14. Devan tuh, Pusing

1233 Words
"Memangnya, kalian udah kenal?" Devan dan Nadhira kompak mendongakkan kepala mereka, lalu mengangguk.  Rifda sendiri, sudah bercerita kepada Dinda perihal Nadhira, saat Devan ke dapur tadi. Baru setengah penjelasan, belum kepada inti bahwa Rifda ingin mengangkat Nadhira sebagai anak, Pekikan dari dapur terdengar. Ya, kelakuan siapa lagi kalau bukan Nadhira dan Devan? "Udah," jawab Devan santai, kaya di pantai.  Devan itu, gak bakal kaya di cerita-cerita lain, yang akan pura-pura tidak saling kenal. Dia mah, anaknya jujur. Baik hati dan tidak sombong, serta rajin menabung. Terkadang, siapa saja gak bakal ngerti. Nyambungnya di mana sih, ini? Hadeh! Rifda dan Dinda mengerenyit. "Udah kenal? Bener, Nadhira?" Nadhira pun mengangguk. Kadang-kadang, Nadhira itu jadi anak yang manis, sekali. Dia penurut, dan juga tidak pernah bohong.  "Kenal di mana?" tanya Dinda. Wahh, kalo sudah begini sih, bakal panjang.  Kalo di cerita-cerita lain mah, bakal ada bagian di mana kisahnya tidak di restui. Whh...emang bakal sampe ke situ?  Devan bingung, harus menjelaskan seperti apa kepada bundanya. Kalau dia bilang di kafe, pasti bakal panjang urusannya. Yakali dia bilang ketemu di jalan. Emangnya duit recehan, yang jatuh di jalan, apa? Nadhira itu gadis pemberani, asal kalian tau. Dia juga jujur, dan peka banget anaknya. Jadilah, dia langsung menjawab. "Ketemu di kafe, kak." jawab Nadhira jujur.  Kontan saja, Devan dan Rifda tertawa ngakak. Sementara Dinda tersipu-sipu.  Apa tadi Nadhira bilang? Kak? Iya, Kak? Nadhira jadi bingung sekarang. Kok, dia malah ditertawakan, si? "ITU BUNDA GUE, b**o!" Devan masih saja tertawa ngakak. Bahkan sampai memegangi perutnya.  Dan, apa tadi dia bilang? b**o? Nadhira b**o? Kuranghajarrrr! Jelas saja, Nadhira melotot. Emangnya di takut sama Devan? Mukanya saja masih polos begitu? Masih bocah! Jangan-jangan, bocah itu masih SMP. Pikir Nadhira. Mukanya saja imut-imut begitu. Hadehh, Nadhira mikir apa sih? Bodo amat lah, ini bocah masih SMP. Mau kelas VIII kek, IX kek, bodo amat! "Nadhira sayang, ini menantunya Oma." kata Oma Rifda sembari menepuk pelan bahu Nadhira.  Nadhira meringis malu. "Nad kira itu... hehe," Dinda tersenyum malu. "Gak pa-pa kok, kalo mau dipanggil Kak. Gak pa-pa, gak pa-pa. Hihi." Devan memutar bola matanya malas. "Maunya Bunda itu mah!" "Ahh, sirik aja kamu tuhh!" ketus Dinda. Ia kemudian merangkul putranya itu dengan kasar. Ngakak gak sih, liat emak dan anak yang kaya gitu? "Ya udah, kita duduk di ruang tamu, yuk." ajak Rifda sembari menarik tangan Nadhira.  Nadhira sih, ikut-ikut aja.  Devan dan bundanya yang dipanggil 'Kak' sama Nadhira itu juga menyusul di belakang.  -----D----E----V----A----N----- "Jadi gini, Oma ... Nad itu, ketemu sama Devan di kafe nya Mas--" Devan kontan melotot kepada Nadhira, lalu mengrenyit, seakan menginstruksikan kepada gadis itu agar tidak asal bicara.  Tentu saja, Nadhira yang sangat-sangat peka itu, tau artinya apa.  "Mas? Mas apa?" tanya Dinda. "Mas Risyad?" dan setelahnya, ibu satu anak yang bandel minta ampun itu terkikik sok malu-malu.  Nadhira mengrenyit. "Mas Risyad, siapa?" tanya Nadhira polos.  Rifda dan Dinda terbahak. Tentu saja. Apalagi Devan. Astaga ... betapa polosnya gadis ini.  "Mas Risyad itu, suaminya Bunda, sayang." jawab Dinda. Dan Nadhira, akhirnya ber-oh ria. Sementara Devan, langsung cemberut.  Astaga! Bundanya baru saja memanggil orang lain dengan panggilan sayang? Yang benar saja! Sebenarnya, anaknya itu siapa sih? Kok kesal? "Eh, tadi kamu belum cerita, kenapa kamu bisa kenal sama Devan, heum?" tanya Dinda. Lembut sekali. Aihhh, Devan cemburu. Serius!  "Ya, itu ... tante--" "Panggil Bunda," potong Dinda.  Jelas saja, Devan melotot. Apa? bundanya ini enggak salah ngomong kan? Bunda? Aihhh, anaknya siapa sih? "Bun--da?" Dinda tersenyum, lalu mengangguk.  Namun tidak dengan Nadhira. Gadis itu menunduk, seolah kata 'bunda' itu adalah hal yang paling sensitif di telinganya.  "Nadhira," panggil Rifda. Tapi Nadhira malah menangis. Membuat semuanya langsung menghampiri Nadhira.  "Kenapa, sayang? Ada yang salah, nak?" tanya Dinda.  "Nadhira, kenapa sayang?" tanya Oma Rifda.  Devan meringis, sebab dia paling enggak bisa menenangkan perempuan yang menangis. Ahh! Sepertinya besok-besok, dia harus belajar sama ayahnya.  "Maaf," kata Nadhira pelan.  Membuat semuanya mengrenyit.  "Nad, cuma keinget sama almarhumah Bunda ..." Dan di situ, d**a Devan terasa tercekat.  Perasaan takut kehilangan, seperti yang Nadhira alami, tiba-tiba menyeruak. Membuatnya terduduk, dalam diam.  Ia tak mau, mendengar kematian. Sungguh.  -----D----E----V----A----N----- Nadhira, Dinda, dan Rifda tengah duduk menikmati teh hangat beserta camilan di taman belakang rumah keluarga Pratama ini. Mereka tertawa, dan mengobrol ala perempuan.  Sementara Devan? Entahlah, kemana anak yang Nadhira kira bocah SMP itu, menghilang. Mungkin, tengah mencari sahabat karibnya.  "Hah? Jadi, Devan udah kelas XI?" tanya Nadhira kaget. "Berarti, sama dengan Nad, dong." Dinda terkekeh. "Iya. Dia udah kelas XI." ujarnya. "Memangnya kenapa?" Nadhira meringis. "Nad kira, masih SMP, hehe ..." kekeh Nadhira.  Dinda dan Rifda tertawa dibuatnya.  "Emang, cucu bandel Oma yang satu itu tuh, emang masih imut kayak anak SMP, haha." ujar Rifda.  Dinda menepuk lutut Nadhira pelan. "Kamu, sekolah di mana sayang?" Nadhira tertunduk diam.  Dinda menarik kata katanya. Astaga, dia lupa kalau Nadhira sudah tidak sekolah. "Maafin Bunda, sayang. Maksud Bunda--" Nadhira mendongak, lalu tersenyum. "Gak pa-pa, Bunda." ujarnya. "Mungkin, Nadhira mau fokus kerja dulu aja." "Loh, kamu kerja? " tanya Dinda dan Rifda kompak. Yah, kebiasaan.  "Iya, Oma, Bunda. Nad kerja. Awalnya cuma paruh waktu, tapi kayanya nanti, full-time hehe," ia tertawa sumbang.  Rifda tersenyum. "Kerja di mana, nak?" "Oma tau, DevZild's kafe, gak?" Dinda dan Rifda terdiam sesaat mendengarnya. Kenapa ... nama kafe itu terdengar mirip dengan nama seseorang? "Nadhira kerja disana, Oma, Bunda." ujar Nadhira setelahnya, dengan wajah gembira. "Di sana itu, tempatnya enak. Karyawan-karyawanya juga baik-baik. Ramah-ramah, dan ... kafenya selalu rame." "Namanya tadi, apa Nad?" tanya Dinda penasaran.  Nadhira mengerjap sekali, lalu tersenyum. "DevZild's, Bunda." " DevZild's? " Nadhira mengangguk.  DevZild's...Devandra---Dev. Zildhan---Zild+s?? Kaya nama Devan? Batin Dinda. "Siapa pengelolanya, Nad?" "Pengelolanya Mas--" belum sempat Nadhira menjawab, salah seorang pembantu di rumah keluarga Pratama ini datang dengan tergopoh, menghampiri mereka.  "Nganu, Nyonya ..." ujarnya kepada Rifda dengan gugup. "Den Devan," Mereka saling lirik. "Devan kenapa?" tanya Dinda panik.  "Itu, ketiduran di sofa, tapi tak bangunin, gak bangun-bangun. Maksud saya suruh pindah ke kamar, tapi gak bangun-bangun. Saya takut, Den Devan ping--" belum saja pembantu itu menyelesaikan kalimatnya, Dinda segera berlari ke dalam rumah.  "Devan," Dinda segera menghampiri Devan yang tengah meringkuk di sofa. Ia mengelus seluruh permukaan wajah putranya, dan mencoba membangunkannya. "Dev, sayang, bangun nak!" Tak ada reaksi.  Nadhira dan oma Rifda menyusul, "Kenapa Din?" tanya Rifda. Ia pun menghampiri cucunya itu.  "Gak tau, Ma," Dinda nyaris terisak. Matanya sudah memerah menahan air mata. "Devan, sayang. Kenapa nak? Bangun, sayang ..." "Eeugghh ..." Devan mengerang pelan, saat Dinda mengelus pucuk kepalanya. "Devan, kenapa nak? Ada yang sakit?" tanya Dinda cemas.  Nadhira hanya bisa diam. Toh, dia belum akrab dengan Devan, kan? Lagipula, dia merasa sedikit bersalah. Kalau sampai Devan sakit, jangan-jangan gara-gara dia memukulinya dengan sendok sayur tadi. Ya ampun, kalo benar ... bisa habis dia.  "Devan tuh pusing ..." jawab Devan lemas. Matanya bahkan masih tertutup rapat, tapi bibirnya menggumam.  "Pusing?" tanya Rifda lembut.  "iya ..." jawab Devan serak. "Kaya ada yang mukul-mukul gitu," ia bahkan memegangi kepalanya, sembari memperaktekkan kepalanya yang di pukul-pukul. Begitulah. "Kita ke rumah sakit, ya?" kata Dinda.  Semakin merasa bersalah lah Nadhira. Apa segitu parahnya, sampai harus dibawa ke rumah sakit? Apalagi, Devan tadi sempat menyinggung-nyinggung soal--Kaya ada yang mukul-mukul. Aihh ... Nadhira takut.  "Mau Ayah ..." gumam Devan lagi. Suaranya terdengar parau dan lemas. Dinda bisa merasakan, jika suhu tubuh putranya itu kembali naik.  "Iya. Tapi habis itu ke rumah sakit, hmm? " Tak ada lagi jawaban dari Devan. Membuat para perempuan yang ada di sana panik seketika.  -----D----E----V----A----N-----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD