Jalen melangkah memasuki bangunan bergaya klasik itu. Pelayan yang bertugas langsung mengantar Jalen ke ruangan yang direservasi. Begitu pintu terbuka, Jalen langsung memberi salam sekilas dengan sedikit menunduk. Di dalam ruangan itu ada Pasundanu, Aryan, dan juga Sela. Jalen merasa seperti sedang melakukan urusan bisnis. Padahal sebenarnya semua ini tak ada sangkut paut dengan dirinya.
Aryan mempersilahkan Jalen untuk duduk. Sela hanya menoleh sekilas pada Jalen sebelum ia kembali duduk diam dengan pandangan tertuju lurus ke piringnya.
“Terima kasih sudah datang,” sambut Aryan dengan senyum hangat. Jika Jalen tak mengenal Aryan dengan baik, mungkin ia sudah mengklaim pria itu sedang bermuka dua.
Pelayan lalu datang mengantarkan makanan yang sudah dipesan sebelumnya. Empat orang itu makan dengan khidmat. Steak di dalam piring terlihat sangat nikmat.
“Bagaimana kegiatan kamu sekarang Jalen? Apa masih terasa menyenangkan saat mengajar?”
Jalen mengangguk. “Tidak banyak yang berubah, Paman.”
Aryan tersenyum. “Melihat kamu benar-benar membuat Paman teringat pada masa muda Paman dulu. Sayangnya Paman harus melepaskan salah satunya. Paman jadi rindu mengajar di kampus. Apa mahasiswa jaman sekarang seru untuk diajak berdiskusi?”
Kedekatan dan kecocokan antara Jalen dan Aryan dimulai karena kesamaan hobi keduanya. Baik Jalen maupun Aryan sama-sama suka mengajar, memberikan ilmu pada orang lain. Jika bukan karena ia harus fokus pada AMARA kala itu, mungkin Aryan sudah dapatkan gelar Profesornya sekarang. Tapi itulah hidup. Tak selalu kita bisa melakukan semua yang kita sukai. Kadang memang kita harus mengorbankan salah satu untuk mendapatkan hal lain yang lebih baik. Kenyataan hidup yang tak bisa dihindari.
Ini makan malam atas undangan Sela. Tapi sejak setengah jam yang lalu tak ada obrolan apapun yang terjadi di antara Sela dan Jalen. Mereka duduk bersebelahan. Tapi terasa seperti berada di dua dunia berbeda.
“Kalau Danu sama sekali tak punya hasrat dan keinginan untuk mengajar. Sejak kecil dia sudah fokus pada dunia bisnis. Sama seperti Sela.” Akhirnya nama Sela disebut. Gadis itu menoleh sesaat sebelum kembali menikmati makanannya.
“Setiap manusia punya ciri khas yang berbeda, kan, Jalen?” tanya Pasundanu. Jalen tersenyum tipis dan mengangguk.
Selama satu jam hanya Jalen, Aryan, dan Pasundanu yang mengobrol. Ketiganya tampak berbincang dengan seru meski Jalen hanya menjadi pihak yang merespon. Kadang pun ia hanya tersenyum dan mengangguk. Sela sempat menoleh dua kali pada Jalen dan ia selalu mendapati Jalen tengah tersenyum. Senyum yang tak pernah Sela lihat sebelumnya. Beberapa kali pertemuan mereka tak sekalipun Sela melihat Jalen tersenyum. Tadi pun Sela sempat mengira Jalen akan diam saja saat mereka makan. Tapi nyatanya Jalen banyak merespon Aryan dengan senyuman. Mungkinkah karena keduanya memang sudah saling kenal dan dekat?
Obrolan mereka malam ini nyaris tak menyinggung apapun tentang Sela dan Jalen. Bahkan bisa dibilang tak ada bahasan tentang Sela. Mereka justru banyak membahas tentang dunia pendidikan dan perkembangan teknologi. Aryan bilang dia tertarik untuk membangun sebuah perguruan tinggi. Di saat terakhir makan malam mereka barulah Aryan membahas sedikit tentang hubungan Jalen dan Sela. Hubungan? Ya, hubungan bisnis. Kontrak pernikahan palsu. Apa bahkan pantas disebut hubungan bisnis? Jalen bahkan tak dapat apa-apa dari kontrak itu. Sepertinya Jalen hanya murni menolong Sela saja.
Jalen menghembuskan napas pelan. Ia sudah selesai dengan semua makanannya.
Aryan berterima kasih atas bantuan yang Jalen berikan. Aryan juga menyinggung tentang imbalan yang akan ia berikan pada Jalen nanti.
“Terima kasih sebelumnya atas undangan makan malam ini. Makanannya sangat lezat.” Jalen terlihat serius meski masih ada seulas senyum di bibirnya. “Aku juga berterima kasih atas imbalan yang akan Paman berikan. Paman mengenalku dan Paman pasti mengerti bagaimana aku saat memberikan bantuan pada orang lain.”
“Iya, Jalen, Paman sangat mengerti. Paman tau kamu tidak akan menerimanya. Tapi untuk kali ini Paman benar-benar ingin kamu menerima hadiah yang Paman berikan. Paman merasa tak enak padamu. Kau pasti mengerti juga bagaimana karakter Paman..”
Jalen diam sesaat. Akhirnya Jalen mengangguk kecil. “Baiklah. Aku akan menerimanya.”
Senyum terbit di wajah Aryan dan Pasundanu. Keduanya terlihat sangat senang karena Jalen mau menerima pemberian mereka.
Setelah berbincang sebentar, Jalen pun pamit. Kali ini Jalen tak kembali sendirian. Sela ikut bersamanya karena Jalen bilang ada yang ingin ia bicarakan dengan Sela. Keduanya pamit pada Aryan dan Pasundanu.
“Papa yakin Jalen bisa dipercaya, kan?” tanya Pasundanu begitu hanya tersisa ia dan Aryan saja di dalam ruangan.
“Kamu tenang saja. Papa ingin melindungi AMARA melebihi kamu, Danu. Papa tidak memilih sembarangan orang. Jalen ini adalah pilihan terbaik kita.”
Pasundanu manggut-manggut.
“Tapi, Pa, apa tidak masalah membiarkan Sela dan Jalen dekat?”
Aryan menoleh pada sang putra.
“Bagaimana kalau terjadi sesuatu di antara mereka? Papa tau kan kalau sejak awal aku ingin Cristal yang bersama Jalen, bukan Sela.”
Aryan tersenyum penuh misteri. “Papa mengenal Sela dengan baik. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Sela itu punya target sendiri. Papa yakin dia tidak akan membuang-buang waktunya dengan hubungan seperti itu.”
Ya, Aryan mengenal Sela melebihi siapapun. Meski Sela kadang tak bicara, Aryan tetap tahu semua hal tentang cucunya itu. Aryan tahu betul bahwa cinta tak ada dalam kamus Sela. Itulah kenapa Aryan terus menekan Sela sebab ia tahu letak kelemahan cucunya itu.
...
“Mau ke mana? Apa tidak bisa membahasnya di sini?” Sela mengenakkan jaketnya. Udara dingin menyapa kulitnya. Perempuan itu meringis saat harus memasukkan tangan kirinya ke lengan Jaket. Alhasil Sela tak jadi memasukkan tangan kirinya. Ia biarkan saja lengan jaket tersampir di bahu. Jalen menyaksikan semua itu dalam keheningan. Harusnya Sela bisa meminta bantuan pada Jalen. Tapi sama sekali tak ada pertanda bahwa Sela akan melakukannya. Apa mungkin bahkan Sela ingat untuk meminta bantuan?
Tadi Sela sangat pendiam seolah ia tak bisa bicara. Tapi begitu ia dan Jalen berada di luar, Sela tak mau repot-repot menunggu untuk bertanya.
“Tidak.” Jalen masuk ke dalam mobilnya. “Masuk.”
Sela menghela napas. Ia menurut dan masuk tanpa bertanya lagi. Jalen melaju mobilnya meninggalkan private restoran itu.
Drrtt.. drtt.. Sela merogoh tasnya mencari ponselnya yang bergetar. Nama Geza tertera di layar.
“Saya udah di jalan. Ntar saya telfon aja kalau saya minta jemput.”
Sela diam sebentar. Mungkin Geza sedang bicara.
“Emang masih ada apotek buka jam segini?”
“....”
“Terserah kamu saja.” Lalu telfon itu selesai. Sela menoleh pada Jalen yang terlihat fokus mengemudi.
“Kita mau ke mana sebenarnya? Oh iya saya belum berterima kasih pada Tuan Jalen. Terima kasih banyak atas bantuannya. Juga saya ingin mengucapkan terima kasih untuk kesediaannya menghadiri pertemuan dengan Dewan Direksi minggu depan. Setelah itu kalau tidak ada masalah mendesak, saya tidak akan mengganggu Tuan Jalen lagi.”
“Hm.” Jalen hanya merespon dengan gumaman singkat. Jalen sedang sangat malas bicara. Ada banyak yang ingin Jalen katakan tapi tidak sekarang.
“Asisten kamu di mana?”
“Hah? Siapa? Geza?”
“Memang kamu punya asisten lain?”
“Tidak.”
Hening.
“Saya tidak tahu Geza ada di mana. Ada apa?”
Jalen tak menjawab. Sela pun tak bertanya lebih lanjut. Sela tampak sibuk berkutat dengan ponselnya. Tak lama perempuan itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga.
“Halo Rum, kamu udah kirim yang revisi kan?” Sela mengangguk. “Iya sama yang dokumen 2 juga ya. Kirim ke email saya sebelum jam 10. Kamu nggak usah khawatirin saya. Urus aja kerjaan kamu. Iya saya udah makan.”
Jalen sama sekali tak menoleh meski ia pun sebenarnya tanpa sadar fokus mendengarkan obrolan Sela dengan orang di telfon.
“Eh..” Sela mengerutkan dahi saat Jalen tiba-tiba menghentikan mobilnya di pinggir jalan. “Kenapa berhenti?”
Jalen tak menjawab. Ia turun dari mobilnya. Karena bingung Sela juga ikut turun. Sela makin bingung saat Jalen berjalan menghampiri penjual ketoprak yang membuka dagangannya di sana. Entah apa yang Jalen bicarakan pada si penjual, ia kemudian duduk di salah satu kursi yang kosong. Sela akhirnya menghampiri sebab tak ada tanda Jalen akan segera kembali.
“Ngapain di sini?” tanya Sela.
“Kamu nggak liat itu ada yang jualan di depan?”
“Ya liat.”
“Terus?”
Sela mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia pandangi si penjual dan Jalen bergantian.
“Mau makan?” tanya Sela lagi masih belum yakin dengan dugaannya.
“Ya makan, masa saya buang air besar di sini.”
Sela melotot. Kalimat Jalen terlalu frontal. Dahi Sela makin mengerut. Kenapa Sela merasa Jalen seperti sedang kesal padanya? Sela yakin ia tak melakukan kesalahan apapun.
Sela akhirnya menghela napas pelan. Tak ada gunanya juga ia berdebat dengan Jalen. Sela punya pekerjaan yang lebih penting.
“Jadi sebenarnya anda mau membicarakan tentang apa?”
“Ini Mas..” si penjual mengulurkan piring berisi ketoprak pada Jalen. Pria itu menerimanya kemudian mulai menikmati ketopraknya.
“Saya makan dulu,” jawab Jalen akhirnya.
“Hah?” Raut wajah Sela mulai berubah—kesal. “Terus saya nunggu di sini?”
Jalen mengangkat wajahnya. Satu alis pria itu terangkat. “Mau duluan juga boleh.”
“Pake apa?” Tak ada taksi yang lewat. Melihat angkot yang baru melewatinya membuat bulu kuduk Sela merinding. Bisa-bisa Sela tak sampai di rumah.
“Terserah kamu. Kenapa tanya saya? Jalan kaki juga bisa kalau kamu mau.”
Tangan Sela mengepal. “Bapak sengaja ya?” Akhirnya Sela tak bisa menahan emosinya.
“Apa?” tanya Jalen enteng bahkan tanpa menoleh.
Sela terlihat berusaha keras menahan emosinya. Ia tak ingin marah di sini, tidak pada Jalen. Sela ingat ia berhutang pada pria itu.
Jalen kembali menoleh saat Sela tiba-tiba duduk di kursi di depannya. Tak ada respon apapun dari Jalen. Ia kembali makan dengan tenang.
“Mau makan juga, Mbak?” Tanya si abang penjual.
Sela menggeleng. Alhasil Sela terpaksa menunggui Jalen makan. Pria itu benar-benar tak bicara sampai dia selesai makan. Benar-benar menguji kesabaran.
***