"Kamu kenapa?" Yasmine meletakkan tasnya di atas meja bar. Ia menuju freezer untuk mendapatkan minuman dingin.
"Kamu dari mana?" Jalen balik bertanya.
"Toko."
Jalen manggut-manggut.
"Min, kamu tau AMARA, kan?"
"Tau lah. Kenapa?"
"Kamu tau pemimpin AMARA sekarang?"
"Terakhir aku taunya Pak Hamdan Syah. Tapi kabarnya posisinya kosong sekarang karena beliau kemarin mengundurkan diri pasca serangan jantung. Aku dengar kondisinya lumayan buruk sekarang."
"Hmm.."
"Kenapa tiba-tiba nanya soal AMARA?"
Jalen meneguk sisa air di dalam gelasnya. "Kamu tau anaknya Pasundanu Gaung?"
"Hmmm Mirsela? Kalau nggak salah dia Wakil GM kan? Nggak tau banyak sih tapi beberapa kali aku dengar berita tentang dia."
"Berita apa?"
"Macam-macam. Mostly sih soal attitudenya. Katanya attitudenya nggak terlalu bagus. She's kinda arrogant and cold hearted." Yasmine terdiam sebentar. "Tapi siapa yang nggak sombong kan jaman sekarang. For me it's kinda normal. Tergantung sudut pandang orang-orang. Setiap orang punya standar berbeda tentang sombong."
Jalen mengangguk membenarkan.
"Some people say that i'm very arrogant. Meanwhile the people around me tell me the opposite. So yeah. Nggak semua orang bisa mengerti dan memahami kita. Nggak perlu terlalu terpengaruh."
"Tapi dia emang sombong. That's true. And.."
"And.."
"Ambisius."
Yasmine tiba-tiba tertawa. "Kalau ngeliat dari cara kamu ngomong aku simpulin kamu nggak suka sama dia. Apa dia pernah bikin kamu kesal?"
"Just don't like her personality."
Yasmine manggut-manggut. "Aku nggak akan nanya lebih banyak. Kamu mau ke mana habis ini?"
"Kampus."
"Ada jadwal ya? Okelah."
"Kamu balik ke kantor?"
"Iya. Seperti biasa."
"Eh Min.."
"Hm, kenapa?" Yasmine menoleh ke belakang.
"Katanya Kak Al akan collab sama Studio X."
"Oh ya? Aku nggak tau. Dia nggak ngomong apa-apa." Yasmine tersenyum tipis kemudian berlalu menuju kamarnya. Jalen pandangi sebentar sampai punggung Yasmine hilang dari pandangan. Pria itu beranjak dari tempat duduknya.
...
Jalen fokus mengajarkan materi yang terpampang di layar. Tapi sebagian dari mahasiswi tidak memperhatikan slide itu melainkan fokus pada wajah dan gerak tubuh Jalen. Ada yang diam-diam memotret dengan ponsel mereka.
"Apa ada pertanyaan?" Jalen menyudahi penjelasannya. Ia mengalihkan pandangan ke seluruh mahasiswanya.
Hening...
"Pak.." seorang mahasiswi mengangkat tangannya. "Apa ada project khusus untuk tugas ini?" Gadis itu bertanya dengan malu-malu. Wajahnya merona karena Jalen tengah memandanginya lurus. Satu-satunya cara agar mendapat perhatian Jalen adalah dengan bertanya. Bertanya atau memberikan pendapat. Itulah kenapa mahasiswi di kelas ini tiba-tiba menjadi sangat aktif dan "pintar".
"Ada." Jalen menekan keybord laptopnya. Tak lama tampilan pada layar berubah. "Silahkan dipahami. Jika ada yang tidak mengerti silahkan ditanyakan."
"Oh iya satu lagi, tolong diingat, setiap kelompok harus ada pria dan wanita. Saya tidak akan mengizinkan kelompok dengan full pria dan full wanita untuk presentasi. Jadi tugasnya hanya akan saya nilai dari laporan yang dikumpulkan saja. Tidak ada perbaikan"
Terdengar keluhan.
"Bisa dimengerti?"
"Bisa Paaakkk!!"
"Kelas selesai sampai di sini. Sampai berjumpa minggu depan." Satu persatu mahasiswa meninggalkan kelas.
"Permisi, Pak.." seorang mahasiswi menghampiri Jalen.
"Iya. Ada apa?" Jalen tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
"Saya ingin bertanya, Pak, kenapa kelompok dengan full wanita atau full pria dilarang?"
Jalen akhirnya mengangkat wajahnya. Ia pandangi mahasiswinya itu beberapa detik. "Kenapa bertanya sekarang?"
"Saya merasa tidak etis bertanya di hadapan yang lain, Pak."
Jalen menghentikan kegiatannya. Pria itu menghembuskan napas pelan. "Tidak etis? Dari segi mana tidak etis?"
Gadis itu terdiam.
"Itu pertanyaan umum dan tentu boleh ditanyakan. Saya tidak melarang kalian untuk bertanya jika ada kata-kata saya yang tidak sesuai dengan pendapat kalian." Jalen menutup laptopnya. "Menurut kamu kenapa saya tidak mengizinkan kelompok dengan formasi seluruh wanita atau seluruh pria?"
"Karena Bapak tidak percaya kami bisa menyelesaikan pekerjaan kami."
"Salah. Bukan karena itu. Saya tidak peduli kalian akan menyelesaikannya atau tidak. Itu tanggung jawab kalian dan bukan urusan saya. Alasan saya meminta kalian bergabung itu supaya kalian berbaur. Sekarang mungkin kalian bisa memilih ingin bekerja sama dengan orang yang kalian sukai saja. Tapi itu tidak akan berlaku di dunia kerja. Kamu mengerti sekarang?"
Mahasiswi itu tampak terdiam oleh kata-kata dan penjelasan Jalen. Ia mengangguk pelan kemudian pamit.
"Ih caper banget sih ni cewek satu," ujar seorang mahasiswi di luar ruangan yang menyaksikan perbincangan itu sejak awal.
"Tau nih. Sok-sok nggak suka sama Pak Jalen, padahal kerjanya caper mulu. Sukurin. Dikira Pak Jalen bakal tertarik kali sama dia.."
Jalen mendengar perkataan mahasiswinya itu, namun memilih untuk tak peduli—seperti biasa.
Getar ponsel mengalihkan perhatian Jalen. Ia meletakkan barang-barangnya di atas meja kemudian menjawab panggilan itu.
"J, udah selesai ngajarnya?" tanya suara di seberang.
"Udah."
"Masih ada jadwal lain?"
Jalen menghempaskan pantatnya di kursi. "Nggak."
"Bisa ke Bogor kan berarti?"
"Jadi sekarang?"
"Jadi."
"Oke."
"Oke. See you.." Jalen melipat lengan kemejanya. Ia membereskan barang-barangnya kemudian meninggalkan ruangan. Jalen menyalakan mobilnya lalu melaju meninggalkan area kampus.
...
"Gimana menurut kamu?"
Jalen mengamati sekeliling ruangan. Ia manggut-manggut. "Not bad."
Lane tersenyum. "Lumayan kan? Jadi ini aja?"
"Hmm.." Jalen memeriksa beberapa sisi dengan lebih teliti. "Jadi ini bakal dijadiin gallery?"
"Hm. Gallery, studio, dan mini kafe."
"Bagaimana, Mas, Mbak?" Si agen properti kembali. Pria berkaca mata itu tersenyum penuh harap.
"Iya, Mas, saya ambil yang ini.."
Wajah si agen properti berbinar seketika. Ia segera menuntun Lane untuk menjelaskan tentang surat menyurat. Jalen mengikuti di belakang.
Akhirnya urusan itu selesai. Dokumennya akan selesai dalam beberapa hari. Jalen dan Lane tengah makan di sebuah restoran khas Sunda. Menikmati waktu siang dengan makanan favorit Lane itu.
"Jadi bakal pindah ke Bogor?"
"Cuma beberapa bulan aja sih buat persiapan aja. Kalau udah opening dan stabil, udah balik. Yang di Jakarta nggak mungkin ditinggal."
Jalen mengangguk-angguk kecil.
“Good luck. Semoga berjalan lancar dan sukes.”
Lane tersenyum. “Makasih. Ini aku tiba-tiba ngajak nggak bikin berantakan jadwal kamu, kan?”
“No. Kenapa ngomong gitu? Kayak kita baru kenal aja..”
Lane menatap teman baiknya itu. Lane sendiri kadang masih tak percaya bahwa ia bisa berteman dengan pria di depannya ini. Ini Jalen, pria yang paling susah untuk didekati. Lane sendiri merasa bahwa Jalen ini bukan jenis orang yang mudah untuk digapai. Itulah kenapa Lane menolak lamaran Jalen, beberapa waktu yang lalu. Ya, Lane menolaknya. Bukan Jalen yang kurang, tapi kepercayaan diri Lane yang kurang.
“Kamu baik banget, J. Kadang aku ngerasa aku nggak akan pernah bisa balas kebaikan kamu.”
Jalen tersenyum tipis. “Aku nggak minta dibalas. Kapan aku pernah ngomong gitu?”
“Aku tau. But yeah..” Lane mengendikkan bahunya.
“Take it easy. Nggak semua hal perlu dibicarakan dan dipikirkan. Aku baik bukan karena kamu meminta atau apapun. Aku baik emang karena aku pengen. Jadi nggak ada yang perlu dibalas. Kita nggk sedang berbisnis.”
Inilah Jalen yang Lane kenal. Really a good man. Benar-benar baik sampai Lane sendiri kadang takut menerimanya. Sebab Lane tahu Jalen tak begitu pada semua orang. Bahkan kakaknya sendiri, Raysa, juga mengatakan hal yang sama. Jalen baik saat dia memang ingin baik. Bukankah Lane beruntung menjadi satu di antara jumlah yang sedikit itu?
Ponsel Jalen berdering, memecah perhatian mereka. Lane menikmati makanan penutup yang baru datang, sembari menunggu Jalen selesai menelfon. Tapi beberapa waktu berlalu Jalen tak kunjung menjawab panggilan itu.
“Kenapa didiemin hapenya?” Lane akhirnya bertanya.
“Nggak penting.”
Lane pun memilih tak ambil pusing. Tak ada panggilan kedua. Mungkin memang Jalen benar bahwa telfon itu tak penting.
“Kapan mulai renovasi?”
...
Jalen memasuki unit apartemen setelah Geza membukakan pintu. Pria itu melangkah dengan wajah datar menuju ke bagian dalam apartemen. Sela tampak sedang berkutat dengan laptopnya di ruang tengah. Wajahnya masih pucat. Bahkan sangat pucat. Sebab harusnya Sela masih dirawat di rumah sakit. Dia belum seharusnya meninggalkan rumah sakit.
“Silahkan duduk,” ujar Sela menoleh pada tamunya. Satu tangannya mengenakkan armsling. Sela bergerilya di atas keyboard hanya dengan satu tangan.
Jalen kemudian duduk. Pandangannya masih tertuju lurus pada perempuan yang kemarin ditabraknya itu. Hampir seharian Sela tak sadarkan diri pasca operasi. Bahkan bagi orang normal saat ini akan sulit bagi mereka untuk membuka mata. Harusnya mereka memang sedang tidur atau istirahat. Tapi Sela justru duduk di sofa, berkutat dengan laptop.
“Kenapa kamu keluar dari rumah sakit?” Jalen membuka obrolan. Tak lama Geza datang mengantar minuman untuk Jalen. Setelahnya pria itu pamit, menunggu di tempat lain.
“Saya nggak punya banyak waktu. Berbaring di rumah sakit hanya membuang waktu saya.”
Ekspresi Jalen tak berubah. “Waktu lebih penting dari nyawa kamu sendiri?”
Sela menoleh. Ia terdiam selama beberapa waktu. “Tenang saja, saya tidak akan menuntut anda kalau terjadi sesuatu pada saya. Soal kecelakaan kemarin itu salah saya, saya minta maaf.” Sela sudah mendapatkan kembali semua kesadarannya. Tadi malam dia terlalu pusing hingga tak bisa berpikir jernih.
“Saya hanya punya waktu sampai besok,” tambah Sela. “Jadi ada banyak hal penting yang harus diselesaikan sekarang. Anda tidak berubah pikiran kan untuk membantu saya?”
Tatapan Jalen tertuju lurus pada Sela. Namun tak ada kegentaran di hati Sela ditatap Jalen sedemikian rupa. Fokus Sela tertuju pada hal lain.
“Tidak,” jawab Jalen akhirnya. “Apa yang harus saya lakukan?”
Sela menghembuskan napas lega. Ia kemudian menjelaskan kondisinya pada Jalen. Apa yang harus mereka lakukan dan apa saja yang perlu dipersiapkan. Jika semua berjalan lancar, kurang dari satu minggu Sela akan dapatkan posisi General Manager. Sela tak akan lupa untuk berterima kasih pada Jalen nanti.
“Enam bulan. Cukup enam bulan saja. Sisanya saya yang akan mengurusnya. Setelah enam bulan, saya tidak akan mengganggu anda lagi.” Sela berkata dengan sungguh-sungguh.
Jalen pandangi berkas-berkas di depannya. Semua benar-benar sudah dipersiapkan. Pria itu hembuskan napas pelan. Jalen mengambil pena di atas meja lalu membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu.
Di mata Jalen, Sela benar-benar seseorang yang sangat ambisius dan Jalen sangat tak menyukai perempuan itu. Alasan Jalen mau membantu Sela adalah karena Aryan Gaung. Jalen berhutang pada pria itu. Jalen juga tahu bagaimana sayangnya Aryan Gaung pada AMARA. Jika Aryan sekeras itu ingin Sela menjadi General Manager di AMARA, tentu ada alasan di baliknya. Tapi Jalen tak akan dan tak ingin ikut campur. Keterlibatan Jalen hanya sampai enam bulan ke depan. Setelahnya Jalen tak akan terlibat lagi dengan urusan Aryan terutama yang berhubungan dengan Sela. Perempuan itu sudah masuk dalam blacklist Jalen.
Jalen benar-benar tak nyaman berada di dekat putri pertama Pasundanu Gaung ini.
***