“Jika selama ini baik-baik saja tapi mendadak berubah, perubahan itu akan terasa aneh. Pun meski perubahan yang terjadi bukan perubahan yang salah.”
Episode 10 : Aneh
Sunny masih terdiam, membiarkan keheningan semakin mencengkam. Apalagi, selain merasa sungkan kepada Sandy yang terus diam, Benny yang ia jaga juga sudah tidur.
Tadi, tak lama setelah meminum obat, Benny memang langsung mengeluh mengantuk dan tertidur dengan sendirinya. Padahal awalnya mereka sedang asyik mengobrol. Namun, obrolan itu hanya untuk Sunny dan Benny yang cenderung mengendalikan obrolan. Lain dengan Sandy yang begitu sibuk dengan ponselnya. Sandy sama sekali tak terusik meski Benny tertawa lepas sambil meliriknya.
Cara Benny bersikap terkesan sengaja menuntun Sandy untuk mengenal Sunny. Sunny pikir begitu. Hanya saja, yang bersangkutan sama sekali tidak peduli, hingga Sunny jadi tidak enak hati sendiri. Sunny takut kebersamaan yang terjadi tanpa ia rencanakan, disalah artikan oleh Sandy.
Dan yang membuat Sunny semakin tidak nyaman, tak lain mengenai Keandra. Pria itu belum menghubunginya. Pun meski dua jam telah berlalu dari kepergian pria itu. Apakah ada urusan sangat serius yang sampai menyita banyak waktu? Atau Keandra justru lupa, Sunny masih terjaga dan menunggunya? Namun kedua kemungkinan itu sangat bukan Keandra. Jangankan lupa, berpisah sebentar saja Keandra sibuk menghubunginya. Namun kini, kenapa kabar dari kekasihnya benar-benar sepi? Benarkah ada masalah yang terlampau serius? Tapi apa? Bukankah Keandra dan teman-temannya sangat jarang mengurus hal serius kecuali urusan musik dan bersenang-senang?
Sesekali, Sunny melirik Sandy yang terduduk di kursi seberang, persis di hadapannya. Mereka hanya tersekat ranjang keberadaan Benny. Yang membuat Sunny memperhatikan pria itu diam-diam, tak lain karena Sandy mengenakan baju rajut buatan perdananya dan seharusnya untuk Keandra.
Baju itu pas. Benar-benar tidak kebesaran atau kekecilan. Sunny menghela napas di tengah rasa tak percayanya. Semua kebetulannya dengan Sandy, semoga karena orang tua mereka bersahabat dan seharusnya mereka juga bersahabat jika Sandy berkenan.
“Kamu mau makan apa? Nanti aku pesenin.” Sandy masih serius dengan ponselnya.
Pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari Sandy, menyentak dan membuat Sunny terjaga.
“Nggak usah, Kak, makasih. Aku mau langsung pamit saja, sudah malam juga.”
Tatapan Sandy langsung teralih dari layar ponselnya dan terarah pada Sunny yang ada di hadapannya. Kemudian ia berangsur meninggalkan sofa tempatnya duduk, mengikuti apa yang Sunny lakukan. Wanita tak banyak bicara itu sangat sungkan kepadanya. Jangankan berbicara, menatapnya saja terlihat sangat takut.
Sunny berjalan cepat sambil menunduk setelah pamit kepada Sandy melalui senyum masam yang disertai anggukan.
“Sudah ada yang jemput?” ujar Sandy memastikan. Paling tidak ia harus melakukan itu, karena apa yang nantinya terjadi akan berimbas padanya dikarenakan selain Sunny baru saja menjenguk papanya, wanita muda itu juga anak dari sahabat baik papanya.
Sunny yang menghentikan langkahnya mengangguk kemudian balik badan. “Iya.”
Tatapan Sunny dan Sandy bertemu detik itu juga ketika Sunny balik badan. Dan yang membuat Sunny tidak mengerti, kenapa ia merasa aneh jika harus lama-lama menatap Sandy? Hal itu juga yang membuat Sunny kembali pamit.
“Ya.”
Jawaban Sandy benar-benar singkat. Sandy juga tidak mengantar Sunny dan biasanya sudah menjadi basa-basi rasa terima kasih telah dikunjungi. Di mana tak lama kemudian, Sunny juga kembali kacau dikarenakan Keandra tiba-tiba mengejutkannya dari belakang.
