11. Memangnya Gue Kenapa?

1134 Words
Devan mengerjapkan matanya perlahan, disertai rasa sakit kepala yang menderanya. Belum saja matanya terbuka sempurna, terdengar suara berisik yang sarat akan unsur bahagia.  "Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun juga, nak!" Devan merasakan dahinya dikecup, dan rambutnya diusap. Lalu salah satu tangannya terasa diangkat, lalu dielus. Sisi kanan kiri ranjangnya terasa dihenyakkan. Setelah matanya terbuka sempurna, yang Devan lihat adalah; ayahnya, bundanya, oma opa Di, oma opa Ri, dan dua orang sahabatnya, Dimas dan Darrel. Juga Zona.  "Ya Allah, Dev! Akhirnya lu bangun juga, anjir! gue takut, lu kenapa-napa, tau gak?!" Darrel mulai rusuh tak ingat tempat. Dan langsung mendapatkan tempelengan bodoh dari Zona. Membuat pemuda itu meringis.  "Dev, lu gapapa beneran?" Devan mengrenyit.  Bundanya mengelus dahinya dengan lembut. "Sayang, denger Bunda, nak?" Devan tentu saja mengangguk. Jelas-jelas, Bundanya itu berada di hadapannya, pastinya ia mendengarnya.  "Nak, denger Ayah?" Kali ini, Devan memandang Ayahnya, dan mengangguk samar.  "Alhamdulillah!" semua mendesah lega.  Devan semakin merasa aneh. Ada apa sih, emangnya? "Ya udah, Bunda mau ke bawah dulu ya, sayang. Jangan banyak gerak dulu, hemm?" Dinda baru saja hendak berdiri, namun suara Devan mengintrupsi.  "Bun-da?" Dinda kembali menoleh. "Iya, sayang. Kenapa nak? Butuh sesuatu?" Devan menggeleng, lalu tersenyum. "Gak papa." "Ya udah, di temenin Dimas, Darrel sama Bang Zona dulu, hemm?" Devan mengangguk. Membiarkan ayah, bundanya pergi, meninggalkan kamarnya. Darrel, Dimas dan Zona tersenyum senang. Akhirnya, Devan mereka sadar. Bukan Devan yang terkukung dalam rasa takutnya lagi.  "Kalian ketempelan?" Senyum ketiganya tiba-tiba hilang, berubah menjadi kesal. Devan mereka yang menyebalkan kembali. Aihh! Harusnya mereka sudah mengantisipasi sejak awal.  Zona bodo amat, ia langsung berjalan cepat, lalu menerjang tubuh Devan dengan pelukan.  "AHHHH a***y, GUE KANGEN BANGET SAMA LU, NYET! SUMPAH!" Darrel dan Dimas tak mau kalah. Mereka kompak memeluk Devan, bahkan sampai Devan yang awalnya berbaring itu hingga terduduk, akibat ditarik oleh mereka.  "ANJRIT! AKHIRNYA LU BALIK JUGA DEV!" seru Darrel.  "LU BIKIN KITA TAKUT, SYALAN EMANG LU!" kali ini, Dimas bersuara.  "WO-Y! SE-SEK!" Devan berteriak, di antara rasa sesaknya itu.  Kompak Zona, Dimas, dan Darrel melepaskan pelukan mereka dari Devan. Membiarkan pemuda itu mengumpulkan napasnya, yang hanya satu dua itu.  "AHHH POKOKNYA KITA SENENG, LU UDAH BAIK-BAIK AJA!" pekik Darrel heboh.  Devan menggaruk tengkuknya.  "Emangnya gue kenapa?" Hilang sudah kesenangan dan senyum dari ketiga pemuda itu. Digantikan dengan perasaan kesal.  Kok, Devan nyebelin ya?!  -----D----E----V----A----N----- Nadhira menunduk dalam diam. Memejamkan matanya, agar air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar tertahan. Dadanya sesak, terasa terhimpit. Ingin rasanya ia berteriak protes, di atas apa yang tengah ia alami sekarang.  Di depan sana, Anggi, adik dari almarhum ayah angkatnya tengah mengomelinya. Di samping Anggi, ada Putra. Suaminya, juga ada Hanum. Orangtua dari Ayah angkatnya. Nadhira sudah pasrah, akan apa yang bakal ia alami kedepannya. Pulang sekolah ini, harusnya ia langsung pergi bekerja di toko fotokopi, sebagai sampingannya ketika tidak bekerja di kafe. Tapi, salah seorang tetangga menelponnya, dan berkata, bahwa keluarga angkatnya datang ke rumah.  Dan, disini lah ia sekarang. "Kami sudah berbaik hati, agar kamu tetap dirawat oleh kakak saya. Dan, setelah kakak saya tiada, apa pantas, kamu berleha-leha di dalam rumah peninggalan mereka?" Nadhira hanya diam, mendengarkan seluruh ucapan Anggi.  "Kakak saya itu, terlalu baik! Tapi saking baiknya, dia jadi seperti ini padamu." Nadhira merasa, ucapan Tante Anggi terlalu berbelit-belit. Kepalanya pusing mendengar ocehan tak jelas, dari Tante Anggi. Ia pun memberanikan diri, mengangkat wajahnya. "Sekarang tante mau apa?" tanya Nadhira pelan. Sebisa mungkin, ia tak berteriak di depan Anggi. "Apa tante mau aku bersujud di kaki tante, atau apa?" Anggi tertawa. "Kamu bercanda?!" katanya. "Saya, tidak akan melakukan hal bodoh, dengan memintamu bersujud di kakiku. Melihatmu saja, aku mau muntah! Apalagi melihatmu bersujud di kakiku!" Cukup! Nadhira tak sanggup dengan apa yang dikatakan oleh Anggi.  Apakah dia sehina itu?  "Kamu itu anak haram! Makanya dibuang oleh orangtua kandungmu! Dan, sialnya.... hidupmu itu cukup beruntung, karena Almarhum Kakakku, berbaik hati memungutmu dari panti asuhan, dan membesarkanmu!" Sudah beratus kali, Nadhira disinggung, akan siapa dia sebenarnya. Akan status dirinya, dan asal muasalnya hadir ke dunia ini. Apa tidak cukup sekali? Mendengarnya saja, Nadhira muak. Ia lelah. Ia ingin hidup, dipandang seperti orang lain. Toh, anak hasil di luar nikah di dunia ini bukan dirinya saja! Masih banyak di luaran sana yang nasibnya sama seperti dirinya. Tapi, apakah hanya dia, yang nyaris setiap detiknya disinggung akan asal usulnya? Sehina apakah dirinya?  "Kamu itu, bukan anak dari kakakku! Jadi, tak ada hak sedikitpun kau memiliki rumah ini, dan tinggal di sini!" Nadhira kembali menunduk.  Kali ini, Putra, suami tante Anggi bersuara. "Hak waris, bagi sepasang suami istri tanpa keturunan, akan jatuh kepada keluarganya! Bukan kepada anak yang diangkat mereka! Jadi, jika kau pintar, dan otak bodohmu itu masih digunakan, pastinya kau tau, apa maksud kami, 'kan?" Nadhira tau, jika akhirnya ia akan mendengar kata-kata ini. Astaga.... ia tak rela, dan tak akan pernah rela, meninggalkan rumah ini. Rumah dengan berjuta kenangan, bersama almarhum-almarhumah orangtua angkatnya. Tapi, harus bagaimana lagi?  "Barang-barang mu, sudah kami kemaskan semuanya! Jadi, silakan angkat kaki dari rumah ini!" Hanum bersuara.  Nadhira mengangkat wajahnya kaget. "Ne-Nenek... Nadhira mau tinggal di mana?" air mata Nadhira akhirnya meluruh. Tak kuasa lagi ia bendung. Isakannya terdengar memilukan. Sakit. Hatinya terasa sakit. Ia hanya gadis biasa, dan memiliki hati yang mudah rapuh.  "Saya tidak peduli,mau tinggal di mana kamu setelah ini!" ujar Hanum congkak. "Mau tinggal di jalanan, kek, di mana kek. Itu urusan kamu! Masalah kamu! Yang jelas, saya ingin, kamu meninggalkan rumah ini segera! Karena saya, tidak mau melihat kamu, menempati rumah peninggalan putra saya ini!" Braakk!  Nadhira dikagetkan dengan sebuah tas besar berwarna hitam yang dilempar ke dekat dirinya.  Brakkk!  Sebuah ransel besar berwarna hitam pun turut dilemparkan.  "Itu, pakaian dan buku bukumu! Semua barang barangmu, sudah tak bersisa lagi di sini!" ujar Putra. "Termasuk, foto mendiang kakak kami, yang ada dirimu di dalamnya! Kami muak, melihat wajahmu!" "Harusnya, kamu bersyukur! Karena kami, masih mau memasukkan barang barangmu ke dalam tas, agar kau tak lagi repot memasukkannya!" Anggi bersuara.  "Ta-tapi, Tante...." "Gak ada tapi-tapian! Keluar dari rumah ini, sekarang juga!" Hak Nadhira atas rumah ini apa?  Ia tak punya hak. Ia memang bukan anak yang gila warisan. Toh, dia bukan siapa-siapa! Ia hanya anak angkat, yang statusnya tak jelas. Ia tak memiliki sepeserpun kasih sayang lagi, dari semua orang. ayah dan bundanya sudah tiada. Mereka yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan penuh kesabaran, telah tiada.  Nadhira tau, masa seperti ini, cepat atau lambat akan terjadi, dan ia alami. Hanya saja, ia belum siap. Belum. Dalam hati, gadis itu merintih. Menahan sesak, di setiap langkah, yang kali ini ia ambil.  "Ayah, Bunda....maaf.... Nad gak bisa lindungi rumah peninggalan kalian lahi. Maaf, Nad udah ga bisa mengenang kenangan kita di rumah ini lagi.... maaf, Nad harus pergi dari sini.... ayah, bunda... Nad harus kemana? Nad harus apa ayah, bunda? Apa Nad harus menyusul kalian ke Surga?" -----D----E----V----A----N-----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD