum kelar dari Mars dan Kak Zinia. Lantas, begitu Tania pulang, mereka telah bersama.
Haha!
Tawa sumbangnya mencemooh rasa sakit di hati Tania dalam perjalanan meninggalkan Tanah Air.
Sedangkan, di tempatnya.
Mars masih memandang surat cerai yang semestinya sudah dia beri kepada Tania. Namun, sampai akhir bulan berlalu, surat itu masih di sini.
[Tan, Abang otewe ke tempatmu.]
Ceklis satu.
Mars rasa, sebelum benar-benar ditandatangani surat ini, ada hal yang harus dia bicarakan dengan Tania dulu.
Hari itu.
"Paris?"
"Lho, kok, begitu responsmu, Nak? Tania sudah izin, kan? Ah, nggak. Katanya, kamu bahkan mau menyusul ... tapi kenapa reaksimu seperti nggak tahu-menahu tentang itu?"
Perihal Tania, Paris, dan job syutingnya di sana. Mars tercengang.
"Pa, Ma, sebenarnya ...."
Perihal hubungannya dengan Tania yang bahkan sudah di ambang kehancuran.
"... kami memutuskan untuk berpisah."
Mars katakan pada akhirnya.
"Jadi, Tania—"
"Sejak kapan?" Papa Tania memangkas. Sedangkan, mama Tania syok di tempat mendengar penuturan Mars barusan.
"Sejak Tania pulang ke sini ... sekitar beberapa minggu lalu—"
Dan pipi Mars ditempeleng oleh telapak tangan pria paruh baya itu. Papa Tania.
Wajah Mars terempas ke samping, dengan debar di d**a yang kecepatannya mengerikan.
Oh ....
Dada sang papa pun kembang-kempis emosi. Memandang Mars dengan kilatan kecewa di mata.
"Pantas saja ...." Beliau berkata, "Kamu ...!" Menunjuk-nunjuk wajah Mars sambil berdiri.
Berkecamuklah perasaan lelaki paruh baya itu, terlintas puzzle kejanggalan atas putrinya yang nomor dua. Namun, bisa-bisanya terkesampingkan.
Astaga, Tania ....
"Kalau memang hendak berpisah, harusnya kamu pulangkan putri saya dengan benar saat itu dan ...."
Sudahlah.
Sudah berlalu.
Napas papa Tania agak tersengal-sengal sehingga kesulitan untuk meluapkan semua uap emosi. So, ....
"Silakan." Papa Tania menunjuk arah pintu.
"Silakan keluar." Dengan sisa-sisa suara yang dapat dia lontarkan di tengah tercekatnya tenggorokan.
Satu hal yang pasti, Tania telah pergi.
Mars terbengong untuk sesaat, mencerna satu demi satu puing kisahnya dengan wanita itu.
"Nomor yang Anda tuju—"
Kening Mars sampai mengernyit, melihat kontak Tania yang serupa tak hidup.
[Bukankah kita perlu bicara senggaknya soal surat yang masih ada di Abang, Tan?]
[Surat itu. Apa kamu nggak penasaran kenapa Abang nggak kirim suratnya sesuai waktu yang kamu tentukan?]
Sayang, ceklis satu.
***