Episode 9 : Rumah Sakit Dan Baju Rajut Merah

1822 Words
“Sunny tahu tak selamanya niat baik juga diterima dengan baik. Di mana terkadang, niat baik yang kita lakukan juga justru melukai orang lain.” Episode 9 : Rumah Sakit dan Baju Rajut Merah Senyum di wajah Sunny menepi tatkala ia keluar dari ruang rawat Neon. Wanita bermata besar bak boneka barbie itu seolah menyimpan banyak rasa sakit. Dan sesaat setelah termangu di depan pintu ruang rawat yang kopnya sampai ia tahan, Sunny melangkah loyo kemudian terduduk di bangku tunggu. Sunny duduk di bangku itu bertepatan dengan terbukanya pintu ruang rawat di hadapannya. Ada sosok yang ia kenal di dalam ruangan tersebut dan tengah berbaring tak berdaya. Sosok yang langsung mengingatkannya pada Sandy yang beberapa saat lalu sempat ia dapati mengunjungi hotel tempatnya bekerja, selain menjadi obrolan yang diperdebatkan oleh Keandra. Tak mau semakin penasaran apalagi kedua perawat yang keluar dari ruang tersebut juga sudah pergi, Sunny pun beranjak sambil bertanya-tanya di dalam hati. Apakah ia hanya salah melihat? Atau pria paruh baya selaku pasien di dalam hanya kebetulan mirip dengan ayah Sandy selaku sahabat mamanya? Dengan hati-hati, Sunny meraih kop pintu ruangan itu. Ia bahkan sengaja hanya sedikit membuka pintunya kemudian memastikan sosok yang kebetulan tengah menatap ke arah pintu. Tatapan pria paruh baya berkulit putih pucat tersebut kosong cenderung menahan rasa sakit. Seperti tatapan yang mendambakan suatu hal. Ternyata dugaan Sunny benar. Matanya tidak salah melihat karena pria itu memang Benny ayah Sandy. “Om ...?” Sapaan yang terdengar hangat penuh rasa peduli itu keluar begitu saja dari bibir mungil berisi milik Sunny seiring tubuh wanita itu yang berangsur memasuki ruang rawat Benny. Melihat Benny yang sedang sakit dan terlihat kesepian, membuat Sunny merasa sedih karena ia langsung membayangkan jika keadaan seperti itu juga menimpa Deris-ayahnya. Benny tak langsung menjawab. Sebab ia dibuat pangling pada wanita cantik nan ramah yang kiranya berusia di atas dua puluh tahun. Mungkin sekitar 21 atau 22 tahun usia wanita muda itu. Di mana, wajah wanita itu mengingatkannya pada kawan masa lalu. Ya, benar, sangat mirip dengan wajah sahabatnya saat masih muda dulu. Cantik dan begitu santun dengan tutur kata yang tertata. Menunjukkan jika selain cantik fisik, wanita di hadapannya juga tipikal sabar bahkan cerdas. Sunny melakukan semuanya dengan cepat dan hati-hati termasuk dalam langkahnya. Ia meletakkan tas lengannya di sofa sebelah ranjang rawat Benny. “Ini Sunny, Om. Anaknya mama Sofia,” setelah mengatakan itu, Sunny segera menyalami tangan kanan Benny dan tak lupa menciumnya. “Ya ampun, kamu Sunny anaknya Sofia? Pantas kayak nggak asing.” Benny tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Bahkan ia yang awalnya terlihat tak bersemangat langsung semringah. Benny mencoba menegakkan punggungnya dan terlihat kesusahan. Melihat itu, Sunny langsung membantu dengan sangat hati-hati. “Hati-hati, Om. Om butuh sesuatu? Om mau ke mana? Nanti aku bantu.” Suara lirih Sunny yang dipenuhi perhatian membuat hati Benny berbunga-bunga. Ia tak hentinya tersenyum bahkan menahan tawa sambil menatap wajah Sunny. “Kamu persis mamamu!” Sunny membalasnya dengan senyum yang begitu santun. “Om sakit apa?” ucapnya sembari duduk pada sofa kecil yang kebetulan tersedia di sebelah Benny. Benny mengangguk-angguk sambil menghela napas. Gayanya kini terbilang santai. “Om nggak sakit, kok. Cuma pengin nginep saja,” Sunny terkikik dengan kedua tangan menekap mulut. “Nginep kok di rumah sakit, Om? Nggak enak tahu! Nginep itu di hotel. Jalan-jalan. Senang-senang!” Benny tertawa. Tawa yang tak mengandung banyak suara. Karena selain suara Benny yang serak, napasnya juga tersengal-sengal. Dari kenyataan itu Sunny yakin Benny memiliki masalah pernapasan. “Omong-omong, kenapa kamu di rumah sakit juga? Kamu sakit juga? Atau ...?” Benny menaruh cemas atas pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibirnya yang kering dan terlihat jelas kalau tubuhnya kurang cairan. Sunny segera menepisnya dengan menggeleng pelan. “Nggak, Om. Kebetulan temanku dirawat di kamar depan. Eh yang lebih kebetulannya lagi, aku nggak sengaja lihat Om pas dua perawat tadi, keluar dari ruangan ini.” Benny menyimak penjelasan Sunny sambil terus tersenyum. Ia menatap mata besar yang memiliki bulu mata sangat lentik itu, di mana sesekali ia juga mengangguk pelan. Dikarenakan Benny terjaga seorang diri sementara di nakas seberang turut Sunny dapati jatah makanan yang masih utuh padahal jam makan siang atau sore sudah lewat, Sunny pun bertanya, “Om sendirian? Nggak ada yang nemenin?” Ada gurat kesedihan yang kembali menghiasi wajah Benny sesaat setelah pertanyaan Sunny terlontar. Tatapan berbinar Benny meredup, kembali seperti awal kedatangan Sunny—kosong dipenuhi kesedihan. Tak beda dengan pria tua yang harus menghabiskan sisa umurnya seorang diri dan membuatnya ditikam rasa sepi. Tiba-tiba Sunny ingat cerita Sofia. Tepatnya, sesaat setelah kedatangan Sandy ke rumah mereka dua minggu lalu, mamanya memang bercerita tentang keluarga Sandy. Karena selain Sandy kabarnya akan menikah dalam waktu dekat, pria itu juga sudah tak memiliki ibu dari sepuluh tahun lalu. Dan setelah teringat itu, tiba-tiba saja Sunny merasa sangat bersalah. Sunny tahu tak selamanya niat baik juga diterima dengan baik. Di mana terkadang, niat baik yang kita lakukan juga justru melukai orang lain. Namun sungguh, Sunny tidak bermaksud melukai Benny apalagi sampai membuat pria yang kepalanya sudah dipenuhi uban itu semakin merasa sakit, dengan luka tak berdarah dan biasanya terasa jauh lebih sakit dari luka-luka yang berdarah. *** Dari keempat pria yang ada hanya Neon yang tidak melepas kepergian Sunny. Pria itu masih dengan ekspresi bengis di tengah kesakitan yang menyekap. Begitu banyak kekesalan yang seolah ia pendam pada wanita berparas ayu itu. Padahal semuanya juga tahu, jika sebelum berpacaran dengan Keandra, Neon sempat mati-matian mengejar cinta Sunny. Kekecewaan bercampur rasa malu sempat membuat Neon krisis rasa percaya diri ketika mengetahui kalau ternyata Sunny dan Keandra justru sudah pacaran. Apalagi setelah Keandra sekeluarga pindah rumah dan ternyata bertetangga dengan rumah orang tua Sunny. Padahal baik Keandra maupun Sunny tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut karena bagi mereka setiap orang berhak mencintai, asal jangan menuntut balas untuk balik dicintai. Sebenarnya hubungan Keandra dan Sunny tidak seperti yang dipikirkan banyak orang. Karena selain mengecap Keandra menikung sahabatnya sendiri, mereka juga mengecap Sunny wanita pemilih. Sunny lebih memilih Keandra yang jauh lebih tampan sekaligus terkenal di sekolah. Padahal sebelum sama-sama menginjakkan kaki di bangku SMA, Keandra dan Sunny berteman baik di sebuah sosial media. “Kalau kamu minta maaf ke Sunny, kamu bisa cepat sembuh,” bujuk Xan. Neon menatap tajam Xan yang berdiri di sebelah Leon berseberangan dengan Keandra. “Aku juga sudah ngingetin kamu kalau semuanya selalu ada karmanya,” tambah Xan. Gayanya masih sangat tenang. Wajah yang selalu memberikan banyak kebenaran. “Kalau kamu nggak ada bahasan lain nggak usah ngomong deh. Atau kalau enggak, mending kamu pergi saja!” Susah payah Neon mengatakan itu dikarenakan lehernya yang di-gips jadi sulit digerakkan meski sekadar untuk bicara. Leon menghela napas dalam dengan wajah yang terlihat menahan lelah. Pandangannya terempas dan berhenti kepada Xan. “Mending kita cari makan di luar.” Kemudian ia menatap Keandra yang ada di hadapannya. “Kamu ikut, Kean. Ada hal penting yang harus kita bahas.” Merasa akan ditinggal serta diabaikan, Neon jadi panik. “Apa maksudmu membawa semua orang? Bagaimana kalau aku butuh sesuatu?!” Leon menatap santai Neon. “Bukannya kamu nggak butuh pendapat orang lain? Kenapa kamu justru mengharapkan bantuan dari orang lain?” “L-le!” Neon mendapatkan sakit luar biasa pada lehernya akibat ia yang nyaris bangkit memberi Leon pelajaran. Tanpa mengindahkan kembarannya, pun meski Neon jelas kesakitan sampai-sampai wajahnya menjadi merah padam, Leon tetap pergi diikuti Xan juga Keandra. Apa yang kalian lakukan? Apakah begini yang dinamakan persahabatan? Neon makin kesal. “Leon juga! Saudara macam apa yang justru tega pada kembarannya sendiri?!” rutuknya masih dalam hati. *** Keandra yang tidak mendapati Sunny menunggu di bangku tunggu depan kamar rawat Neon, langsung cemas. Wajahnya tampak waswas di mana kedua rekannya menjadi mengalami hal serupa hanya karena memperhatikannya. “Kenapa, Kean?” tanya Leon. “Sunny ke mana? Kok nggak di sini?” balas Keandra sambil mengambil ponselnya dari saku celana jin yang dikenakan. Leon menoleh pada Xan yang ada di sebelahnya. “Nggak bakalan hilang, Kean. Nggak usah sepanik itu.” “Jangan terlalu protektif ke pasangan. Akhir-akhir ini kamu jadi mengengkang Sunny.” Xan memberi peringatan. Panggilan telepon yang dilakukan Keandra pada Sunny tersambung. Dan meski nyaris telat menjawabnya karena Keandra saja sampai tak sabar menunggu, akhirnya suara Sunny terdengar. Xan dan Leon bertukar pandangan kemudian menggeleng tak habis pikir terhadap ulah Keandra yang begitu takut ditinggal Sunny. “Kamu di mana?” *** Sunny tengah menyuapi Benny ketika dering panggilan masuk menghiasi ponselnya. Namun karena itu dari Keandra, serta melihat keadaan sikap pria itu akhir-akhir ini, Sunny terpaksa pamit pada Benny untuk keluar sebentar. “Maaf, ya, Om. Sebentar.” Sunny yakin, Keandra akan berpikir macam-macam bahkan salah paham ketika ia jujur sedang menjaga Benny. Jadi ia sengaja meninggalkan pria itu lebih dulu untuk keluar sambil menjawab panggilan dari Keandra. “Aku di ruang rawat depan Neon, Kean.” Ketika Sunny keluar, wajah cemas Keandra langsung menyambutnya. Xan dan Leon menggeleng tak habis pikir sambil menghela napas atas ulah serta reaksi Keandra. “Saudara mama dirawat di sini.” Sunny terpaksa berkata seperti itu agar Keandra tidak berpikir macam-macam. “Saudara Mama?” ulang Keandra. Sunny segera mengangguk sambil mengakhiri panggilan telepon mereka. “Iya. Kamu mau jenguk juga?” “Sudah, nanti saja. Kan kita masih ada urusan,” ujar Leon. Setelah mempertimbangkan keadaan, akhirnya Keandra memilih pergi bersama Leon dan Xan. Ia akan menemui saudara yang sedang Sunny jenguk, setelah urusannya selesai. Keandra sendiri tak tahu urusan apa yang akan Leon bahas dengannya. Namun jika melihat dari gaya teman baiknya itu, sepertinya urusan yang dimaksud tergolong penting sekaligus serius. Ketika Sunny baru saja selesai menyuapi Benny, saat itu juga tiba-tiba Sandy datang. Pria itu bersin-bersin terlepas dari sebagian pakaiannya yang basah. Sandy cukup terkejut atas kehadiran Sunny di sisi Benny, yang bahkan sampai terjaga untuk papanya. Sunny tersenyum canggung lantaran Sandy menatapnya penuh tanya. “Kamu di sini?” ujar Sandy. “Iya, Kak.” Sunny mengangguk beberapa kali. “Kebetulan temanku juga dirawat di ruang rawat depan.” “Oh. ” Pandangan Sandy langsung teralih pada Benny. “Gimana, Pa, udah mendingan?” “Bantu Papa ke kamar mandi. Papa pengin pipis.” Sandy membantu Benny dengan sangat hati-hati. Cara pria itu memperlakukan Benny menyentuh hati Sunny karena baginya, tidak semua anak khususnya pria, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang tuanya yang sedang sakit. Dan sesaat setelah menuntun Benny yang masih bisa berjalan cukup lancar lengkap dengan menuntun tiang infusnya, fokus Sandy kembali teralih pada Sunny. “Maaf, ya, udah ngerepotin. Tapi makasih juga sudah bantu rawat papa.” “Iya, Kak. Sama-sama nggak usah sungkan.” Kemudian Sandy berlalu mengambil helai tisu dari nakas sebelah ranjang rawat Benny sambil sesekali bersin. Mendapati itu, Sunny teringat jika di dalam tasnya ada baju rajut yang ia buat dan kiranya muat untuk Sandy. Pun meski baju itu sengaja ia buat untuk Keandra. Bagi Sunny, Sandy jauh lebih membutuhkannya daripada flu pria itu makin parah. Ketika Sunny memberikan jaket rajut warna merah pada Sandy, pria itu terdiam sejenak hingga akhirnya karena bersin, Sandy sengaja menjaga jarak dari Sunny. “Aku sengaja bikin tapi kebesaran jadi sama sekali belum aku pakai. Aman.” Sunny terpaksa berbohong. Mana mungkin ia jujur jika pakaian lengan panjang itu ia buat khusus untuk kekasihnya sedangkan Sandy terlihat jauh lebih membutuhkan? “Wah kamu rajin juga, ya? Ini, benang yang kemarin itu?” Sunny hanya tersenyum masam sambil mengangguk. Apalagi, tak lama setelah itu, selain Sandy yang baginya tipikal irit bicara dan tidak suka basa-basi, dari kamar mandi, Benny juga memanggil Sandy, mengabarkan jika ia sudah beres dan minta dibantu lagi untuk tiduran. “Iya, itu benang yang kemarin dan sepertinya memang lebih berjodoh dengan Kakak,” gumam Sunny. Sebab andai saja tadi Keandra menerima tawarannya untuk mengenakan baju lengan panjang itu, tentu semuanya tidak akan sama. Namun, kenapa benang itu harus kembali pada Sandy? Meski tidak ingin memikirkan hal tersebut, tapi Sunny tetap kepikiran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD