Seharusnya Sela memang masih di rumah sakit. Kondisinya belum pulih betul dan dia memang belum mendapat izin untuk meninggalkan rumah sakit dari dokter. Tapi pagi ini Sela ngotot ingin pulang. Geza tak punya pilihan selain mengabulkan permintaan Sela karena ternyata memang ada masalah genting di perusahaan. Posisi tinggi memang tak pernah bisa dibiarkan kosong terlalu lama, kan?
Sela terdiam di hadapan sang kakek. Tadi Geza pikir Sela ingin diantar pulang ke apartemen. Tapi ternyata Sela malah minta diantar ke rumah orang tuanya. Di mana ternyata di rumah itu pun ada Aryan Gaung, kakek Sela.
"Kakek rasa tak ada yang kurang Sela. Semuanya kakek berikan padamu, sejak kamu kecil." Kalimat itu akhirnya keluar lagi setelah sekian tahun tak Sela dengar. Kalimat yang akan menguliti Sela hidup-hidup. Kalimat yang akan memporak-porandakan hatinya.
"Apakah ada yang membuatmu merasa kurang?" Aryan Gaung tak bertanya. Ini adalah bentuk tekanan yang ia berikan pada Sela. Ketika bujukan dan kata-kata halus tak lagi berhasil, maka Aryan akan menyerang hati kecil sang cucu.
"Apakah ada yang kurang dari kami untukmu?"
Sela menggeleng perlahan. 24 tahun dan Sela masih di titik yang sama. 24 tahun dan kenyataan itu belum berubah. Sela nyaris lupa. Tapi takdir seperti tak mengizinkan Sela untuk lupa.
"Lalu jika tak ada yang kurang, kenapa kau ingin memberikan AMARA pada orang lain?"
Aryan benar-benar tak akan membiarkan Sela lupa pada kenyataan.
"Apa kau tak mau berkorban sedikit untuk keluargamu?"
Berkorban sedikit? Sela rasanya ingin tertawa. Pernikahan bagi keluarganya hanyalah pengorbanan kecil?
"Sela akan menikah, Opa." Akhirnya Sela mengambil keputusan itu. Sela tak ingin Aryan mengatakan lebih banyak hal yang akan membuat Sela kecewa. Meski Aryan tegas, Sela tak ingin punya ingatan buruk tentang sang kakek.
"Dengan siapa? Kau punya calon? Jalen sudah menolaknya."
Sela menarik napas dalam. Apapun yang terjadi, Sela akan membawa calon suaminya bertemu sang kakek. Bagaimanapun caranya, Sela akan menjadi General Manager di AMARA. Toh Sela sudah mempersiapkan diri sejak dulu. Sela tak akan biarkan usahanya menguasai AMARA gagal hanya karena hal kecil ini.
...
Sela pasti sudah tak punya malu. Ya. Sela sudah menelan semua rasa malunya. Demi AMARA, Sela akan lakukan apapun, bahkan jika ia harus menjatuhkan harga dirinya sekalipun. Siang ini Sela nekat menemui Jalen. Sela baru mendapat kabar kalau ternyata Jalen punya andil besar di perusahaan Games milik G-Company. Tentang hal ini sepertinya tak banyak orang yang tahu.
Sela harus menunggu karena Jalen masih punya tamu. Sela beruntung karena resepsionis tetap mengizinkannya menunggu dan tak langsung mengusirnya sebab datang tanpa janji. Sela mengedarkan pandangan sesaat ke gedung yang sedang ia tempati ini. Desainnya benar-benar modern layaknya perusahaan games.
Majalah di tangannya cukup menarik perhatian Sela. Majalah ini tak banyak menceritakan tentang Jalen. Bahkan di majalah ini pun tak disebutkan kalau Jalen pernah menjabat sebagai CEO saat awal perusahaan ini dibangun. Jika bukan karena Geza, mungkin Sela tak akan tahu apa-apa. Majalah ini hanya menceritakan orang-orang yang kini menjabat di perusahaan ini. Bagaimana perusahaan bernama OseFa Inc ini berkembang dan apa saja yang sudah diraih oleh perusahaan ini. Karena ketelitian Sela, ia berhasil menemukan nama Jalen terselip di beberapa halaman.
Sela segera bangkit dari duduknya saat akhirnya orang yang ia tunggu menampakkan diri. Tampak Jalen tengah berjalan keluar dari lift bersama perempuan yang ia lihat di rumah sakit tempo hari. Jalen tampak berbicara dengan resepsionis. Entah apa yang mereka bicarakan. Jalen langsung menoleh pada Sela, tapi hanya beberapa detik saja. Jalen mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya.
Sela pikir Jalen menoleh dan mengangguk itu sebagai pertanda iya. Nyatanya Sela salah sebab Jalen malah melengos melewatinya begitu saja. Jalen benar-benar melewatinya seolah ia tak ada di sana.
“Tuan Jalen!” Akhirnya Sela memanggil. Jalen menghentikan langkahnya. Sela bergegas mengejar.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jalen enteng.
“Maaf menganggu acara anda, tapi saya ingin bicara.”
Jalen pandangi Sela beberapa saat sebelum ia memberikan respon.
“Bicara dengan saya? Apa saya mengenal anda?”
Rasanya Sela seperti mendapat sebuah tamparan. Cara Jalen bertanya bukan seperti sedang mengolok atau menyindir. Tapi ekspresi yang Jalen tunjukkan benar-benar memperlihatkan bahwa ia tak mengenal Sela. Sesaat Sela jadi ragu apa ini adalah Jalen yang sama. Sela takut jika ternyata Jalen punya kembaran dan Sela salah mengenali.
“Saya Mirsela Anata, cucu Aryan Gaung.”
“Oh. Lalu ada urusan apa dengan saya?”
Sela benar-benar harus sabar.
“Ada hal penting yang harus saya bicarakan.”
“Katakan saja di sini.”
Sela melotot kaget. Refleks ia menoleh ke perempuan cantik yang berada di samping Jalen. Tidakkah Jalen mengerti arti kata penting yang Sela ucapkan?
“Ini penting dan saya ingin bicara empat mata saja dengan anda.”
Jalen memandangi jam tangannya. “Sekarang saya tidak bisa. Silahkan buat janji dulu dengan Asisten saya.” Setelahnya Jalen melanjutkan langkahnya, meninggalkan Sela yang melongo seperti orang bodoh. Benar-benar seperti orang bodoh.
...
Selama hidupnya, Sela sudah bertemu dengan banyak sekali tipe manusia. Ada yang sombongnya sampai langit ke tujuh. Ada yang suka pamer tapi otaknya kosong. Ada yang polosnya kelewat polos. Ada yang bermuka dua. Ada yang penjilat. Ada juga yang naif dan berlagak terlalu idealis. Sudah banyak karakter manusia yang Sela hadapi. Jalen ini menurut Sela masuk ke tipe jinak-jinak merpati. Tipe orang yang suka main tarik ulur. Jika bukan karena terdesak, Sela pasti tak akan mau berurusan dengan Jalen. Sebab Sela punya urusan yang jauh lebih penting yang harus ia urus daripada mengikuti permainan Jalen.
Mendapat sikap ‘kasar’ dari Jalen beberapa hari lalu tak lantas membuat Sela menyerah begitu saja. Kenapa Jalen? Kenapa Sela tak mencari saja orang lain? Bukankah alasannya jelas? Karena Aryan Gaung ingin Jalen. Kalaupun Sela membawa pria lain ke hadapan sang kakek, pasti akan tak akan mudah bagi Sela mendapatkan ‘iya’.
Sela hanya harus bersabar dan mengikuti permainan Jalen. Dengan begitu maka semua rencananya akan berjalan dengan lancar seperti yang sudah ia rencanakan selama ini. Sela hanya harus bertahan sedikit lagi. Ya sedikit lagi.
...
Sela menghela napas lega saat akhirnya melihat Jalen muncul dari sisi depan restoran. Ia sudah membuat janji dengan PA Jalen dan katanya Jalen mau datang. Sela tak peduli apa Jalen terlambat atau tidak. Baginya yang penting Jalen datang. Sela hanya punya waktu 1 minggu untuk mewujudkan pernikahan ini. Atau jika tidak ia harus melewati perjuangan panjang lagi untuk mendapatkan posisi General Manager AMARA.
Jalen langsung duduk begitu dia sampai.
“Mau langsung atau mau berbasa-basi dulu?” Jalen memandangi Sela lurus di manik mata. Ingat, Sela sudah bertemu banyak pria penuh manipulasi seperti Jalen ini. Jadi Sela tak akan terkecoh.
“Langsung saja. Terima kasih sebelumnya karena anda bersedia memenuhi undangan saya. Tujuan saya meminta anda ke sini adalah untuk membahas obrolan kita tempo hari.”
Alis Jalen terangkat. “Obrolan yang mana?”
“Permintaan Opa saya..” haruskah Sela menjelaskan kembali pada Jalen?
“Soal menikah?”
Sela harus akui kalau Jalen benar-benar pandai dalam berbicara dan mengendalikan emosinya.
“Iya..” akhirnya Sela menjawab.
“Bukannya kamu sudah menolak bantuan saya? Kenapa membahas itu lagi? Saya pikir kamu tipikal orang yang tidak membahas hal yang sama dua kali. Apalagi kalau hal itu sudah mendapat keputusan bulat sebelumnya. Bukan begitu?”
Sela berusaha keras untuk tak terpengaruh oleh provokasi Jalen. Bagaimanapun Sela tak boleh kalah. Tak boleh tersulut emosi. Selama ini Sela selalu berhasil mengendalikan emosinya apapun yang terjadi. Kali ini pun Sela tak boleh gagal.
“Kegagalan itu pantang, Sela.” Kalimat sang Kakek terngiang-ngiang di kepala Sela.
“Sebelumnya itu kesalahan saya. Saya mengambil keputusan terlalu cepat. Setelah saya pikir lagi, Opa saya pasti punya alasan kenapa minta bantuan anda.”
Jalen tiba-tiba mengangkat tangannya dan memandangi jam yang melingkar di sana. Sela tahu itu jam yang sangat mahal. Sela juga tahu itu jam limited edition. Yang Sela tak tahu adalah bahwa itu adalah hadiah yang Jalen dapatkan di ulang tahun ke 21 nya. Dan Jalen sangat menyayangi jam itu.
“Kamu sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk menyadari bahwa Opa kamu punya alasan meminta bantuan saya.” Ini murni sebuah sindiran. Bahkan jika Jalen tak menyindir pun, Sela akan tetap menganggap kalimat ini sebagai sebuah sindiran.
“Tapi maaf, saya sudah berubah pikiran. Saya sudah tak punya keinginan lagi untuk membantu kamu. Sebelumnya saya mau membantu karena Opa kamu. Tapi sekarang beliau sudah tak memberatkan apapun lagi kepada saya. Jadi sudah tak ada alasan bagi saya untuk membantu kamu.”
Sela terdiam. Tapi entah apa yang ada di dalam kepalanya mendapat penolakan dari Jalen.
“Saat saya bilang iya maka itu iya. Saat saya bilang tidak maka itu artinya tidak. Saya tidak mengulang hal yang sama dua kali. Saya tidak membuang-buang waktu untuk sebuah keragu-raguan. Saya rasa sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan. Saya permisi dulu.” Jalen bangkit dan berlalu begitu saja. Air nya saja tak disentuh oleh Jalen. Sela menatap punggung tegap Jalen yang perlahan menjauh lalu hilang.
Apa Sela telah kalah?
...
Dering ponselnya Sela biarkan berdering. Agisti terus menelfon entah karena apa. Begitu benda pipih itu mati, Sela segera mencabut baterainya. Sela sedang tak ingin diganggu.
Layar iPad menyala menampilkan sebuah panggilan video call masuk. Sela segera menjawab panggilan itu. Tak lama tampak wajah lucu seorang anak kecil berumur sekitar 4 tahun muncul di layar. Bocah laki-laki itu tertawa sembari melambaikan tangannya. Di belakangnya tampak seorang pria yang cukup dewasa dengan perawakan bule yang khas ikut tersenyum pada Sela.
Ketiganya mengobrol dengan sangat seru. Sejenak Sela melupakan segala gundah yang sedang mengganggunya. Sejenak Sela tampak seperti manusia normal pada umumnya.
***