Makan malam yang khusus disiapkan oleh Tania mendapatkan pujian. Wajah Tania begitu bahagia karena Indra tidak henti memuji membuat Zeny dan Elza yang mendengar dan ikut makan malam bersama dengan mereka tertawa dan menggoda Tania.
“Gak salah, sih, kalau Kak Indra muji. Aku sempat heran kenapa Kak Indra tiba-tiba suka masakan yang pedas seperti ini? Setahu aku kakak tidak suka. Jangan-jangan ada yang mau datang nih,” goda Zeny dengan mengedipkan mata.
“Mau, nya, ya seperti itu. Tapi semua, kan, kuasa Tuhan. Kita hanya bisa berusaha,” jawab Indra penuh arti.
Elza dan Zeny langsung menatap Tania penuh tanya. Mata mereka nyaris keluar begitu kesimpulan ada di depan mulut mereka.
“Tania…apakah artinya mami akan punya cucu?” tanya Elza terpana.
“Kak? Apa ini arti dari ucapan kakak kalau aku harus kerja keras bersama dengan Abyan?” tanya Zeny.
“Kami belum pasti karena belum ke dokter,” jawab Tania tersipu.
“Kenapa belum? Indra, kenapa kau tidak membawa istrimu ke dokter? Kalian mau menunggu sampai kapan?” tegur Elza.
“Tania masih mau menunggu, Mam. Katanya dia mau menetapkan hati dulu,” jawab Indra meraih tangan Tania dan menciumnya lembut.
“Kenapa? Sebaiknya malam ini kalian langsung ke dokter. Kalau kalian sudah dapat kepastian, kau bisa lebih menjaganya, Tania,” saran Elza.
“Ya, Mam.”
Setelah anggukan kepala Tania, bukan hanya Indra yang lega karena Tania mau pergi ke dokter melainkan juga Elza.
Selama ini dia berharap Tania dan Indra segera memiliki anak agar dia bisa menjaga cucunya. Sejak ketiga anaknya sudah tumbuh besar dan dewasa, rumah yang besar dan megah begitu sepi karena semua orang sibuk dengan urusannya mereka masing-masing.
Mereka baru saja meninggalkan meja makan pada saat terdegar suara mobil berhenti di halaman. Elza dan Tania saling berpandangan sementara Indra sudah berjalan ke ruang depan untuk melihat siapa yang datang.
“Apa mungkin Papi sudah pulang?” tanya Tania pada Elza.
“Mungkin saja,” jawab Elza menyusul Indra.
Tania melihat ke belakang mencari Zeny, tetapi adiknya itu entah pergi kemana. Apa dia tidak mendengar mobil datang? Tidakkah Zeny ingin tahu siapa yang datang bersama dengan ayah mereka?
Zeny bukan tidak ingin tahu siapa yang datang bersama dengan Sam. Dia tidak bisa keluar menyambut ayahnya karena ponselnya berbunyi dan keningnya berkerut begitu tahu siapa yang sudah menghubunginya.
Di layar ponselnya terlihat nama mantan tunangannya melakukan panggilan telepon melalui video. Apa yang dia inginkan dan kenapa harus melakukan panggilan telepon?
Kedua pertanyaan tersebut membuat Zeny memutuskan untuk menerimanya dan bukan hanya wajah pecundang yang pernah menjadi tunangannya tetapi juga wajah perempuan yang pernah membuat masalah dengan HSP karena dia adalah Aglea, putrinya Igor.
Beruntung layar camera depan tidak diaktifkan oleh Zeny sehingga mereka tidak perlu melihat dirinya yang keheranan.
“Halo, Zen. Aku tahu kau tidak mau aku melihat wajahmu. Tapi aku ingin kau memberikan tempat untuk pernikahan kami di HSP. Aku yakin kau bisa memberikan hari yang special untuk kami,” kata pecundang itu sehingga Zeny ingin sekali memutuskan sambungan telepon.
“Bagiku tidak masalah selama ada waktu yang kosong. Kau mau tanggal berapa?” tanya Zeny seolah dia melayani klien yang akan menyewa ballroom di HSP.
