HW - 06

1354 Words
Mood Jalen hancur seharian. Parah.  Saat sampai di gallerynya, Jalen tak keluar lagi dari ruangan. Pegawai gallery bahkan tak berani untuk menghampiri Jalen sebab belum pernah mereka melihat Jalen semenakutkan ini. Biasa saja sudah susah untuk bicara dengan Jalen. Apalagi jika pria itu dalam suasana hati yang seperti ini. Tak ada yang berani bahkan untuk bertanya Jalen ingin minum apa.  "Pak Jalen ada jadwal jam 3 ini rapat ke OseFa." Pria yang bekerja sebagai Asisten Jalen itu menghela napas. Ia ingin mengingatkan Jalen tapi terlalu takut untuk mengetuk pintu.  "Lo tau nggak?"  "Apaan?"  Beberapa pegawai itu saling mendekat untuk dapat mendengar lebih jelas.  "Dulu Pak Javier juga kayak gini. Kayak Pak Jalen."  "Hah? Maksudnya gimana? Maksud lo kejam dingin gini?"  Perempuan berambut pendek itu mengangguk. "Parah banget pokoknya mah. Gue denger-denger ceritanya waktu itu Pak Javier belum nikah sama Buk Risa. Ngeri banget katanya Pak Javier mah. Kalau sesuatu nggak sesuai keinginan dia, nggak ada kata ampun."  "Ihh serius lo? Ngeri banget sih."  "Iya. Pokoknya Pak Jalen sekarang ini persis kayak Pak Javier waktu muda. Bahkan katanya dulu ada pegawai yang dikasih syarat aneh sama Pak Javier. Kalau syarat itu dilanggar pegawai itu bakal dipecat. Padahal pegawai itu nggak salah apa-apa. Pak Javier kayak tiba-tiba nggak suka aja sama pegawai itu."  "Trus pegawai itu gimana nasibnya?"  "Nggak tau gue kalau itu. Kayaknya sih nggak jadi dipecat."  "Trus kok bisa Buk Risa menaklukkan orang kayak Pak Javier? Iya sih Buk Risa cantik banget. Tapi kayaknya banyak juga cewek cantik yang bakal ngejar-ngejar Pak Javier. Gue yakin itu Pak Javier selingkungannya cewek cantik semua."  "Kalau itu gue nggak tau. Mungkin Pak Javier luluh karena Buk Risa baik orangnya."  "Cuma karena itu? Kok kayak nggak meyakinkan."  Perempuan itu mengendikkan bahunya.  Asisten Jalen kembali pandangi pintu di depannya. Pria itu menghela napas. Apa yang harus ia lakukan?  ...  Jalen menatap lurus layar komputernya. Layar komputer itu menampilkan sebuah pesan. Entah email dari siapa. Meski matanya tertuju lurus pada layar, tapi pikiran Jalen tidak ada di sana. Tak pernah Jalen merasa emosinya meluap setinggi ini. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah Mirsela Anata, perempuan yang beberapa jam lalu ia akui sebagai istrinya.  Jadi beberapa jam yang lalu Sela membawa Jalen menemui Aryan Gaung dan Pasundanu Gaung. Mereka membicarakan tentang langkah apa saja yang harus dilakukan. Sebenarnya tak banyak yang mereka bicarakan sebab Sela seperti sudah mengurus semuanya. Jalen terima beres. Pertemuan mereka berisi penjelasan Aryan Gaung tentang beberapa pertemuan yang harus Jalen hadiri bersama Sela.  Semuanya berjalan lancar. Tak ada masalah. Ya, pertemuan itu lancar. Tapi pertemuan itu berjalan dengan d**a Jalen dipenuhi oleh kobaran api. Jalen marah besar. Tadi sebelum berangkat ke AMARA, Jalen menjemput Sela lebih dulu. Meski akhirnya Jalen menunggu di tengah jalan karena Sela mengatakan akan menyusul. Jalen tak perlu menjemputnya ke apartemen. Lalu di sanalah semuanya dimulai.  Sela datang. Perempuan itu datang dengan baik. Tapi Jalen tak melihat lengan Sela dibalut perban. Tak ada perban ataupun armsling untuk melindungi tangan Sela yang kemarin terkilir. Apa Sela memalsukan cideranya? Tidak. Sama sekali tidak. Perempuan itu memang sakit. Tapi Sela melepaskan semua pengamannya karena tak ingin ada yang tahu bahwa ia terluka. Terutama Aryan Gaung. Sela tak ingin Opanya tahu bahwa ia terluka.  Sela memakai riasan dengan lipstik berwarna bold. Tampak sekali ia tengah berusaha keras menutupi kondisi dirinya yang sedang tidak sehat.  Jalen benci sekali orang seperti Sela. Jalen benci orang dengan sifat manipulasi yang tinggi. Di mata Jalen, Sela ini benar-benar bermuka dua. Jalen sangat tak menyukai Naomi dulu. Tapi rasa tak sukanya pada Sela bahkan melebihi dari rasa tak sukanya pada Naomi. Jika saja bukan karena Aryan Gaung dan karena dirinya sudah berjanji, Jalen benar-benar tak ingin terlibat dengan Sela.  Kepalan tangan Jalen menguat. Bahkan amarahnya masih bertahan hingga detik ini.  Jalen menghela napas kasar.  "6 bulan. 1 hari aja udah mau gila rasanya." Jalen mulai menyibukkan dirinya dengan komputer. Lebih baik ia membaca surat-surat ini daripada memikirkan hal yang tak penting.  ...  Dua hari kemudian..  "Papa udah dengar beritanya?" Shawn menghempaskan pantatnya di sofa. Javier sedang duduk di sofa sembari memainkan iPad.  "Soal?"  "AMARA. General Manager yang baru udah naik tadi."  "Oh ya? Siapa? Papa belum dapat beritanya."  "Mirsela Anata, anak Pasundanu Gaung yang paling tua."  "Wah. Keren," puji Javier.  "Apanya yang keren?" Jalen ikut nimbrung.  "J, tadi Pak Ajun nelfon Papa, katanya peluncurannya ditunda."  Jalen mengangguk. Obrolan tentang AMARA terlupakan seketika.  "Aku udah kasih pilihan. Aku nggak larang mereka buat lanjut. Tapi kalau mereka tanya pendapat aku ya menurut aku produknya belum bisa diluncurkan sekarang."  Javier tak membantah kata-kata sang putra. Meski Jalen tak memegang jabatan operasional apapun di OseFa, tapi bisa dibilang Jalen masih memegang kendali atas jalannya OseFa Inc. Pendapat Jalen masih memegang pengaruh besar di perusahaan games milik G-Company itu.  "Kamu jangan terlalu keras ke mereka, J," Shawn ikut menimpali.  Jalen menggeleng pelan. "Aku nggak keras. Aku melakukan apa yang menurut aku perlu aku lakukan. Kalau oke ikut kalau enggak ya nggak perlu. Kalau mereka punya ide lebih baik ya silahkan."  Jalen adalah Jalen. Memahami Jalen memang gampang-gampang susah. Kadang dibutuhkan kesabaran dan ketelitian untuk bisa memahami bungsu Bunda Risa ini.  "Pak Ajun ngadu ke Papa ya?" Tanya Shawn begitu adiknya itu pergi.  Javier mengangkat dagunya pelan. "Biasa." Shawn lantas geleng-geleng karena sudah sering bertemu dengan situasi seperti ini.  "Bunda.." Jalen mengetuk pintu. Ia kemudian masuk setelah mendengar sahutan dari dalam.  "Bunda lagi ngapain?"  "Ngadem aja. Panas banget habis menanam bunga sama Nana.."  "Bunda sama Nana nih hobinya aneh-aneh aja. Kok suka banget nanem bunga di tengah siang bolong. Udah tau panas.." Jalen mengomel dengan lucu. Risa langsung tersenyum. Jalen naik ke tempat tidur kemudian berbaring di samping Risa.  "Ini kenapa kok dahinya berkerut?" Risa mengusap dahi sang putra.  Jalen menggeleng. Ia tak menjawab ataupun merespon pertanyaan Risa.  "Lagi kesal sama siapa?"  "Ada."  Risa manggut-manggut. Jika Jalen tak menyebut namanya itu tandanya ia tak perlu tahu. Jalen tak akan mengatakannya meski ditanya.  "Udah lama kayaknya anak Bunda nggak kesel. Udah dibawa sholat belum?"  "Hm. Nggak mempan. Habis sholat masih aja kesel."  Risa kembali tersenyum. "J.."  "Hmm?"  "Ngerujak yuk.." ajak Risa.  Kening Jalen mengerut. Ia menoleh pada sang Bunda. "Kenapa nih tiba-tiba? Tumben. Bunda nggak lagi aneh-aneh kan?"  "Aneh-aneh gimana?" Risa tertawa mendengar pertanyaan Jalen.  "Ngidam."  Tawa Risa pecah. "Ih ada-ada aja kamu. Ngidam dari mana? Bunda nggak ngidam."  "Itu tiba-tiba pengen ngerujak. Bunda nggak hamil kan?"  "Emang kalau Bunda hamil kamu ngizinin?"  "Kok izinnya ke aku?"  "Ya kan Jalen yang bungsu. Jadi Bunda tanya ke Jalen. Emang mau punya adik?"  "Hmmm, ya nggak masalah sih. Kan itu haknya Bunda. Yang hamil kan Bunda. Emang masih kuat apa punya anak lagi?"  Bahu Risa bergetar karena tawa. "Bunda cuma bercanda. Bunda nggak hamil. Kamu nih aneh-aneh aja. Bunda emang mau ngerujak dari tadi, Nana udah ngajakin, tapi tadi Shawn nggak ngasih izin soalnya Nana perutnya lagi nggak enak."  "Ohh. Nana kenapa?"  "Biasa lah perempuan."  Jalen manggut-manggut. "Jadi mau ngerujak? Ajakin Nana nggak?"  "Boleh deh. Tanya dulu Nana udah baikan belum perutnya.." Risa dan Jalen beranjak meninggalkan kamar.  "Na.." Jalen mengetuk pintu. Tak lama pintu kamar terbuka.  "Hng, kenapa?" Namira muncul.  "Masih sakit perutnya?"  Namira menggeleng. "Udah ilang sih. Kenapa? Eh kok tahu aku lagi nggak enak perutnya?"  "Bunda. Ini mau ngerujak. Ikut nggak?"  "Ih pengeenn. Tapi masih ada Mas Shawn kan di bawah?" Namira mencebikkan bibir. Awalnya dia sudah bersemangat. Tapi semangatnya pudar seketika. Namira tak yakin Shawn akan memberinya izin.  "Perutnya beneran udah enakan kan? Udah nggak nyeri lagi?"  Namira menggeleng.  "Udah yuk.."  "Eh.." Namira mengekor di belakang. Tampak Bunda dan yang lain sudah di dapur. Papa di singgasananya seperti biasa. Di tempat duduknya memperhatikan Bunda yang sedang meracik bumbu rujak.  "Nana udah baikan perutnya, katanya mau ikut ngerujak. Nggak banyak, dikit aja." Jalen bicara dengan satu tarikan napas.  Namira melotot. Ia tak bilang akan makan sedikit. Jelas saja Namira ingin makan sampai puas.  "Kalau dikit boleh," sahut Shawn.  Jalen mengangguk. Namira hanya bisa menghela napas pasrah. Memang dia bisa apa?  ...  Jalen mengenakkan jasnya. Ia menuruni tangga. Sebelum pergi tak lupa Jalen pamit pada Papa dan Bunda. Mobil sport kuning itu melaju meninggalkan pekarangan istana Javier Gomez.  Malam ini adalah makan malam pertama Jalen dan Sela.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD