12. Hidup Baru

1228 Words
Nadhira menjatuhkan tubuhnya, tepat di samping dua buah makam yang menjadi satu. Makam kedua orangtua angkatnya. Air mata gadis itu, tak kunjung berhenti mengalir. Bersedih akan hidupnya yang kian perih.  Hari sudah menjelang sore. Tak membuat gadis itu berniat pergi, meninggalkan makam. Entah, ke mana lagi ia harus melangkah setelah ini. Kesialan demi kesialan seakan terus membuntutinya. Seakan, sudah menjadi nama tengahnya saja.  Sepulang sekolah tadi, ia diusir dari rumah yang selama ini membesarkannya. Membuatnya kuat dan mandiri. Lalu, di tengah perjalanan yang tak tau arah tadi, sebuah telpon, ia terima. Dari sekolah, di mana ia bersekolah. Meminta dirinya pergi ke sana, dan.... apa yang ia dapat? Sebuah surat. Kertas terlaknat, yang sama sekali tak mau Nadhira baca isinya.  "Maaf sekali, Nadhira. Kamu sudah menunggak uang SPP selama lima bulan berturut-turut. Hanya karena kami kasihan padamu, makanya kamu kami izinkan mengikuti ulangan semester akhir lalu. Tapi untuk kali ini, Maaf." Percuma saja, ia memohon! Ia tau, ujung-ujungnya bakal seperti apa. Ia tau! "Dengan berat hati, kami mengeluarkan kamu dari sekolah ini," Tak cukupkah hidupnya menderita? Dibuang oleh keluarga kandungnya. Ditinggal oleh keluarga angkatnya.  Diusir dari rumah. Dan sekarang, dikeluarkan dari sekolah? Dunia seakan tak pernah adil, kepadanya. Ia lelah, sangat! Ingin segera mengakhirinya.  Langit mulai mendung. Seakan siap menumpahkan airnya ke bumi. Angin bertiup cukup kencang, tak membuat Nadhira takut, berada di makam ini, sendirian. Yang ia rasakan, ada ayah dan bundanya di sini. Di sisinya. Memeluknya, sama seperti ia memeluk kedua nisan di hadapannya ini.  "Ayahh, Bunda, kenapa tinggalin Nad? Kenapa? Nad sendirian, Nad gak tau lagi harus kemana. Nad diusir Yah, Nda. Maaf," ia terisak-isak di tempatnya. "Nad gak bisa lagi jaga peninggalan Ayah dan Bunda, Nad gak bisa!"  Berusaha kuat pun, seolah percuma "Nad dikeluarin dari sekolah Yah, Nda. Nad harus apa? Nad harus kemana? Nad capek, Yah, Nda, Capek!" Gadis itu terus saja terisak-isak. Tak peduli dengan baju yang dikenakannya kotor bercampur tanah. Tak peduli, jika sebentar lagi akan turun hujan. Yang ia pedulikan hanya, harus kemana lagi ia setelah ini? Haruskah ia tidur di pinggir jalan? Di bawah kolong jembatan, atau, apakah ia harus tinggal di makam ini?  Air matanya seakan tak lagi berguna. Rasanya percuma, ia terus-menerus menangis. Semuanya seakan mempermainkan dirinya.  Masih pantaskah ia meminta?  Masih pantaskah ia berharap?  Hujan turun, kian menderas. Membiarkan tubuhnya terbanjur air hujan, beserta tas-tas yang berserak di tanah. Nadhira membiarkan tubuhnya kuyup. Karena dia sudah tak mampu lagi melakukan apa-apa.  Hingga, sebuah tepukan, terasa menepuk bahunya. Membuat Nadhira mengangkat wajah dan tubuhnya dari kegiatannya memeluk nisan. Menghentikan isakannya walaupun tak bisa. Nadhira mendongak tanpa takut, dan tak ingat lagi, di mana ia berada.  "Nak, kenapa hujan-hujanan? Ayo, neduh!" Nadhira menggeleng, lalu berdiri. "Gak papa. Saya di sini saja." "Nak," Nadhira merasakan air hujan di sekitarnya terhenti. Tepukan di bahunya terasa hangat. "Mari neduh. Nanti kamu sakit." Nadhira menggeleng. Ia bahkan tak berani menampakkan wajah terburuknya, saat tengah rapuh seperti ini.  "Nak, ikut saya, ya. Nanti kamu sakit." Gadis itu hanya diam mematung.  "Nak, ayo ikut." kali ini suara seorang laki-laki.  Nadhira yakin, ada dua orang yang berada di belakangnya. Laki-laki, dan perempuan.  "Nak," Nadhira akhirnya berdiri, lalu menoleh. Menatap dua orang yang mungkin usianya 50 an tahun itu. Ia tersenyum. Nampak keduanya memegang payung.  "Maaf, sudah membuat kalian di sini." ujar Nadhira sembari tersenyum tipis.  Ia meraih tasnya, yang terserak. Lalu membawanya. "Saya permisi," ujar Nadhira.  "Tapi, Nak!" Nadhira sudah melangkahkan kakinya menjauh dari kedua orang itu. Namun, baru beberapa langkah, pandangannya menggelap.  -----D----E----V----A----N----- "a***y! Lu laper apa doyan, Dev?!" Darrel menyeletuk saat melihat Devan, sahabatnya itu makan dengan lahap. Bahkan, ini sudah kedua kalinya ia nambah.  "Lapwer." jawab Devan dengan mulut penuh.  Zona berdecak kagum melihat Devan yang bisa makan selahap dan sebanyak itu.  Dinda kembali dari dapur, dengan sepiring bakwan jagung yang baru saja ia buat. Menyajikannya di meja makan. "Pelan-pelan dong Nak, makannya!"  Dinda takjub melihat putranya yang makan dengan lahap itu. Sepertinya, ia benar-benar kelaparan.  "Wah wah wah! rekor ini mahh, Bun. Rekor!" celetuk Dimas. Mulutnya kali ini sibuk mengunyah bakwan jagung yang Dinda buat tadi. "Baru kali ini, Devan makan ampe nambah, Bun! Rekor inimahhh!" Devan menatap sinis ke arah Dimas. Lalu kembali melahap nasinya. Bahkan, tangannya juga celamitan mengambil bakwan dan diletakkannya di piring.  Dinda terkekeh saja, lalu mengusap kepala putranya. "Ya jelas laper lah, Di. Dari kemarin, makannya sedikit  Paling cuma sesuap. Nah, sekarang balas dendam!" Zona geleng-geleng. "Wahh wahhh! pantesan aja makannya ampe nambah, ya, Nda?" Omong-omong, semua teman Devan memanggil Dinda dengan sebutan Bunda. Karena, Dinda sendiri yang memintanya. Tapi, mereka tetap memanggil Risyad dengan sebutan Om. Karena, ya....mereka taunya, Risyad itu galak. Eh! "Iya tuhh." sahut Dinda.  Darrel kini menyuap bakwannya yang kedua. "Kalo begini mah ya Nda, besok, si Devan bakal gendut, Nda! Ga kerempeng lagi kek sekarang!" Devan mahh, bodo amat. Yang penting, dia makan dan kenyang. Urusan gemuk, gendut, atau apalah itu, belakangan.  -----D----E----V----A----N----- Nadhira mengerjapkan matanya perlahan, kala mendengar sayup sayup seperti seseorang atau bahkan lebih, tengah berbicara. Kepalanya terasa pusing sekali. Terlebih lagi, perutnya terasa melilit.  "....Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia hanya dehidrasi dan kelelahan." Nadhira melihat seseorang berjas putih, memunggunginya. Sepertinya, seorang dokter? "Ahh, syukurlah." Nadhira merasa, pernah mendengar suara ini. Tapi siapa? Dimana? "Eh, kamu udah bangun?" Nadhira terkesiap, saat suara itu terdengar lagi. Wanita itu? Bukankah yang ia lihat di makam tadi? Ia kira, hanya ilusi.  "Ya sudah kalau begitu. Saya permisi." pamit dokter itu. "Kamu, jangan lupa istirahat yang cukup," katanya kepada Nadhira. "Obatnya, jangan lupa diminum, ya?" Nadhira yang tak tau apa-apa, hanya mengangguk saja. Bingung harus menjawab apa.  Dokter tadi berlalu. Nadhira asik memandangi sekitar, tempatnya berada. Kasur yang ia tiduri terasa sangat empuk, dan nyaman. Selimut yang menutupi tubuhnya, terasa tebal, dan hangat. Dan, ruangan di mana ia berada ini, terasa nyaman. Aahh! Nadhira sampai berfantasi, bagaimana kalau dia tinggal di sini.  "Nak," wanita tadi duduk sembari meletakkan semangkuk bubur di nakas. "Maaf, tadi saya sempat membuka tas-tas milikmu." ujarnya ramah.  Nadhira hanya mengangguk. Toh, tak ada barang berharga atau rahasia di dalamnya.  "Baju-bajumu hampir semuanya basah. Jadi, saya meminta pembantu saya mengeringkannya. Tenang lah," Nadhira berusaha duduk, dan di bantu oleh wanita itu. "Terimakasih, Bu." ujar Nadhira.  Wanita itu mengusap kepala Nadhira lembut. "Namamu, Nadhira. Benar?" Nadhira kaget, darimana wanita ini tau namanya?. "Maaf, tadi saya tak sengaja membaca namamu, di surat yang berada di tas mu." Nadhira diam. Ia tau, surat apa yang wanita ini maksud.  "Apa, kamu baru saja dikeluarkan dari sekolah?" tanyanya.  Nadhira menunduk, lalu mengangguk ragu.  "Karena.... tidak membayar SPP?" Apalah daya Nadhira lagi, selain mengangguk? Ia terlalu malu dengan hidupnya.  Di rasakannya elusan lembut di kepalanya. "Nak, jangan sedih." Wanita tadi, membawa Nadhira ke dalam pelukannya.  "Maaf, saya merepotkan Ibu." sesal Nadhira.  Wanita tadi tersenyum, lalu melepaskan pelukannya. Menangkup wajah Nadhira. "Panggil saya Oma." ujarnya lembut. "Kamu, pasti seumuran dengan cucu saya." katanya lagi.  "OㅡOma?" tanya Nadhira ragu.  Wanita yang ingin dipanggil Oma itu mengangguk. "Iya. Oma. Oma Rifda. Cucu saya, memanggil saya, Oma Ri." Oma Ri?  Oma Rifda?  "Nadhira, benarkah kau baru saja diusir dari rumah mu?" Nadhira mengangguk.  Rifda tersenyum pedih. "Maaf, Oma, dan suami Oma, tak sengaja mendengar waktu di makam tadi." Nadhira mendongak.  "Kamu, sebatang kara?" Nadhira mengangguk.  "Kamu, anak angkat dari Almarhum Yusuf Diatama, dan Nafisa Diatama?" tanya Rifda.  "Darimana, Oma tau?" tanya Nadhira.  Rifda tersenyum, lalu mengusap kepala Nadhira penuh sayang.  "kamu mau, tinggal di rumah Oma?" -----D----E----V----A----N-----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD