10. Sakit (2)

1355 Words
"Sayang, makan dulu dong nak!" Entah sudah berapa kali, Dinda menyuruh putranya itu untuk makan. Namun, Devan hanya diam dan seakan tak merespon apapun. Devan memang sudah sadar sejak beberapa hari yang lalu. Dan ini, adalah hari ke tiga, ia demam. Pemuda itu hanya duduk diam, sembari menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur. Dinda mengusap keringat dingin yang mengalir lambat dari dahi putranya itu.  "Devan," panggil Dinda.  Kali ini, ia menyodorkan sendok berisi bubur ayam itu ke depan mulut anaknya. Kali ini, ia tempelkan tepat di bibir anaknya. Devan mengerjap, lalu membuka mulutnya. Dinda tersenyum, dan menyuapkan bubur itu. Bukannya mengunyahnya, atau langsung menelannya, Devan malah diam mengulum bubur itu di dalam mulutnya.  Dinda mengelus pelan lutut putranya itu. "Sayang, dikunyah dong, nak." Setelah diinstruksikan begitu, barulah Devan mengunyah bubur ayamnya. Walaupun dengan gerakan sangat lambat.  "Gimana, Nda? Mau makan?" Dinda menoleh saat suara Risyad terdengar.  Pelan, ia mengangguk. "Alhamdulillah, walaupun cuma sedikit, dan....ya, gini. Lama." Risyad mendekat, meletakkan gelas berisi air di atas nakas, dan meraih obat dari laci nakas.  "Udah berapa suap?" tanyanya.  "Baru aja sesuap," Risyad mendesah. Ia ikut mendudukkan bokongnya di samping Devan. Mengelus surai putranya itu dengan lembut. Sementara Devan hanya diam tak bereaksi. Risyad mulai melapalkan do'a-do'a, seiring dengan mulutnya yang berkomat-kamit.  Dinda sendiri, masih berusaha terus menyuapi Devan. Walaupun respons anak itu sangat sedikit. Ingin rasanya Dinda menangis, namun jika ia terus menangis, dan lemah, bagaimana putranya itu akan sembuh? -----D----E----V----A----N----- Nadhira sudah kembali bekerja, walaupun kali ini, ia ditugaskan untuk menjadi kasir. Pengunjung DevZild's hari ini, tak terlalu ramai. Apalagi, DevZild's buka lebih siang daripada biasanya.  "Nad," Nadhira menoleh, saat suara Dara memanggil namanya. "Iya," "Kita disuruh kumpul, sebentar. Kafe bakal ditutup, kurang lebih setengah jam." tutur Dara.  "Kumpul? Memang ada apa?" tanya Nadhira bingung.  "Aku enggak tau. Mas Zona, yang suruh." Nadhira mengangguk saja, dan mengikuti langkah Dara. Sementara di luar, terlihat Nafisa, penyambut tamu di pintu kafe, tengah membalik papan Open pada Kafe, menjadi Close.  Para karyawan, yang total semuanya sekitar tujuh orang itu sudah menempati tempat duduk masing masing, di beberapa meja. Zona, datang dari dalam ruangannya, sembari menggulung lengan kaos panjang yang ia kenakan, hingga batas sikut. Ia tersenyum tipis, walaupun dengan wajah yang nampak kusut.  Nadhira, melihat Zona sebagai pria dewasa. Bukan, dari penampilannya. Tapi, dari cara bicara, dan sikap, dan semuanya, terlihat dewasa. Hmmm, walaupun terlihat sekali waktu itu kalau Zona sedikit kekanakan, tapi sepertinya, hanya ketika bersama temannya itu. Hmm, seingat Nadhira, namanya Devan.  "Selamat siang," ucap Zona membuka kata.  Para karyawan membalas, dengan ucapan selamat siang pula. Termasuk Nadhira.  "Maaf, kalo sebelumnya saya mengganggu kalian." ujar Zona. "Disini, saya tidak mau berbasa-basi lagi." Para karyawan mendengarkan dengan saksama. "Jadi begini," Zona menyugar rambutnya ke belakang.  Rika, Dara, bahkan Nadhira kompak menahan nafas mereka. Astaga!  Zona tampan sekali.  "Kalian, pasti sudah kenal dengan adik-maksud saya, sahabat saya Devan." Mereka kompak mengangguk.  "Adik saya itu, sedang sakit." imbuhnya. "Saya harap, kalian bersedia menyempatkan diri, berdoa untuk kesembuhannya." "Aamiin." Entah instruksi darimana, seluruh karyawan berucap Aamiin dengan kompak.  "Sakit apa, Mas?" tanya Dara.  Gadis berjilbab merah muda itu, memang terbilang cukup dekat dengan Zona. Dalam artian, memang tak segan, untuk bercakap-cakap dengan Zona.  Atensi para karyawan jelas saja langsung tertuju pada Dara, lalu Zona.  Zona terlihat menghela napasnya. "Dia, punya trauma." tutur Zona. "Dan, beberapa hari yang lalu, traumanya sempat kambuh," Beberapa dari mereka, termasuk Nadhira, Dara dan Rika kompak beristighfar. Kecuali beberapa karyawan yang non-muslim.  "Tapi Alhamdulillah, sudah lebih baik hari ini." ujar Zona. "Rencananya, saya mau menjenguknya hari ini. Jadi, mohon maaf untuk hari ini, terpaksa kita tutup kafe lebih awal." Beberapa karyawan bersorak senang, tapi juga ada yang mendesah kecewa.  Jordi dan Angel, yang mengurus dapur mengangkat tangan mereka.  "Mas, gimana dengan kue-kue yang sudah terlanjur dibuat?" tanya Angel. "Untuk kue-kue, ataupun makanan lain yang sudah dibuat, boleh kalian bagi rata, untuk dibawa pulang." jawab Zona dengan gampangnya. Seakan, semua itu adalah hal murah. "Makanan-makanan lain, Mas?" kali ini, Jordi yang bicara.  "Kalian bungkus saja masing-masing, dan bawa pulang. Lagipula, mubazir jika dibuang." Para karyawan hanya mengangguk.  "Ya sudah kalau begitu. Dara," Dara yang dipanggil menoleh. "Ya, Mas." "Setelah semuanya selesai, jangan lupa kunci kafe, heum?" "Baik, Mas." "Besok, kafe akan buka seperti biasanya. Walaupun ya, mungkin agak siang." imbuh Zona.  -----D----E----V----A----N----- "Loh, bang. Lu kesini juga?" Zona melempar kuncinya ke udara, lalu menangkapnya kembali. "Ya iyalah, ngapa emang?" Darrel berdecak. "Bilang kek, kalo mau kesini." Zona mendengus. "Emangnya, lu emak gue, pake acara bilang ke elu segala?" "Ihh! Dengerin dulu apa, orang cakep mau ngomong!" kesal Darrel.  Dimas yang baru saja selesai memarkirkan motornya itu, mendekat, lalu membasuh wajah Darrel dengan telapak tangannya. "Mamam tuh cakep! Muka kea beruk aja, bangga!" "ANJ!" Darrel memandang garang ke arah Dimas.  "Kalian apa sih, kea bocah!" Zona merangkul kedua bocah 16 tahun itu, di sisi kanan dan kirinya.  "Aissh, bang! Berasa kea apaan kita!" ketus Dimas.  "Kea apaan emang?" balas Zona.  "Au ah, burem!" Mereka disambut oleh bunda Dinda, yang langsung mempersilakan tamunya masuk ke dalam kamar Devan.  "Bunda tinggal ke bawah dulu, ya." ucap Dinda disertai senyum manisnya. Walaupun dari senyum itu, terlihat gurat lelah di wajahnya.  Zona, bisa melihat itu.  "Maaf ya, Devannya lagi kaya gini." ujar Dinda lembut. "Maaf kalo kalian malah dikacangin sama dia," Dinda bahkan masih sempat-sempatnya terkekeh, untuk menjadikan dirinya baik-baik saja.  Zona, Darrel, dan Dimas ikut terkekeh. "Iya Bunda. Gak papa kok, kita ngerti." Zona mewakili ketiganya.  "Ya udah, kalian duduk aja dulu, di sana." Dinda menunjuk sofa yang memang berada di pojok kamar Devan yang, hhmmm, lumayan luas ini.  "Iya, Bunda." Setelahnya, Dinda keluar dari kamar putranya itu.  Zona berdiri, menatap Devan yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Di sana, di tempat tidurnya, Devan hanya diam, duduk bersandar di kepala kasurnya. Matanya memandang kosong ke depan. Membuat Darrel, Dimas dan Zona, jadi miris. Devan yang biasanya ceria, atau bahkan rese dan cerewet itu, kini menjadi seseorang yang pendiam. Do'a mereka hanya satu, agar Devan segera terbebas dari trauma terkutuk yang sudah ia miliki sejak kecil itu.  "Dev," panggil Zona.  Dimas dan Darrel ikut mendekat, besebrangan dengan Zona, yang mulai duduk di pinggiran tempat tidur Devan. Devan jelas tak merespons. "Dev, kenapa lu jadi gini sih? Kemana Devan yang selama ini ceria? Kemana Devan yang manja? Kemana Devan yang cerewet? Kemana Devan yang selalu bisa bikin gue, sama orang lain ketawa? Mana?" Zona menepuk lutut Devan yang terhalang selimut. "Dev, ini gue. Abang lu. Lu denger gue, 'kan Dev?" Darrel dan Dimas merasa sesak. Mereka rindu sahabat mereka yang biasanya membuat mereka kesal, dan tertawa dalam satu waktu yang sama. "Dev, lu harus bisa ngelawan trauma lu, Dev. Lu tuh harus berani! Devan yang abang kenal, bukan Devan yang pengecut, hmm? Devan yang abang kenal itu pemberani! Bukan pengecut. Jadi please, Dev. Lu sendiri yang harus ngelawan rasa takut lu! Lu pasti bisa, Dev!" Entah sejak kapan, air mata Zona menetes. Ia mengusap air mata di sudut matanya. "Dev, tau gak?! lu kok nakal sih, Dev? Kenapa cuma lu, yang bisa bikin gue nangis kek gini? Kenapa, Dev?" Darrel dan Dimas mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. Menghindari air mata yang bisa saja menetes sewaktu-waktu.  "Dev," Zona menepuk bahu Devan sekali. Devan mengerjap, lalu perlahan berdiri dari duduknya. Ia menepis tangan siapapun yang berusaha membantunya, walaupun dengan gerakan lemah. Zona membiarkan Devan berdiri, lalu beranjak dari tempat tidurnya.  Ketiganya hanya membiarkan Devan berjalan, dan mengikuti dari belakang. Takut takut jika Devan tiba-tiba jatuh. Devan melangkahkan kakinya perlahan, menuju balkon. Dalam hati, Zona sudah was-was. Apa yang akan Devan lakukan? Devan meremas pagar pembatas balkonnya lemas. Memandangi langit, lalu turun ke bawah. Dimas dan Darrel sudah berdiri di samping kanan kirinya. Sementara Zona, berdiri di belakang.  "Dev, lu mau apa?" tanya Dimas geram.  Devan mencengkeram pagar pembatas itu semakin kuat. Hingga buku-buku jarinya memutih.  "Dev, " Devan mengerang pelan, sebelah tangannya refleks mencengkeram kepalanya. "ARRGHH!" Setelah sekian lama, akhirnya ia bersuara. Walaupun hanya berupa erangan.  "Dev," panggil Darrel.  "ARRGGGGH!" Devan menjambaki rambutnya, hingga beberapa helai rambutnya rontok.  "Devan!" Telinganya terasa berdengung, dan kepalanya berdenyut semakin sakit.  "Devan, denger gue!" Darrel mengguncang tubuh Devan.  "Devan!" Masih tak ada respons dari Devan.Hingga detik berikutnya, Devan tumbang. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD