15. Ayah Ngambek, Devan Juga!

1144 Words
HAL yang pertama kali Devan lihat saat membuka matanya adalah, plafon putih dengan lampu--yang ia tak tau apa jenisnya itu--yang sangat menyilaukan matanya. Membuat anak itu, kembali menutup matanya, karena jujur, dia itu sensitif cahaya. Beberapa kali ia mengerjap, lalu menghalang matanya dengan mengangkat tangan di depan wajah.  Devan mendesah. Ia tau, dia berada di mana sekarang. Rumah Sakit.  Aihh. Padahal, dia paling malas berurusan dengan tempat ini.  Aroma obat menyegak, yang membuat hidungnya terasa sakit.  Udara di sekitarnya, kenapa terasa cepat sekali? Devan meraba hidungnya, dan melintanglah nasal kanul di sana.  Hmm. Pantas saja, rasanya kurang nyaman. Dia tak mau melihat tangan kirinya. Walaupun dari tadi terasa berat, dan sangat terasa seperti ada yang masuk kedalam tubuhnya.  Ia tau. Itu infus.  "Udah mendingan?" Devan menoleh, nyaris terlonjak kaget. Suara Ayahnya tiba-tiba mengagetkan. Aissh! Ayahnya ini, menyebalkan! Devan bergumam pelan.  Kepalanya masih terasa pusing. Perutnya juga berasa mual. Tapi, memang rasanya lebih baik, sih.  "Kenapa bandel banget sih, jadi anak?" gerutu Risyad. Sepertinya, dia tengah mengomeli anak nakalnya itu. "Coba sekali aja anteng, jangan banyak tingkah!" Devan mendesah. "Ayah ... nasalnya lepas aja, ihh!" Risyad menatap putranya sinis. "Gak usah bandel!" ketus Risyad.  Ayahnya itu kembali duduk di sofa, memainkan ponselnya.  Devan mendengus. Paling tidak suka kalau ayahnya sedang seperti ini.  "Bunda mana?" tanya Devan dengan suara serak.  "Kantin. Makan." jawab ayahnya singkat.  "Mau Bunda, padahal." ucap Devan lirih.  Risyad berdiri, lalu keluar dari ruangan Devan. Membuat pemuda itu terheran-heran. Ayahnya kenapa, sih? "Aihh, bosen. Malah ditinggal sama Ayah! Gasik ahh!" gerutu Devan.  Tak lama, pintu kembali terbuka. Devan kira, ayah atau bundanya yang membuka. Ternyata, seorang dokter dan suster. Dokter yang tak lain adalah Dirga. Dokter kepercayaan keluarganya.  Dia tau, akhirnya bakal seperti apa.  "Om kan udah bilang, jangan kecapekan. Kamu nih, bandel banget, sih?" gerutu Dokter Dirga.  Devan mendesah. "Om ... nasalnya lepas, ya?" rengek Devan manja.  "Ya udah, iya." Dokter Dirga pun menyuruh suster pendampingnya untuk membantu Devan melepas nasal.  "Jangan bandel, kalo dikasih tau Ayah sama Bunda." ucap Dokter Dirga. "Jangan pecicilan jadi anak," "Ihh! Harusnya, Om tuh menyenangkan pasiennya. Ini malah memurungkan." gumam Devan dengan wajah melas.  "Kalo pasiennya kaya kamu, harus di gituin!" Devan mendesah. Sepertinya, hari ini ... hari tersialnya. Tadi ayahnya yang membuat dia kesal. Sekarang, Dokter Dirga. Sungguh hari ini dia bosan.  "Ya udah, kamu istirahat! Jangan macem-macem!" ucap Dokter Dirga.  "Om," panggil Devan.  Dirga menoleh. "Iya?" "Infusnya, lepas!" rengek Devan.  Dirga melotot ke arah Devan. Ia mengepalkan tangannya, lalu ia angkat ke depan wajah, mengancam Devan yang bandel itu. "Awas aja, kalo berani!" "AAA KESEL!" teriak Devan, membuat suster yang ikut dengan dokter Dirga terkekeh, sembari melangkah keluar.  -----D----E----V----A----N----- "Yah, Ayah!" panggil Devan.  Ini sudah kali kesekian, dia memanggil Ayahnya itu. Namun sang Ayah tak mau menoleh barang sebentar. Jangankan menoleh. Melirik saja tidak. Membuat anak yang tengah duduk bersandar di ranjang pasien itu cemberut maksimal.  "Ayah ..." panggil Devan lagi.  Masih sama saja. Ayahnya tidak menyahut.  "Yah, dipanggil anaknya, itu." Dinda yang baru keluar dari kamar mandi sembari mengusap tangannya dengan tisu langsung mengingatkan suaminya, kalau anaknya memanggil. Siapa tau saja, suaminya itu tengah didera tuli sesaat? "Biarin aja. Palingan mau nanyain kamu," jawab Risyad datar.  Hmm. Devan tau titik masalahnya di mana. Ayahnya itu pasti kesal, karena tadi dia mencari bundanya. Memang kekanakan sekali, ayahnya ini. Bikin Devan pengin gigit, saja! Dinda pun menghampiri ranjang putranya itu. "Kenapa, hum? Butuh sesuatu, Sayang?" tanya Dinda.  "Laper," ujar Devan serak.  Dinda tersenyum. "Ya udah, Bunda pesankan bubur dulu, ya, sama Suster?" Devan menggeleng. "Gak mau," "Loh, kenapa? Kamu 'kan masih sakit, ya harus makan bubur dong, Nak." "Iya, bubur. Tapi mau bubur yang ada di pengkolan deket kantor Ayah. Gak mau yang dari rumah sakit." jawab Devan panjang lebar.  Di tempatnya, yakni di sofa, Risyad sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi selanjutnya.  "Bubur Ayam? Yang banyak ayam, teri, kerupuk sama kuahnya, terus bubur sama kacangnya dikit?" Devan nyengir. Bundanya ini. Tau saja, apa yang ia suka.  "Ya udah, mau Ayah beliin?" tanya Dinda, memastikan.  Risyad sudah hampir terpaksa berdiri, menuruti keinginan putranya itu, untuk pergi membeli bubur.  Namun, jawaban Devan membuatnya malah merasa aneh.  "Gak usah. Biar sopir Ayah aja." jawab Devan. "Ayah di situ aja. Main hape. Ayah 'kan sibuk, sampe anaknya manggil aja, gak denger." Entah kenapa, kata-kata Devan tadi terdengar lesu.  "Devan tidur bentar, Nda. Kalo buburnya udah dateng, bangunin aja" kata Devan. Setelah itu, dia membaringkan tubuhnya, lalu menarik selimut menutupi tubuhnya hingga ke batas d**a. Memiringkan tubuhnya membelakangi sang bunda.  "Dev," panggil Dinda. Takut-takut, terjadi sesuatu, kepada sang putra.  Devan bergumam pelan.  "Ya udah, istirahat dulu. Nanti, kalo buburnya dateng, Bunda bangunin." Setelahnya, tak ada jawaban dari Devan. Hanya terdengar suara nafas teratur, pertanda jika anak itu, sudah tidur.  Dinda beranjak mendekati suaminya. Menepuk bahu suaminya pelan. "Ayah kenapa, sih? Ngambek? Sampe dipanggil anaknya gitu, gak nyahut? Udah tau anaknya lagi sakit. Tadi aja, sebelum dibawa ke sini, paniknya minta ampun. Giliran anaknya udah ajak ngomong, udah mendingan daripada tadi, malah dicuekin. Gak kasihan, sama anak?" Risyad cengo, dengan kata-kata istrinya yang panjang tanpa jeda itu.  "Ya ...Maksud Ayah tuhㅡ" Belum sempat Risyad menyelesaikan kalimatnya, Dinda keburu beranjak, sembari menempelkan ponselnya di telinga. Tanda hendak menelpon seseorang. Untung, sabar.  -----D----E----V----A----N----- Nadhira sedari tadi mondar-mandir seperti setrikaan. Entah, apa yang gadis itu pikirkan. Yang jelas, sepertinya pikiran gadis itu tengah super kalut.  "Nadhira, kenapa sih nak? Kok kamu mondar-mandir gitu, hah?" tanya Rifda gemas, dengan kelakuan Nadhira.  Nadhira berhenti, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Haduh, Oma. Gimana nih, gimana?!" Rifda mengerenyit. "Gimana apanya, sih?" tanyanya bingung  Nadhira berdecak sekali. "Itu tadi, cucu Oma yang lain itu, loh!" Jelas saja, Rifda bingung. Siapa yang Nadhira maksud? Memangnya dia punya cucu yang lain, selain Devan? Perasaan, tidak ada, ah!  "Ish! Yang tadi itu loh, Oma!" "Yang mana, Sayang?!" Nadhira mendengus pelan. "Yang tadi dipanggil 'Mas' sama Bundanya Devan," Dan seketika, tawa Rifda meledak. Astaga. Apa keluarganya itu awet muda? Sampai-sampai Nadhira berpikiran seperti itu?  "Ya ampun ... itu Ayahnya Devan, Sayang. Risyad. Anak Oma." jelas Rifda masih dengan tawanya.  Nadhira membulatkan matanya. "Hah? Anak Oma?!" Rifda mengangguk "Iya. Suaminya Bunda Dinda," Barulah Nadhira jadi malu sendiri. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Abisnya keliatan masih muda banget, Oma." Rifda mendesah. "Ya udah, tadi kamu bingungin apa, sih?" Nadhira menggigit bibir bawahnya. "Umm, kayanya ... Ayahnya Devan, marah deh sama Nad, Oma ... takut," Rifda malah terkekeh. "Marah kenapa, emangnya?" "Ya ... 'kan gara-gara Nad, Devan jadi begitu," Rifda menepuk bahu Nadhira pelan. "Enggak. Anak Oma, emang kaya gitu. Paling protective, kalo anaknya sakit." "Tapi, beneran Oma? Gak marah?" Rifda menggeleng, membuat Nadhira mendesah lega. "Ya udah, kalo gitu. Nad mau ke belakang dulu, Oma." "Ngapain ke belakang?" tanya Rifda.  "Mau nyiram tanaman, Oma." "Ehh, ga usah. Itu udah jadi tugas--" "Tugasnya Nadhira, Oma." Nadhira langsung melangkah ke belakang. Membuat Rifda geleng-geleng kepala.  Rajinnya anak itu! Batin Nadhira.  -----D----E----V----A----N-----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD