HW - 04

1690 Words
Aryan marah besar pada Sela. Sejak Sela kecil, belum pernah Sela melihat sang kakek semarah ini padanya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena adanya usulan penggantian General Manager di AMARA. Ada kandidat lain yang disarankan mengisi kekosongan itu. Jika dalam waktu 3 hari tak ada tindakan apapun maka akan diadakan rapat besar para petinggi.  "Aku yakin tak ada kekurangan apapun yang aku berikan padamu. Kenapa kau membalasku seperti ini?"  Sela hanya duduk terdiam mendengar semua kalimat yang Aryan ucapkan. Di sofa lain ada Pasundanu yang memasang ekspresi misterius. Pasundanu memang selalu seperti ini. Isi kepalanya tak bisa ditebak.  "Sela janji, Opa, Sela akan dapatkan posisi itu."  Aryan sama sekali tak melirik cucunya itu. Sela pamit meninggalkan ruangan. Begitu keluar dari ruangan sang Opa, Sela berjalan lurus menuju lift. Rumi mengejar langkah sang atasan. Ia memandangi Sela bingung.  “Ibu mau ke mana?” Rumi berjalan cepat mencoba menyesuaikan langkah besar Sela. Jika tak terbiasa, Rumi mungkin akan kewalahan mengikuti Sela. Tapi Rumi sudah bekerja cukup lama dengan sang bos.  “Kampus.”  “Hah?” Rumi menggaruk tengkuk. Tapi mau tak mau Rumi tetap membukakan pintu mobil untuk Sela. Geza menekan pedal gas meninggalkan pekarangan AMARA.  Sela menarik napas dalam kemudian mengetuk pintu kaca di depannya.  “Silahkan masuk,” sahut suara di dalam. Sela mendorong pintu kemudian masuk.  Jalen mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia pegang. “Oh you again.” Pria itu menghembuskan napas pelan. “Kamu tahu dari mana saya di sini?” tanya Jalen to the point.  Sela suka jika mereka tak perlu berbasa-basi. Urusan mereka akan lebih cepat selesai.  “PA saya.”  “Kamu menguntit saya? Ini agak menakutkan.” Jalen benar-benar mengatakan kalimat itu dengan ekspresi yang cukup serius.  Sela tak akan terpengaruh. Ada hal yang lebih penting yang harus ia pikirkan.  “Saya akan langsung saja pada intinya. Alasan saya ke sini adalah untuk meminta bantuan anda.”  Alis Jalen terangkat. “Bantuan? Bantuan apa?”  Sela menatap Jalen tepat di manik mata. “Pernikahan.”  Jalen berdehem pelan. Ia masih duduk santai di kursinya dengan punggung bersandar ke sandaran kursi.  “Masih tentang itu? Bukannya pembahasan itu sudah selesai? Kalau saya tidak salah ini sudah ketiga kalinya kamu dan saya terlibat obrolan tentang pernikahan. Apa jawaban saya kurang jelas hari itu?”  Sela meremas tangannya.  “Akan saya ulangi sekali lagi. Dengarkan baik-baik. Tidak akan ada bantuan apapun dari saya. Keputusan saya sudah bulat bahwa saya tidak akan terlibat apapun dengan urusan kamu.”  Sial. Sela mati kutu. Jalen ternyata tak main-main dengan apa yang ia katakan.  “Simpan sedikit harga diri kamu untuk tidak meminta bantuan pada orang yang sama lebih dari 3 kali.”  Jalen memandangi jam tangannya. “Saya ada pekerjaan. Saya rasa obrolan ini sudah selesai sampai di sini.” Jalen bangkit dari duduknya. Pria itu kemudian menghentikan langkahnya, menumpu buku yang ia pegang ke atas meja. “Satu lagi, tolong jangan lakukan hal seperti ini lagi. Saya tidak ingin menuntut kamu karena mengganggu kenyamanan saya, jadi jangan pernah minta asisten kamu untuk melacak keberadaan saya lagi.”  “Tolong..” ucap Sela membuat langkah Jalen terhenti di depan pintu. Sela beranjak dari tempat duduknya. Perlahan Sela merendahkan lututnya, hingga akhirnya perempuan itu berlutut sempurna di lantai—di depan Jalen.  “Saya mohon. Saya mohon bantu saya kali ini.” Suara Sela terdengar sangat berat.  Jalen balik badan, melipat tangannya di d**a. Tak banyak perubahan pada raut wajah pria itu. Ekspresi pada wajahnya seolah menyiratkan bahwa Jalen sama sekali tak merasa terenyuh melihat ada perempuan berlutut di depannya.  “Apa kamu masih orang yang sama yang hari itu meminta saya untuk tidak ikut campur dengan urusanmu?”  Sela benar-benar tak peduli Jalen menyindirnya atau apa. Sela bahkan tak peduli jika Jalen merendahkannya. Sela hanya ingin Jalen setuju untuk membantunya. Sela akan lakukan apapun agar Jalen setuju. Sela tak punya banyak waktu untuk mencari jalan lain. Jalen benar-benar senjata terakhir yang Sela punya.  “Saya akan lakukan apapun asal Anda setuju untuk membantu saya,” ucap Sela mengabaikan pertanyaan Jalen.  Jalen akhirnya menghela napas. “Sejujurnya saya benar-benar tidak tertarik untuk terlibat dengan urusan kamu. Satu-satunya alasan saya setuju hari itu adalah karena Paman Aryan yang meminta bantuan langsung kepada saya. Saya sangat menghormati beliau. Selain itu tak ada alasan apapun untuk saya membantu kamu. Tapi kamu sudah menolak dengan tegas. Paman Aryan juga sudah mengatakan bahwa saya tak perlu lagi membantunya. Lalu untuk apa saya masih terlibat dengan urusan kalian?”  Tangan Sela mengepal kuat. Haruskah Sela memberitahu?  “Saya tahu kamu menggunakan saya untuk mendapatkan posisi General Manager AMARA. Tidak perlu terkejut begitu. Saya tahu semuanya. Dan itulah alasan hingga kamu bersedia berlutut sekarang. Saya benar?”  Sela tetap diam.  “Tapi apa untungnya bagi saya? Apa yang akan saya dapatkan kalau saya membantu kamu?” Jalen diam sebentar. “Apa saya akan mendapat bagian di AMARA?”  Sela sontak menatap Jalen tajam.  Tapi meski Sela tengah menatapnya tajam, Jalen justru terlihat santai dengan ekspresi tak berdosa. “Tapi saya tidak tertarik.” Ya jelas saja. AMARA tak ada apa-apanya jika ingin dibandingkan dengan G-Company.  “Ternyata kamu orang yang sangat ambisius,” ucap Jalen lagi. Baru beberapa menit dan Sela sudah mendapatkan cukup banyak kata-kata tajam dari Jalen.  “Apa anda bersedia membantu saya? Saya janji akan memberikan balasan yang setimpal,” ucap Sela tetap fokus pada tujuannya. Tak ada gunanya Sela meladeni kata-kata provokasi Jalen.  Jalen hembuskan napas. “Tidak perlu membalasku karena keputusanku tidak akan berubah. Aku tidak akan mengulang lagi kalimatku.” Jalen berbalik, menarik gagang pintu kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Sela dalam kebekuan. Sela benar-benar membeku di tempatnya.  ...  Jalen mengangguk sekilas saat ada mahasiswa yang menyapanya. Sepanjang langkah Jalen menuju parkiran, tak sedikit mahasiswi yang berteriak histeris. Bahkan ada yang dengan berani terang-terangan memotret Jalen. Tapi Jalen sama sekali tak terganggu.  Pria itu menyalakan mobil. Jalen meninggalkan area parkir dengan kaca mata hitam bertengger di atas hidung mancungnya. Tepat beberapa saat setelah Jalen berbelok..  Brakk.. ciiittttt.. Jalen menekan rem mendadak. Wajahnya nyaris membentur stir karena ia mendadak berhenti. Jalen segera keluar dari mobil.  Pria itu melepas kaca matanya dan menatap tak percaya pemandangan di depannya.  Sela, perempuan itu terbaring di aspal, tepat di depan mobil Jalen. Darah tampak keluar dari beberapa sisi. Sela bahkan masih memejamkan mata—meringis menahan sakit.  “Kamu gila, hah?!” Bentak Jalen saat menghampiri Sela.  “Aghhh..!” Sela menjerit saat Jalen memegang tangannya. “Sakit..”  Jalen meremas rambutnya. Ia menghela napas kasar kemudian dengan hati-hati diangkatnya Sela, digendongnya perempuan itu ke dalam mobilnya.  “Ada area lain yang sakit?” tanya Jalen. Ia memasang seatbelt dan Sela kembali meringis. Perempuan itu memegangi area dadanya. Jika dilihat dari ekspresinya, sepertinya Sela tidak berbohong. Jalen segera masuk ke dalam mobil kemudian melaju mobilnya menuju rumah sakit.  ...  “Bagaimana dokter?” Setelah hampir setengah jam akhirnya dokter yang menangani Sela muncul.  “Ada gumpalan darah di bagian rongga d**a. Kami perlu melakukan penyedotan. Apa anda keluarga pasien?”  “Iya dokter. Kapan prosedurnya akan dilakukan?”  “Secepatnya. Tolong siapkan dokumennya..” dokter itu pamit setelah menjelaskan. Perawat memberikan sebuah dokumen pada Jalen. Tanpa pikir panjang Jalen segera membubuhkan tanda tangannya pada dokumen itu.  “Apa tadi aku menabraknya cukup kencang sampai terjadi cidera separah ini?” Jalen membatin.  ...  Deru napas Sela terdengar teratur. Operasi sudah selesai. Tangan kiri perempuan itu dibalut perban. Dokter mengatakan kalau tangan Sela terkilir. Untung hanya terkilir. Yang tak Jalen mengerti adalah kenapa bisa ada gumpalan darah di d**a Sela? Jalen yakin ia tak melaju sekencang itu untuk membuat benturan keras hingga bisa menyebabkan cidera parah.  Kepalanya terasa sangat berat. Perlahan Sela membuka matanya. Bau obat langsung menyengat. Pemandangan dinding berwarna putih menyambut Sela tatkala mata perempuan itu terbuka sepenuhnya.  “Kamu udah sadar?” Sela langsung menoleh ke sumber suara. Ada Jalen di sana, duduk di kursi di samping tempat tidur Sela.  Sela mencoba merangkum semua ingatannya. Apa yang terjadi dan kenapa dia bisa ada di rumah sakit?  “Kamu tadi menjalani operasi. Ada gumpalan darah di rongga d**a dan dokter harus melakukan penyedotan.”  Sela mengernyit. “Ini jam berapa?” tanya perempuan itu.  “Jam 10.”  Sela menghela napas. Itu artinya dia sudah menghabiskan hampir seharian dengan kondisi tak sadarkan diri.  “Heyy kamu mau ngapain?” Tanya Jalen cepat saat Sela hendak bangkit.  “Mana ponsel saya? Saya perlu ponsel saya..”  “Tenanglah. Kamu mau mati, hah?!” Jalen akhirnya membentak saat Sela terus bergerak dengan kasar. Seketika Sela terdiam.  “Kalau mau mati tunggu urusan kita selesai. Buat surat pernyataan kalau aku tidak bertanggung jawab dengan kematian kamu.”  Jalen menghela napas. “Sudah tenang?” Jalen akhirnya menyerahkan ponsel Sela. Perempuan itu bergegas menyalakan ponselnya. Tak ada apapun di sana. Sela pikir ia akan menemukan banyak panggilan dari kakek atau papanya.  “Aku sudah memberitahu bawahan kamu apa yang terjadi tadi. Mereka sudah di sini tadi dan sekarang sedang keluar.”  Sela langsung melotot. “Hah? Apa Opa tau saya di sini?”  Jalen menggeleng. “Sepertinya bawahan kamu sudah mengurusnya.”  Sela sedikit lega. Sela tak ingin masalahnya bertambah runyam.  “Apa kamu sengaja menabrak mobil saya Nona Sela?”  Sela menoleh dan tatapan dua orang itu bertemu.  “Kamu rela mencelakai diri kamu demi mendapatkan posisi itu?”  “Saya akan lakukan apapun untuk mendapatkannya.”  Jalen menghembuskan napas pelan. Ia manggut-manggut. “Hmm baiklah. Aku akan membantu kamu. Tapi ini pertama dan terakhir.”  Seketika ada binar pada wajah Sela.  “Tapi aku punya syarat.”  “Apa?”  “Aku akan beritahu nanti.”  “Terima kasih banyak.” Sela terlihat sangat senang.  “Jangan lakukan lagi hal-hala berbahaya seperti ini ke depannya. Aku tidak peduli kamu membahayakan diri kamu. Tapi perbuatan seperti ini juga membahayakan orang lain.”  Sela bergumam pelan, mengiyakan perkataan Jalen. Terserah Jalen mau bicara apa. Yang penting Sela senang karena dia sudah mendapatkan bantuan.  “Mirsela Anata, izinkan aku bertanya satu hal..” Jalen menatap Sela dengan pandangan tak terbaca. “Apa kamu memang akan melakukan segala hal untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan?”  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD