3 | Yang Disebut Cinta

2031 Words
Kadang bahagia membuat kita lupa, apa sebenar-benarnya yang sedang kita hadapi, mana tahu itu luka. . . Malam itu rasanya hati Tania penuh dengan bahagia, merasa telah menjadi seorang istri 'sepenuhnya'. Berada dalam dekapan pria yang merupakan suami, dengan tanpa sehelai benang di tubuh mereka. Hak dan kewajiban Tania sudah ditunaikan secara kontan tadi. Yang Tania ingat lagi bagaimana cara Mars memesrai. Oh, terperinci. Malam yang tak sedikit pun dulu terpikir akan Tania sesali di masa depannya kini. Malam yang membuatnya terlena sehingga hadirlah seorang putri dari pernikahan 'cacatnya' itu. Cacat, kan? Padahal dulu Tania merasa bahagianya sudah sempurna. Menikah dengan pria kecintaan, hingga mengandung anak gerangan. Sebelum Tania tahu betapa ... mahligainya bahkan tidak lebih baik dari kapal yang karam dan menjadi fosil di lautan. Sehancur-hancurnya kapal itu masih bisa menjadi tempat nyaman bagi ikan, sedangkan kapal yang memuat Tania dan Mars? Tertanda empat tahun lalu. Malam itu. Tania melihat Mars beranjak, memungut pakaian yang berserak. "Mau ke mana, Bang?" Mars menoleh. "Haus. Mau ambil minum di dapur. Kamu mau?" Tania menahan kedut senyum di dua pipinya. Malu-malu ditatap oleh suami selepas percintaan mereka tadi. Duh .... "Mau," jawabnya pelan. "Ya udah, tunggu. Abang ambilkan." Tania mempererat cekalannya pada selimut yang membalut badan. Mars telah berlalu, kemudian Tania melampiaskan salah tingkahnya di kamar itu. Di kediaman orang tua. Tania menarik selimut hingga menutupi wajahnya, merasa dinding seakan punya mata dan tengah meledek dirinya. Mengingat kejadian di beberapa menit lalu .... "Nia ...." Desah nama itu yang Mars loloskan, pipi Tania memanas, menyeruak semu merah jambu. Ah, tak bisa dia lupa. Apalagi baru terjadi barusan. Betapa masih membekasnya jejak suami di setiap bagian tubuh ini. Tuhan .... Tania suka. Semakin jatuh cinta dan dibuat bersyukur atas garis takdirnya; menjadi istri seorang Mars Tatasurya Semesta. Memang, ya? Jodoh itu tidak akan ke mana. Dulu Tania mengidolakan Mars saat masih jadi artis pendatang baru. Sering dia meminta kakaknya untuk mencari tahu apa yang Mars butuhkan dan Tania membelikan benda-benda itu sebagai hadiah dengan metode semacam penggemar rahasia. Tania melakoni itu dan yang tahu hanya kakaknya. Mengingat Kak Zinia merupakan sobat akrab dari Mars, teman sekampus. Ngomong-ngomong yang mengambil air minum, kok, lama sekali? Tania pun beranjak, meringis merasakan bekas percintaan Mars pada tubuhnya. Sakit. Sungguh sakit. Sampai-sampai caranya berjalan pun tak lagi sama. Malam itu. Tania memakai lagi pakaian tidurnya sebagaimana Mars tadi, keluar dari kamar menuju dapur. Selain penasaran mengapa suaminya lama tak kunjung masuk kamar, Tania juga diterjang haus. So, dia menyusul. "Eh, Tan?" Oh ... ada Kak Zinia di sana. Menyadari kehadiran Tania di dapur, bahkan sebelum Tania melihat ada kakaknya di hadapan Mars. "Lho, lho ... kenapa kakimu?" Tak berpikir hal lain, pipi Tania bersemu sebab ada hal lain lagi yang memenuhi isi kepalanya. Yakni percintaan barusan. Ya ampun! Kak Zinia mendekat. Belum sempat Tania menghindar, Kak Zinia menyingkap rambut Tania sehingga ... "Cie! Apa, tuh, merah-merah?" Argh! Meledeknya. Wajah Tania merah padam dibuatnya, meski tidak semerah jejak peninggalan Mars di leher Tania itu. Dia ketahuan! Malu. Tania beringsut menuju Mars seolah meminta perlindungan dari ledekan sang kakak. "Ekhem, ekhem!" Kak Zinia sok-sokan berdeham, lirikan matanya mengejek Tania. Tak tahan, Tania sembunyi di balik punggung suami. Melindungi wajah merah padamnya di sana. Kak Zinia asyik menertawakan. "Abang!" cicit Tania, mengepal piama Mars di belakang tubuh jangkung itu. Kak Zinia masih sibuk mencie-ciekan. "Abaikan aja. Yuk, ke kamar?" kata Mars, merangkul istrinya dan memberi kecupan di pucuk kepala. "Uhuk, uhuk! Ciee ...." Begitulah kakaknya. Tania cepat-cepat masuk kamar, masa bodoh dengan caranya melangkah. Hingga suara ledekan Kak Zinia tak lagi terdengar. Huh, mampus! Besok pasti akan dibahas di meja makan saat sarapan bersama papa dan mama. Bahwa Tania kedapatan habis bercinta dengan suaminya. Eh, tetapi ... lalu kenapa? Kan, bukan hal aneh. Kan, wajar. Namanya juga laki-bini. Kak Zinia juga begitu, toh, dengan suami? Meski suami Kak Zinia jarang pulang setelah masa cuti menikahnya habis sebab tugas negara. Makanya itu Kak Zinia ada di rumah orang tua. Biasa, tiap kali suaminya berlayar, Kak Zinia tinggal di rumah mama. Sedangkan, Tania dan Mars belum sempat pindahan. Dan selama satu bulan menikah sampai saat ini mereka tinggal di sini. Di kediaman papa-mama Tania. Pintu kamar mereka lantas ditutup dan dikunci oleh Mars, Tania telah duduk di tepi ranjang. Menatap sang suami yang masuk bawa-bawa botol besar isi air mineral. Oh, jadi tadi lama itu karena menunggu botol tersebut penuh terisi air dari dispenser, ya? "Nih, minum," katanya. Tania meraih botol dari sodoran pak suami. Dia sedot kemudian. Masih memerah pipinya. "Kok, nyusul?" Mars bertanya, menatap Tania. Malam itu. Malam pertama mereka setelah satu bulan menikah. "Abang lama." Dan gara-gara malam pertama ini, Tania jadi salah tingkah melebihi biasanya kalau ditatap pria itu. Ya Salam. Jantungnya berdebar tidak keruan, tetapi ini menyenangkan. Menggelitik asyik. Mars lalu terkekeh. "Baru segitu, lama?" "Kan, aku haus." Bibir Tania mengerucut. Eh, dikecup. Tania lalu tersipu, mengulum bibirnya untuk sepersekian waktu. Ayolah .... Hanya karena malam pertama baru dilaksana, Tania merasa baru diakad pagi kemarin, alih-alih satu bulan lalu. Yang kini bibir mereka kembali bersua, hingga untuk kali kedua di malam itu ... Mars dan Tania kembali menyatu. Namun, agak berbeda. Tania rasa. Yang kedua ini Mars lebih bersemangat, lebih menyengat, dan lebih emosional. Apa senagih itu? Padahal ... Tania kesakitan di bawah kungkungannya, mengingat Tania bahkan belum terbiasa, baru mengenal pusaka suaminya, dan Mars tidak memedulikan itu. Oh, bukan tak peduli. Tania pikir, Mars juga belum mengerti dan sedang terlena oleh kenikmatan pribadi. Sampai akhir tiba, hingga akhirnya senandung nama 'Nia' sukses membuat Tania lupa akan rasa sakitnya. Rasa sakit fisik di malam itu. Pupus. Tania bahagia. Tanpa tahu bila yang disebut bukanlah namanya. Tanpa tahu bila di masa depan, masa-masa sekarang, Tania bahkan merasa sakit ketika melihat wajah putrinya. Sakit. Teringat malam itu. "Mami ...." Oh, Cely terbangun. Gadis kecil yang sudah berusia tiga tahunan ini mengerjap, lalu tersenyum, mendapati sang ibu di detik matanya terbuka. "Bobok lagi," katanya, "usap-usap, please ...." Menyodorkan punggung. Tania mengulum bibir. Dijulurkannya tangan dan dia mengusap-usap punggung mungil darah daging Mars. *** Yang disebut cinta, isinya hal-hal bodoh saja. Bodoh karena tak bisa menyadari mana yang sungguh dan sekadar singgah, mana yang tulus dan tidak serius, hingga mana yang nyata dan sebatas pura-pura. Kepala Tania dikecup di depan Kak Zinia oleh Mars. Jelas! Pipi Tania menunjukkan ronanya. Saat itu Mars sedang berpamitan, sudah dijemput manajernya. Tania mencium tangan Mars dengan takzim sebagaimana istri ke suami. Eh, tumben-tumbennya Mars balas dengan kecupan walau hanya di kepala. Kak Zinia berdeham-deham seperti biasa, Tania tahu itu ejekan. Malu! Tania belum terbiasa menunjukkan kemesraan sampai seberani kecupan Mars di kepalanya, di hadapan keluarga. Terkhusus Kak Zinia yang suka meledek. Oh, apa itu karena malam pertama kemarin? Keberanian Mars jadi tersuntik dan dia aktif, daripada sebelumnya. Mungkin Mars merasa Tania sudah memberikan lebih, jadi dia tak sungkan-sungkan lagi. Tahu begini sejak awal saja Tania notice malam pertama, tak perlu menunggu isi kepalanya mengelana ke mana-mana. Rupanya Mars cuma kikuk dan khawatir Tania belum menginginkan itu. Tak tahu saja bila Tania sedari sebelum hari H ijab sah, dia sudah menyiapkan diri sampai siap dengan segala kegiatan pengantin barunya nanti. Eh, malah baru dilaksana saat usia pernikahan tiba di angka satu bulanan. "Abang berangkat." Tania mengangguk. "Hati-hati." Dan lagi, ini pagi buta. Tentu! Jam terbang Mars agar tidak ketahuan publik bahwa dia tinggal di rumah Tania. Sejauh ini aman, satu bulanan. Mars memakai masker dan topi, lalu gegas beranjak memasuki mobil jemputan. Kadang pagi, kadang tengah malam. Yang pasti pulang dan perginya Mars itu saat orang-orang sekitar masih di alam mimpi. Tania juga tidak keluar, dia sebatas melihat dari jendela. Di ruang tamu ini memang sejak tadi ada Kak Zinia, kebetulan saja. "Mau balik tidur lagi, Tan?" tanya sang kakak di detik Tania beranjak. "Iya, Kak." Sorot mata Kak Zinia penuh godaan. "Capek, ya, habis lembur gempur-gempuran?" Ih, apa, sih! Tania cuma mesem dan lanjut melenggang. Tanpa tahu saat itu ada sebuah pesan yang Zinia kirimkan kepada suami adiknya. *** [Mars, lebih baik lo cepet cari tempat tinggal baru buat kalian. Adik gue butuh privasi dari kelakuan lo yang nggak peduli sekitar.] Dari Zinia, Mars baca. Pun, dia balas. Mars: [Adik lo yang butuh privasi atau lo yang terusik dengan kemesraan kami?] Zinia: [Tania yang nggak nyaman. Lo gak ngerasa gimana dia di tiap kali lo sosor, malunya kayak apa?] Mars: [Oh. Itu Tania yang bilang atau cuma pendapat lo aja, Ni?] Zinia: [Pokoknya kalian harus pindah.] Mars: [Kok, ngusir? Mama sama papa aja fine, kok.] Zinia: [Ya, jelas. Lo nyosor dia selalu di depan gue!] Mars: [Cemburu?] Di tempatnya, Tania menunggu balasan pesan dari Mars. Bukannya apa, tetapi suami sedang online. Cuma, kok, pesan darinya tak kunjung dibuka? Apalagi dibalas. Yeah, mungkin sedang chat dengan orang penting. Pak Marteen, misal? Atau kawan artis yang lain, yang mungkin satu projek film dengan Mars. Sabar ... sabar. Tania menatap langit-langit kamar. Dua sudut bibirnya terangkat. Di sini, di kamarnya ini ... dinding menjadi saksi bisu paling autentik tentang setertarik apa Mars pada tubuhnya. Bayang-bayang mesra itu tak bisa pergi dari kepala Tania, apalagi kalau sedang berada di dalam kamarnya. Ini TKP, lokasi di mana dia merasa sangat dicintai oleh suami. Oh ... begitu, ya? Yang disebut cinta. Mendapati suara notif pesan masuk saja bahagianya tidak terkira, lalu kecewa saat ternyata bukan kiriman pesan dari sosok yang dia tunggu sejak beberapa menit lalu. Pak Marteen: [Ada naskah film baru. Mau ambil?] Pak Marteen: [Oh, ya. Kamu peran utamanya.] "Taniaaa!" "Taaan!" Suara sang kakak, Tania tahu apa yang akan beliau katakan di detik pintu kamarnya Tania buka. "Pak Marteen—" "Naskah film baru?" Tania gemas memangkas. "Dan kamu pemeran utamanya!" Mata Kak Zinia berbinar, sama halnya dengan Tania. Detik kemudian mereka jingkrak-jingkrak bersama. Membuat papa dan mama melongok kebisingan itu, di pagi buta, rupanya anak-anak sedang heboh. "Pa, Ma, Tania mau launching film baru dan dia pemeran utamanya!" lapor Kak Zinia, bahkan lebih heboh dari Tania. Lagi, mereka bersorak. Senanglah, pasti. Ini terobosan baru yang lebih maju. Tania bukan lagi hanya sekadar bermain film sebagai tokoh pendukung, tetapi tokoh utama. Tuh, kan ... Mars pasti tadi sedang berkirim chat dengan Pak Marteen. Beliau yang merupakan anak pemilik agensi naungan Tania, pukul empat subuh di Indo, entah pukul berapa di luar negeri sana mengingat Pak Marteen memang sedang dinas ke luar. Secara kurang masuk akal menginfokan Tania akan kabar baik itu, mungkin tadi berkabar juga kepada Mars—suami Tania. Namun, karena ini Pak Marteen, yang Tania rasa sudah biasa, jadi masuk-masuk akal saja. Jam berapa pun itu. Ah, Tania bahagia! Bang Mars: [Ini baru sampai, Tan.] Sebuah pesan balasan dari Mars atas kiriman chat Tania yang berisi: [Abang kalo udah nyampe bilang, ya.] Yang kemudian melunturkan senyum di wajah Tania. Tan? Senyum itu lantas berganti jadi kerutan di kening. Lagi, Tania gumamkan dalam batinnya .... Tan? Bukannya Nia? Di masa kini, Tania menertawakan dirinya di masa lalu. Yang disebut cinta, hal janggal saja bisa jadi bukan apa-apa sebab pikiran positifnya berkata, "Oh, Nia itu panggilan mesra di ranjang aja kali, ya? Panggilan khusus." Malah sempat-sempatnya tersipu. Sialan. Bodohnya sampai ke tulang-tulang, Tania merutuk dirinya yang dulu. Yang selalu senang saat pelepasan dahaga Mars menyebutkan selalu nama kecil itu. Nia .... Nia .... Dan Nia .... Sampai Tania menggigil saat tahu kebenarannya. Sampai Tania tercegat laju napasnya. Sesak. Dia pernah bahagia tanpa tahu bila ternyata yang sedang dihadapinya adalah bibit luka. Bahagia sekali dulu, sekadar melihat wajah tampan itu. Wajah seorang pria yang Tania baca namanya di lembaran surat kontrak film baru. Film yang akan Tania bintangi setelah vakum empat tahun. Astaga .... Lawan mainnya adalah Mars Tatasurya Semesta? Sungguh? Mars yang itu? Yang dulu pernah Tania cintai dari mulai dirinya duduk di bangku SMA hingga rasa cintanya bermetamorfosis mewujud benci di masa kini ... bagaimana bisa? Gemuruh di d**a Tania tak terkendali, dadanya bahkan langsung kembang-kempis emosi. Lembar demi lembar surat kontrak yang sudah Tania tanda tangani dibacanya dengan saksama. Bagaimana bisa .... Tania sudah ceroboh. Tertulis di sana: Pengantin Best Seller. Genre romantis, komedi, dan ... mature. Tertanda, tanda tangan Mars dan dirinya. Tania langsung menghubungi Pak Marteen. Tanpa harus dijelaskan, kalian tahu isi kepala Tania, bukan? "Aku nggak mau membintangi film itu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD