Seandainya

1686 Words
Borya meninggalkan Feliks bersama dengan orang-orang yang sudah dia buat menderita. Tidak ada penyesalan di wajah Borya karena dirinya yang sudah terbiasa bermain dan hidup dengan yang bernama kekejaman dan juga penderitaan serta kesakitan. Yang membuatnya berbeda pada saat ini adalah Dia melakukannya pada orang yang pantas menerima kekejaman dan dia tidak mendapatkan bayaran. Dia melakukannya karena Feliks pantas mendapatkan hukuman langsung dari mereka yang sudah dia buat menderita.  Kali ini benak Borya dipenuhi rasa lega dan puas. Dia tidak menduga memberikan Feliks hukuman langsung membuatnya mampu melepaskan setengah beban dari rasa sesak dan bersalah karena telah membiarkan seorang manusia berbuat keji pada manusia yang lemah dan tidak berdaya.  “Aku tahu apa yang kau rasakan. Percayalah lain waktu kau mendapatkan lawan yang seimbang. Lawan yang bisa jadi membuatmu tidak berdaya,” suara dari anak buahnya terdengar pelan. “Kau benar. Aku harusnya cukup puas dengan semua yang sudah di dapatkan Feliks,” jawab Borya dalam. “Bukan Feliks yang aku maksud,” ucap anak buahnya lagi. “Maksudmu?” Kernyitan terlihat jelas di dahi Borya. “Boleh aku tanya sesuatu?” tanya anak buahnya yang lain tanpa menjawab pertanyaan Borya. Borya meliriknya, “Apa?” “Kau adalah lelaki yang membuat takut bagi mereka yang mengenalmu. Apa yang kau rasakan apabila kau dikalahkan oleh seseorang? Maaf, apa kau pernah kalah?” Di dalam perjalanan hidup Borya, hanya Samudera Edgar Pravitel yang mengenal dan mengetahui siapa dirinya. Dia adalah lelaki yang hidup dalam kegelapan dan kebencian sebelum bertemu dengan Sam. Pertemuan yang memberikan pelajaran terpenting dalam hidup Borya. Borya yang sejak kecil sudah berteman dengan perbuatan criminal harus merasakan dirinya tidak berdaya pada saat dia tertangkap oleh Samudera. Ingatan Borya masih begitu jelas pada saat dirinya ditangkap oleh Samudera dan senyum dingin terlihat diwajah Borya yang tampan dan gagah. Pada saat itu dia adalah remaja yang selalu berhasil memenangkan pertarungan dan Edgar menyuruhnya bertarung dengan seorang anak perempuan yang memakai baju mahal dan seperti boneka. “Sepanjang ingatanku, hanya seorang yang pernah berhasil mengalahkan diriku,” jawab Borya. Bukan dendam yang mewarnai suara Borya, melainkan suara bernada geli dan malu. “Apakah Tuan Pravitel?” tanya anak buahnya lagi. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Borya. “Entahlah. Aku melihat Tuan Pravitel memiliki aura yang aneh sehingga tidak mudah seseorang mengalahkan beliau.” “Benar. Tuan Pravitel adalah satu-satunya lelaki yang tidak perlu bertarung untuk menghancurkan musuhnya.” “Lalu siapa yang sudah berhasil mengalahkan dirimu?” tanya anak buahnya lagi. “Apakah kau ingin dunia tahu siapa yang sudah menyebabkan dirimu berteriak ketakutan karena takut ketinggian?” tanya Borya tajam. “Maafkan aku.” Ucapan dari anak buahnya kembali mengantar Borya pada kenangan masa lalunya, tentang seseorang yang berhasil mengalahkan dirinya. “Tania…apakah kau masih menjadi wanita petarung bertopeng wajah kekanakan? Tidak mudah melupakan dirimu walaupun kau sudah menikah dan bersuami seorang perwira polisi. Kau tetap wanita special yang sudah memberikan tempat khusus pada anak jalanan untuk menjadi kakakmu,” batin Borya. Mobil yang membawa Borya dan anak buahnya terus melaju kembali ke kota untuk memberi laporan pada Edgar dan juga Benua. Di tempat yang berbeda, Tania dan Zeny masih duduk di salah satu café yang menjadi tempat anak muda sering kumpul. “Kau yakin Emma akan datang?” tanya Tania pada Zeny. “Yakin. Dia adalah gadis yang selalu ingat pada janji yang sudah dia ucapkan,” kata Zeny sambil melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. “Seharusnya jam berapa dia datang. Bukankah dia sudah terlambat kalau kau mengatakan dia adalah gadis yang selalu menepati janjinya?” kata Tania lagi. “Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dia terlambat,” kata Zeny lagi. “Jadi?” Zeny terdiam dan mulai berpikir apakah dia terlalu tinggi menempatkan Emma pada saat ponselnya berbunyi. “Emma,” kata Zeny pada Tania saat dia melihat ponselnya. “Ya,” sapa Zeny singkat. “Bu Zeny, Saya minta maaf. Saya sudah sejak tadi berdiri di luar karena tidak bisa masuk. Apa ibu sudah ada di dalam karena penjaga yang sudah saya titipkan pesan belum kembali,” kata Emma. Kernyitan terlihat di kening Zeny pada saat dia mendengar Emma bicara. Apa benar gadis itu sudah ada di luar sejak tadi dan mengapa tidak ada pelayan yang menyampaikan pesan padanya? “Ada apa?” tanya Tania. “Aku akan keluar menemui dirimu,” kata Zeny memutuskan sambungan teleponnya. “Ada aoa?” ulang Tania. “Emma sudah di luar sejak tadi dan pelayan seharusnya sudah menyampaikan pesannya pada kita,” jawab Zeny dingin. “Lalu kenapa dia tidak masuk?” Cengiran terlihat jelas di bibir Zeny saat dia bangun dari duduknya. “Aku lupa kalau usia Emma belum bisa masuk ke café ini,” katanya beranjak pergi. “Astaga, Zen….” Ucapan Tania tidak didegar oleh Zeny hingga Tania hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tetapi bukan saja Zeny yang melupakan usia Emma, dirinya juga melupakan bahwa ada aturan khusus yang melarang anak dibawah umur masuk ke café ini. Bersama dengan Emma yang terlihat modis dengan gaya pakaiannya yang memperlihatkan usianya membuat Tania tersenyum. Emma memang modis, tetapi cara berpakaiannya dengan jelas memperlihatkan usianya sehingga penjaga di luar curiga dan menanyakan kartu pelajar karena Tania sudah pasti belum memiliki tanda pengenal yang diakui negara. “Maafkan saya karena ibu berdua sudah menunggu lama,” sapa Emma malu. “Apakah kami berdua begitu tua sehingga kau memanggil kami ibu? Atau usia ibumu sama denganku?” kata Tania ketus. Lirikan mata Zeny yang tajam membuat Tania tersenyum. Dia bukan wanita yang akan bermanis kata pada seseorang yang dia harapkan menjadi anggota keluarga. ‘Entah kapan terwujud’. Emma menatap ragu Tania dan Zeny kembali. Saat ini dia berada di lingkungan asing yang khusus orang dewasa. Apa yang akan dikatakan orang tuanya apabila sopirnya melaporkan kemana dia pergi? “Panggil kami kakak, saja. Dan panggilan tersebut khusus untukmu,” kata Zeny yang menyadari suasana hati Emma yang bingung. “Maafkan saya, Kak. Jujur, saya tidak tahu mengapa kakak ingin menemui saya, apalagi di tempat seperti ini. Walaupun ini masih siang, saya ragu bagaimana saya bisa menjelaskan pada orang tua di rumah,” kata Emma. “Sejak bertemu denganmu di sekolah, terus terang aku sudah tertarik padamu dan ingin menjadikan dirimu sebagai model kami. Bukankah kau menyukai negara Rusia?” tanya Zeny. “Saya menyukainya karena negara tersebut sangat menarik. Tapi, apa hubungannya?” kata Emma. Dia adalah gadis remaja yang usianya bahkan belum sampai 17 tahun. Apakah kedua wanita di depannya tidak salah tertarik padanya. Selain itu dia juga bukan seorang model yang pandai bergaya. Dia adalah gadis yang lebih suka menggambar dari pada berlenggok dan bergaya. “Maafkan saya, saya tidak mungkin menjadi model seperti yang kakak katakan karena saya jauh dari kata menarik,” kata Emma lagi. “Kau menarik, memangnya ada yang bilang kau tidak menarik?” tanya Tania. “Banyak. Saya gadis kuper yang hanya bisa memiliki kekasih di dunia khayalan yang saya ciptakan saja. Jadi, mendengar kakak mengatakan tertarik pada saya dan hendak menjadikan saya model. Bagi saya tidak masuk akal,” jawab Emma. Emma menggigit bibirnya, bukan karena dia malu tetapi karena yang barusan dia ucapkan adalah karangannya semata. Tidak ada seorangpun di sekolahnya yang menyebut dia gadis aneh karena dia adalah salah satu gadis idola di sekolahnya bahkan semua siswa ingin menjadi temannya. “Mengapa tidak kau katakan pada mereka kalau mereka memerlukan pembersih cermin nomor satu. Tidak seharusnya mereka mengatakan hal buruk tentang dirimu kalau mereka tidak bisa berkaca dengan baik,” kata Zeny. “Emma, kau adalah gadis yang cantik walaupun di luar sana tentu masih ada gadis yang lebih cantik lagi. Tetapi aku harus katakan padamu kalau kau memiliki kecantikan yang unik hingga aku langsung setuju pada penilaian Zeny kalau kau bukan hanya cantik tetapi membuat kami tidak bisa berpaling,” kata Tania. Penjelasan yang diberikan Tania kembali membuat Emma terdiam. Di antara kedua wanita yang duduk di depannya, Tania lebih sering berkata ketus dan juga tegas sangat berbeda dengan Zeny yang selalu berusaha menjadikan obrolan mereka lebih santai. “Kau pernah mengatakan pada kami kalau Rusia adalah salah satu negara yang membuatmu ingin kembali mengunjunginya. Kami bisa mewujudkan impianmu bila kau bersedia menjadi model kami. Bukan melalui ajang pencarian bakat yang sedang berlangsung tetapi melalui penawaran dari kami.” “Saat ini kami membutuhkan seorang model di Indonesia untuk memakai perhiasan dari negara kami.  Memang  bukan sekarang karena kami sendiri masih memerlukan ijin untuk mengadakan acara tersebut.” Kata Zeny yang mulai bersikap serius. “Boleh saya bertanya? Mengapa kakak bilang perhiasan kami, apakah kakak para pengrajin perhiasan?” tanya Emma. “Benar. Keluarga kami adalah pemilik dari rumah mode khusus perhiasan walaupun tidak ada di Indonesia. Setidaknya kami berusaha untuk membuka gelery di negara ini,” jawab Tania. Beberapa pertanyaan mencoba berlomba keluar dan Emma mengucapkannya satu persatu sehingga dia mendapatkan jawaban yang membuatnya tertegun. Seperti orang hilang akal saat dia mendengar siapa kedua wanita yang ada di depannya. Emma pernah mendengar nama Pravitel sebagai pemilik pertambangan di negara beriklim tudor tersebut, tetapi tidak pernah menduga kalau dia bisa bertemu dengan salah satu pemiliknya. Apakah Emma bermimpi? Sudah jelas tidak karena dia masih merasakan asam dari minuman yogurt yang ada dia minum dengan cepat. “Bagaimana, mau terima tawaran dari kami?” tanya Tania. “Saya sangat tertarik, tapi saya tidak bisa memutuskan sendiri. Kakak pasti tahu bahwa usia saya sekarang tidak memungkinkan untuk menerima pekerjaan tanpa ada wali yang mendampingi. Jadi, saya akan memberi kabar pada kakak setelah saya bicara pada keluarga saya dulu,” kata Emma. “Aku sangat gembira karena kau sangat mengerti dengan aturan yang berlaku. Kami akan menunggu kabar darimu.” “Terima kasih, Kak. Kalau tidak ada lagi, saya permisi pulang dan saya pasti akan mengirim jawaban pada kakak,” kata Emma lagi. “Kami akan menunggu. Kau bisa kirim pesan padaku karena aku yakin kau tidak memiliki nomor kakak pertamaku,” kata Zeny. “Kau datang ke sini dengan siapa? Kami akan mengantarmu kalau kau datang sendirian,” kata Tania. “Saya datang bersama sopir. Terima kasih atas niat baik kakak,” kata Emma sembari menganggukan kepala sebelum dia berbalik meninggalkan Tania dan Zeny.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD