Hamil?
Tania melihat dengan benar satu per satu alat tes kehamilan di tangannya. Kesemua benda itu menunjukkan tanda garis dua.
Secepat ini?
Pernikahannya bahkan belum genap empat bulan, tetapi sungguhkah dia sudah mengandung? Sudut bibir Tania terangkat. Ini berita bahagia. Akan dia hadiahkan kepada Mars, suaminya, di hari ulang tahun lelaki itu.
Tania hanya perlu bersabar menunggu masanya tiba. Tak lama, hanya satu bulan lagi. Lantas, dengan apik dia menyembunyikan lima test pack tersebut ke laci paling bawah di meja riasnya.
Mars tidak pernah menjelajah furniture yang tak ada kaitan dengan tempat di mana Tania meletakkan barangnya. Dalam hal ini bisa dikata bahwa meja rias adalah kawasan teritori Tania.
Hari itu.
Pantas saja Tania merasa ada yang tidak beres dengan perutnya, dengan kepalanya, juga pinggangnya. Dia teringat akan siklus tamu bulanan karena nyeri yang dirasa hampir sama.
Namun, begitu dicek sama sekali tak ada jejak menstruasi, yang justru mengingatkan Tania pada keterlambatan tamu bulanan itu. Dia hitung-hitung ... sudah telat dua bulan.
Penasaran, Tania datangi apotek dengan masker di wajah dan topi hoodie yang menutupi kepala. Bukannya apa, tetapi publik tak tahu bahwa dirinya telah menikah, terlebih dengan bintang papan atas bernama Mars Tatasurya Semesta.
Tania masih pendatang baru di dunia entertain saat itu, dunianya dan suami. Pernikahan yang dijalani pun sampai harus dirahasiakan dari khalayak, setidaknya sampai waktu yang nanti ditentukan oleh agensi.
Tiba di kediaman, Tania langsung mengecek kondisi tubuhnya dan ternyata benar dia hamil. Mungkin dengan ini, publikasi tentang pernikahannya bersama Mars bisa disegerakan. Pertama-tama, ini akan jadi hadiah ulang tahun untuk suaminya.
Kini Tania sedang menonton serial lawak yang bintang tamunya adalah Mars. Pokoknya setiap ada Mars di TV, Tania selalu mengusahakan menontonnya, bahkan saat sedang di lokasi syuting ketika rehat Tania menyempatkan menonton di ponsel.
"Duh, sweet banget, sih, Tan."
Eh?
Tania menoleh. Didapatinya sang kakak datang meletakkan belanjaannya di meja. Zinia, kakak sekaligus manajer Tania.
"Sampe senyum-senyum gitu mandanginnya."
"Habisnya lucu, Kak."
"Lucu itu ketawa, bukan mesem-mesem kesengsem."
Ya, ya, ya.
Tania tertawa.
"Eh, itu bukan siaran live, kan?" Kak Zinia menunjuk layar televisi yang sedang menampilkan sosok Mars.
"Bukan, Kak." Tania meraih kaleng soda yang diletakkan sang kakak, tetapi kemudian dia ganti dengan ... minuman isotonik. Aman untuk janinnya, kan?
Sekali teguk saja. Tania takut salah mengonsumsi hal-hal yang sebetulnya bisa jadi kurang baik untuk kandungan. Sepertinya dia harus konsultasi ke dokter. Namun, kapan dan bagaimana caranya supaya Kak Zinia tidak mengetahui itu? Tania ingin merahasiakannya, minimal sampai nanti Mars berulang tahun.
Kak Zinia mengangguk-angguk. "Oh, ya. Tadi ada tawaran iklan parfum, acc jangan?"
Tania mendekat. "Merek apa?"
"Itu, lho, vitalies."
"Oh ... boleh, boleh. Job aku juga lagi kosong, kan?"
"Hm. Besok pagi jam tujuhan syutingnya."
"Ya udah. Aku tinggal bangun pagi aja."
Lantas, hening tercipta.
Tak lama.
"Kakak ... ini bukan soal pekerjaan," ucap Tania.
Kemudian mereka bertatapan.
"Iya, gimana?"
"Kakak yakin mau bercerai?"
Berpandangan dalam kebisuan untuk sepersekian waktu, sebelum berikutnya terdengar helaan napas panjang dari Kak Zinia.
"Yakin. Harus yakin, dong. Kan, kamu tau perkaranya." Sambil tersenyum.
Di detik suara bip-bip buka kunci pintu apartemen terdengar, lalu muncullah suami Tania dari luar.
Ya, itu Mars Tatasurya Semesta ... lelaki yang cinlok dengan Tania Maira Daneswara di lokasi syuting pada masa debutnya.
"Udah balik, Mars?"
"Iya. Lo?"
"Biasa. Ngasih kabar kerjaan baru buat Tania."
Mars dan Zinia. Mereka adalah sahabat. Dari Zinia juga Tania menjadi sedekat sekarang dengan Mars.
Yang Tania cium tangan lelaki itu seperti biasa, takzim. Mars sudah menjadi suami, bahkan calon ayah dari bayinya nanti.
Lantas, bintang papan atas kecintaan Tania itu melenggang.
"Ya udah, Tan. Kakak pulang dulu, besok ke sini lagi jam setengah tujuh. Kamu harus udah siap, lho!"
"Iya, iya." Tania terkekeh. "Hati-hati di jalan, Kak."
"Yo!"
Sisalah Tania dan Mars di sana, berdua. Di apartemen mereka. Tania lantas berbalik menuju kamar. Dilihatnya sang suami sedang ganti baju.
"Mau mandi atau—"
"Rehat dulu. Tolong jangan dibangunkan, ya, Tan."
"Oh, iya." Tania menggaruk pipinya setelah itu, kikuk.
Kalau boleh jujur, terkadang Tania merasa dekat dan jauh secara bersamaan dengan suaminya. Sebuah perasaan yang Tania sendiri kebingungan mengapa demikian. Namun, Tania kesampingkan.
Toh, ada waktu-waktu di mana Mars terasa begitu mencintainya. Waktu-waktu yang Tania yakini dengan erat bahwa itulah 'kenyataan'.
Ya ampun, sekarang pria itu kecapekan. Kasihan, semalam tidak pulang, yang jikapun pulang biasanya dini hari saat sepi. Tania memaklumi. Kan, tinggal berdua di sini pun sebisa-bisa jangan sampai ada yang memergoki.
Oh, jadi semakin tak sabar untuk memberitakan soal kehamilannya. Mungkin dengan begitu ... belenggu pernikahan rahasia ini usai.
Tania tersenyum.
***
Malamnya ....
"Mau ke mana, Bang?"
Tentu, itu sebutan Tania kepada suaminya. Mengingat Mars empat tahun lebih tua darinya dan panggilan yang cukup umum di lokasi kerja mereka adalah abang.
"Syuting. Ada adegan yang harus diambil malam-malam."
"Lama?"
"Nanti pulang jam satu. Mungkin. Kamu tidur saja, Tan. Jangan nunggu. Besok kamu ada jadwal pagi, kan?"
Tania menghela napas.
"Kayak yang nggak biasa saja, Tan," seloroh Mars sambil terkekeh.
"Ya, makanya itu. Ini jadi kebiasaan yang menyebalkan." Bibir Tania mengerucut, lalu beranjak dan memeluk tubuh prianya. Dibalas oleh pelukan serupa.
Hangat.
"Aku lagi pengin deket-deket terus sama Abang." Mungkin ini efek janinnya. Atau memang karena sedang rindu, sudah lama tidak bermesraan sebab kesibukan artis papan atas ini.
Mars sedang dibanjiri job sebagai tokoh utama di film-film bioskop, padahal aslinya dia penyanyi. Entah sejak kapan jadi lebih condong ke aktor profesinya sekarang.
"Sudah hampir jam sembilan, Tan. Abang harus segera datang ke lokasi. Kita lanjut nanti, ya, deket-deketannya?"
"Kiss dulu."
Dan Tania mendapati itu di pipinya, detik di sebelum Mars berlalu. Sebuah kecupan manis, Tania mengulum bibir seraya memegang bekas kecupan suami.
Tidak ada yang aneh atau janggal di hubungan rumah tangganya, Tania rasa. Bahkan saat percintaan pertama mereka di ranjang yang mana Mars melenguhkan nama 'Nia', alih-alih 'Tan' sebagai panggilan kecil kepadanya. Sebelum tiba hari di mana Mars berulang tahun dan ... saat itu ....
"Gila lo, Mars!"
"Ya, gila karena lo, Nia. Yang meskipun nggak cinta, gue bahkan sampe nikahin Tania. Sebab apa? Lo!"
Di sini, Tania mencelus mendengarnya. Hal yang membuat dia henti melangkah di dalam apartemennya sendiri. Tak berani maju memasuki ruangan itu ... studio suami. Di mana Mars biasa bernyanyi.
Suami, eh?
"Berengsekk."
Itu kata Kak Zinia.
Atau ... Nia?
Tania masih membeku di depan pintu studio yang secuil terbuka.
"Dan lo ... apa nggak cukup berengsekk, Ni? Lo ngorbanin hubungan kita, perasaan lo sendiri, bahkan perasaan gue untuk lo. Apa lo bahkan nggak ngerasa berengsekk untuk kita, Nia?"
"Mars—"
"Mau atau nggaknya lo balik sama gue, gue rasa ... gue bakal tetep ceraikan Tania."
"Mars, please ...."
"PERSETAN! NYATANYA KITA SEMUA NGGAK BAHAGIA, ZINIA."
"TANIA BAHAGIA!"
Mereka saling membentak. Mars dan Zinia.
"Tania bahagia dan gue bahagia dengan itu, Mars."
Oh, tidak ....
Napas Tania tercekat. Kenapa dia disebut dan apa maksud?
Terus tadi ... cerai?
Kini, dadanya bahkan kembang-kempis menyesakkan di sini, di tempatnya mematung dalam bingung. Hingga tiba pada kalimat terakhir yang dia dengar ....
"Lo yang gila, Ni. Dan lo yang berengsekk. Lo."
Sebelum Tania putuskan untuk berbalik, tetapi kakinya menubruk sofa dan benda di tangan jatuh bersuara di tengah hening yang mencekam baginya.
Tania tersentak, gegas dia pungut benda itu, sebuah kotak kecil berpita yang buru-buru dia sembunyikan, termasuk dirinya sendiri ... Tania bersembunyi. Duduk memeluk kaki, menahan desakkan nyeri di hati, yang tak kuasa air matanya jatuhi pipi.
Sementara itu, yang di dalam studio lantas keluar. Melongok-longok. Zinia yakin ada suara yang berasal dari sini tadi, apakah Tania? Yang lalu dia melenggang, meninggalkan apartemen tersebut. Seingatnya, hari ini Tania ada jadwal pemotretan. So, dia bergegas menuju ke lokasi sang adik.
Sedangkan, Mars baru keluar setelah buruan napasnya tenang secara berangsur-angsur.
"Keluarlah," ucapnya pelan. "Jangan sembunyi."
Di tengah hening yang lalu ... Tania berdiri. Telah dia pupus bersih rembesan air di matanya ini.
Saat Kak Zinia tak mengetahui keberadaannya, tetapi Mars dengan tanpa mencari, tahu bahwa Tania sedang bersembunyi. Namun, pria itu tidak tahu ada hal lain lagi yang Tania tutupi, sebuah benda yang sudah dia amankan.
Lantas, Tania dihampiri.
Dan kini, mereka berdiri saling berhadapan.
Tatapan Tania lurus ke depan, ada genangan air di mata yang dia tahan-tahan, tak mau ditunjukkan di depan Mars.
Jadi, ...?
"Apa saja yang kamu dengar tadi?"
Terdengar lembut suara Mars menggetarkan gendang telinga Tania. Namun, menusuk-nusuk begitu tiba di dadanya.
Perih.
Tania jawab, "Yang kalian obrolkan aja." Dia lalu memalingkan muka, juga menggigit bibirnya.
Jadi, Mars tak cinta.
Sama sekali tidak mencintainya.
Yang cinlok di tempat syuting pada masa debut adalah Tania sendiri, tidak dengan bintang papan atas ini. Yang ternyata ... pernah ada hubungan romansa dengan sang kakak? Sepertinya. Mereka bahkan saling cinta, mungkin sampai hari ini.
Mars dan Kak Zinia.
"Terus?" ucap pria itu.
"Kenapa kita menikah, ya, Bang?" Tania menyahut. Dengan segenap keberanian, dia balas menatap sorotan mata itu. Mata yang Tania kiara memandangnya penuh cinta, tetapi ternyata ... mungkin iya, hanya memang palsu saja. "Maksudku, kenapa Abang menikahi aku ... ah, bukan."
Itu sudah jelas karena Kak Zinia, sebagaimana apa yang Tania dengar barusan. Mars menikahinya sebab sang kakak berikut pengorbanan gerangan, tetapi mengapa Mars bersedia?
Oh, apa karena Kak Zinia menikah lebih dulu dan sebab itu Mars frustrasi, lalu menghendaki pernikahan dengan Tania?
Sampai bingung mau bilang apa sekarang, yang untungnya terdengar suara ponsel Tania berdering. So, dia beranjak meraih benda itu, lalu mengangkat telepon masuk.
Dari Kak Zinia.
"Tan, Kakak udah di lokasi pemotretan. Kamu di mana?"
"Oh, iya. Aku mundurin jadwal ... lupa bilang. Sekarang aku masih di kafe ... ada yang ngajak ketemu. Tapi udah, sih. Aku ke sana sekarang, Kak. Tunggu, ya?"
"Tania! Kan, Kakak udah bilang, sebagai artis itu nggak boleh sembarangan ketemuan. Kalo kamu kenapa-napa atau terjadi skandal jelek, gimana?"
"Iya, Kak, iya. Ini ... ini keluarga suamiku soalnya. Ehm. Ya udah, aku otewe sekarang."
Gegas Tania matikan sambungan nirkabel itu. Setelahnya, dia berbalik dan sorot mata suami tengah tertuju padanya. Suami, ya? Hati Tania perih dirasa.
"Kita lanjut nanti, ya, Bang. Aku ada pemotretan." Yang sempat Tania undur sebab mendapati pesan singkat dari Mars yang berisi: [Tan, sore ini Abang ada fan meet di Jogja, tapi mau berangkat sekarang. Siang ini juga.]
Tania balas. [Sekarang Abang di mana? Udah otewe-kah?]
Mars: [Belum. Masih di apart. Lagi siap-siap.]
Itulah kenapa Tania meminta izin pulang, sebentar saja, ada hal yang dia sebut ketinggalan. Tania diberi waktu satu jam, setidaknya itu cukup untuk dia berikan hadiah ulang tahun kepada suaminya. Sebelum hari ini berakhir.
Padahal rencananya mau diberikan nanti saat makan malam, Tania juga sudah memesan hidangan untuk pukul tujuh malam nanti, minta diantarkan.
Namun, bagaimana ini?
Sepertinya gagal total.
Bahkan kejutan yang Tania persiapkan, sepertinya berbalik jadi dia yang dikejutkan. Sebuah fakta yang membuat Tania bengong sepanjang jalan menuju lokasi, dan tanpa sadar air matanya jatuh detik itu ... cepat-cepat Tania hapuskan.
Waktu demi waktu.
Mars: [Abang berangkat.]
Seolah tak pernah ada yang terjadi, yang menjadi sebuah bom waktu, tinggal tunggu tanggal meledaknya saja.
Malam hari, Tania melahap hidangan pesanannya sendiri. Dia tetap harus makan, tak peduli rasanya ingin sekali dimuntahkan.
Teringat pada saat melaksanakan syuting iklan parfum, Tania langsung lari ke kamar mandi, muntah-muntah di sana. Yang mana ketika itu, saat Tania kembali ke lokasi, benar juga ... dia mendapati tatapan Mars kepada Kak Zinia berbeda.
Muncul keping ingatan soal mereka. Satu per satu.
Oh, Tania memuntahkan semua yang telah dia telan sebelumnya. Sungguh, ini memuakkan. Tania pukul-pukul dadanya, berharap sesak di sana menghilang.
Sampai tiba masa di mana Mars pulang, setelah Tania pikirkan matang-matang. Meski begitu, bukan Tania yang bilang, "Ayo bercerai."
Melainkan Mars di belakangnya. Saat Tania sedang becermin, memupus make up.
Ya, ini hanya tentang waktu, sebuah pernikahan yang Tania pikir hanya akan terjadi sekali seumur hidupnya, itu berakhir.
Pernikahan yang bahkan dilakukan secara tertutup dari publik, demi 'melindungi' satu sama lain dari mengerikannya fans fanatik, tercederai oleh sebuah fakta yang Tania dapati. Bahwa Mars—suaminya—tak pernah mencintai Tania, yang dia dengar tanpa sengaja ujaran tersebut dari mulut Mars sendiri kepada Zinia tempo lalu. Wanita yang sebenar-benarnya Mars cintai.
Di mana setelah hari itu, hal yang Tania ketahui menjadi bom waktu bagi pernikahan mereka sampai tiba masa Mars menceraikannya, membuat Tania menelan berita kehamilan yang hendak dia sampaikan.
Bulat-bulat dia telan.
Biarlah hanya dirinya sendiri yang tahu.
Mars juga bilang, "Kita sudahi saja sampai di sini, Tan. Saya nggak mau membuatmu lebih menderita."
Saya?
Ya, lalu?
Abang gitu?
Tania tercekat.
Hari itu ....
Dengan mantap Tania mengangguk setelah menghela oksigen bak jarum menikam jantung. "Oke, kabari aja nanti kalo aku perlu datang ke persidangan. Atau ada berkas yang perlu aku tanda tangani."
Lantas, sorot mata mereka beradu. Di cermin itu. Tania ulaskan senyum tipis.
Esok ... kita akan menjadi asing.
***