“Kok kaget begitu?”
“Karena kamu bikin aku kaget!” Sunny cukup mengomel. Apa yang Keandra lakukan nyaris membuatnya jantungan.
“Aku cuma pegang lengan ... biasanya juga gitu ...?”
Memang, apa yang Keandra katakan benar. Mereka sudah terbiasa berkomunikasi baik dengan cara romantis, atau justru jail. Sunny saja yang tidak fokus karena kepikiran rasa aneh pada tatapan menyebalkan Sandy yang tidak mengandung kepedulian apalagi kemanusiaan. Ada, pria seangkuh itu? Tapi tunggu, Sandy tidak sepenuhnya angkuh. Karena saat mengurus Benny, pria itu begitu tanggung jawab.
Dan andai saja Keandra tidak memeluk Sunny, mungkin wanita itu masih bertanya-tanya dengan rasa aneh yang dirasakannya kepada Sandy.
“Maaf, ya, kalau aku bikin kamu kaget,” lirih Keandra sambil mengelus kepala dan punggung Sunny penuh kasih sayang.
Keandra sampai menempelkan sebelah wajahnya pada kepala Sunny. Ia mengendus pelan aroma kepala yang selalu membuatnya rindu itu.
Sunny berangsur menengadah, menatap wajah Keandra yang masih memeluknya. Tiba-tiba saja, Sunny kembali dihampiri rasa aneh. Ia begitu merasa sangat bersalah pada Keandra. Apalagi, baju yang ia buat untuk pria itu justru ia berikan kepada Sandy. Karenanya, Sunny merasa telah melukai Keandra.
“Iya nggak apa-apa, aku juga minta maaf, ya?” ujar Sunny. Maaf karena hari ini aku banyak bohong ke kamu.
Keandra mengangguk sambil mengulas senyum pada Sunny.
“Kalau begitu ayo kita pulang,”
Keandra mengernyit. “Tapi aku belum jenguk saudara mama?”
Sunny menjadi gugup. Keandra nggak boleh sampai ketemu Sandy apalagi lihat Sandy pakai baju rajutku! Sunny buru-buru menuntun Keandra meninggalkan depan pintu ruang rawat Benny.
Tak lama setelah kepergian Sunny dan Keandra, Sandy keluar dari ruang rawat Benny. Ia tampak mencari-cari, tetapi tatapannya langsung tercuri pada Sunny yang berjalan sambil menggandeng sebelah tangan pria bertubuh tinggi. Sunny bahkan berjalan mundur karena terus berbincang penuh senyum dengan si pria yang sesekali mengelus kepala juga punggung hidung Sunny.
“Seharusnya Sunny baik-baik saja,” gumam Sandy.
Diam-diam Sandy menjadi mencemaskan Sunny. Ia takut Sunny tidak pulang dengan selamat. Karenanya, meski sempat berpikir positif setelah melihat kedekatan Sunny dengan si pria, Sandy yang sudah masuk ke ruang rawat Benny, kembali keluar dan menyusul kepergian wanita itu dengan tergesa.
***
“Sayang, baju rajut yang kamu bikin mana? Dingin banget.”
Sunny yang membonceng menjadi tak berkutik sesaat setelah mendengar permintaan Keandra. Membuat Keandra yang sudah menyalakan mesin motor dan hanya tinggal melaju, menjadi menunggu. Padahal, Keandra sudah sampai menggigil.
“N-ny? Kamu tidur? Hei, jangan tidur dulu ... tahu gini tadi mendingan kita naik taksi saja.” Selain tidak kehujanan serta merasakan efek dingin setelahnya, Sunny yang diketahuinya gampang tidur apalagi jika suasananya dingin karena hujan, tentu jauh lebih aman.
“A-aku belum tidur.”
“Iya. Jangan tidur dulu. Tidurnya nanti kalau sudah di rumah.”
Keandra yang sekarang berbeda dengan Keandra sebelum pergi dengan Leon dan Xan. Keandra yang sekarang begitu sabar sekaligus peduli kepada Sunny, kontras dari sebelumnya.
Sunny jadi menduga-duga, apakah sesuatu yang salah telah terjadi di pertemuan itu hingga sikap Keandra berubah menjadi dewasa? Biasanya, Keandra akan semakin sabar ketika pria itu sedang tidak baik-baik saja.
Keandra segera memacu motornya tanpa jadi meminta baju rajut buatan Sunny. Sunny sendiri masih belum tahu harus menjawab apa jika nanti Keandra kembali mempertanyakan baju rajut buatannya.
Sunny merasa sangat bersalah pada Keandra. Tak sekadar mengenai kebohongannya di rumah sakit, tetapi juga cara pria itu bersikap dan menjadi semakin peduli kepadanya, sedangkan di balik kepeduliannya, Keandra seperti sedang banyak pikiran.
***
Keesokan harinya, di jam makan siang, Sunny kedatangan tamu yang tak lain Xan. Pria itu menyambutnya dengan senyum ramah sambil memamerkan bekal rantang susun terbungkus kain.
Meski apa yang Xan lakukan patut diapresiasi bahkan syukuri, tetapi Sunny merasa aneh karena sebelumnya hubungannya dengan Xan serta sahabat Keandra lainnya, biasa-biasa saja. Sekadar bertukar sapa, pun itu ketika sedang bertemu langsung. Apalagi, selain Sunny tipikal introver yang sulit bergaul, Keandra juga sangat pencemburu. Tidak mungkin Sunny bergaul apalagi sampai dekat dengan pria lain termasuk dengan sahabat Keandra. Dan apa yang kali ini Xan lakukan justru membuat Sunny merasa aneh. Sunny bahkan bingung harus memberikan reaksi seperti apa? Haruskah ia mengabari Keandra lebih dulu? Atau setelah acaranya dan Xan selesai?
Dengan langkah yang menjadi loyo, Sunny berjalan meninggalkan Xan. Ia keluar dari hotel menuju sepetak taman di sebelahnya. Di sana ada beberapa bangku kosong yang biasanya digunakan untuk istirahat oleh pejalan kaki atau mereka yang kebetulan melintas.
“Aneh, ya?” ujar Xan dengan sisa senyum ramah yang masih menghiasi wajahnya.
Sunny tersenyum masam dan terlihat hanya basa-basi. “Tumben, ada perlu apa?”
Jika selama ini baik-baik saja tapi mendadak berubah, perubahan itu akan terasa aneh. Pun meski perubahan yang terjadi bukan perubahan yang salah.
Seperti apa yang Sunny rasakan pada perhatian Xan. Pria itu membuatkan bekal khusus untuknya. Ada sushi dan dimsum selain potongan sunkist. Tadi, Xan membuka bekal itu dengan penuh rasa bangga.
Sunny menghargai usaha Xan. Membuatkan bekal dan sampai mengantarnya. Hal yang belum pernah dilakukan Keandra sekalipun mereka sudah berpacaran lama. Namun sungguh, cintanya kepada Keandra tak sedikit pun berkurang hanya karena bekal pertama yang ia terima dari pria bukan dari kekasihnya.
“Ada salah satu kebiasaan orang luar, yang bila memberikan bekal, bertanda orang itu sedang mengungkapkan perasaannya. Dan jika bekal itu diterima, berarti—?” Sunny bertutur lemah. Tiba-tiba saja ia merasa kecewa kepada Xan yang seharusnya tidak melakukan apa yang kali ini pria itu lakukan. Tidak seharusnya Xan datang dan sampai memberinya bekal.
“Pergilah, Xan. Apa yang kamu lakukan sangat melukai Kean.”
“Tapi, Ny ....”
Sunny tak menanggapi. Wanita itu memilih pergi, mengunci hatinya rapat-rapat agar cintanya kepada Keandra tidak tergoyahkan.
Xan gelisah bergegas bangkit dari duduknya. “Ini tentang Kean. Aku datang ke sini karena dia!” serunya.
Langkah Sunny yang mulai menaiki anak tangga menuju beranda hotel tempatnya bekerja, terhenti. Xan merupakan simbol kebenaran di persahabatan Keandra. Sedangkan tadi pria itu mengatakan kalau kedatangannya berhubungan dengan Keandra.
Apakah maksud Xan juga berhubungan dengan perubahan Keandra yang jauh lebih perhatian namun pendiam?