“Tentu saja tanggal yang aku minta. Kau pikir mudah menentukan waktu yang tepat,” sergah Aglea nyaring.
“Kalau begitu aku tidak bisa memberikannya. Tuan Igor sudah tahu bahwa tidak ada waktu yang kosong,” jawab Zeny menahan sabar.
Saat ini Zeny bersyukur Aglea sudah membatalkan waktunya dan juga bersyukur karena dia sudah lepas dari pecundang yang tidak bisa berpikir lurus.
“Aku yakin bisa. Kau mau berapa? Aku yakin papi aku bisa membayar sesuai dengan keinginanmu,” jawab Aglea sombong.
“Kalau begitu kenapa tidak dia katakan padaku langsung? Kalau ayahmu saja tidak mengatakan berapa dia akan memberikan bayaran, kenapa kau berani menawarkan padaku. Apa yang kau miliki hingga begitu sombong?”
Segala pertanyaan yang diberikan Zeny sama sekali tidak berpengaruh pada Aglea. Gadis itu tetap ngotot meminta Zeny memberikan tempat sesuai dengan permintaannya sehingga Zeny jengkel.
“Aku tidak tahu apa tujuanmu sebenarnya, tetapi aku sangat bersyukur HSP tidak perlu melayani dirimu. Aku tidak tahu apakah pendengaranmu normal atau tidak karena semua yang aku katakan dan jelaskan tidak ada satu pun yang bisa kau pikirkan. Selamat malam!”
Zeny begitu jengkel hingga dia langsung mengakhiri pembicaraan melalu video dan wajahnya masih memperlihatkan kejengkelannya pada saat dia berbalik untuk menemui ayahnya. Namun tubuhnya mematung pada saat dia berhadapan dengan sosok lelaki yang sedikit banyak mempengaruhi pikirannya tentang seorang lelaki idaman.
Borya….
Zeny tidak tahu sejak kapan Borya berdiri di depannya dan mendengar semua hasil pembicaraan-nya karena Zeny tidak menyadari sejak kapan Borya berdiri di belakangnya.
“Halo,” sapa Borya tersenyum.
“Halo…sejak kapan kakak datang dan berdiri di belakangku?” tanya Zeny bingung.
Mengapa tidak ada seorang pun yang mengatakan kalau ayahnya akan datang bersama dengan Borya? Zeny yakin Tania mengetahuinya tapi kakaknya justru tidak mengatakan apa pun juga.
Kurang ajar. Tania harus mendapat teguran tidak peduli saat ini kakaknya tengah hamil muda.
“Belum lama dan aku berdiri di belakangmu baru saja. Kenapa?” kata Borya dengan sikap yang selalu membuat Zeny tidak bisa berpikir.
Borya adalah pengawal pribadi ayahnya tetapi mengapa dia selalu mati rasa bila hanya berduaan dengan lelaki yang memiliki wajah dingin dengan matanya yang berwarna kehijauan.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak suka ada orang lain yang berdiri di belakangku tanpa aku ketahui. Aku merasa diriku sangat ceroboh dan aku yakin kakak tahu apa alasannya,” sahut Zeny.
Ya Tuhan, apa yang aku katakan. Kenapa setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti gadis remaja yang kepergok belajar menyatakan perasaannya.
Zeny bukan gadis remaja lagi dan usianya juga sudah tidak muda lagi, jadi untuk apa dia gugup?
Borya bagi keluarganya bukan orang lain lagi sehingga Zeny seharusnya tidak memiliki alasan lagi untuk bersikap gugup.
Melihat cara Borya memandarng dan memperhatikan dirinya membuat Zeny semakin gugup dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Di depan Borya Zeny seperti batu.
“Kau mau berdiri terus di sini atau menemui ayahmu?” suara Borya terdengar di telinga Zeny sehingga dia mengedipkan matanya.
Tidak mampu menjawab ucapan Borya membuat Zeny lebih memilih berjalan cepat menuju tempat ayahnya sedang duduk bersama dengan ibu dan kakaknya.
Senyum Borya terlihat geli. Dia tidak tahu mengapa setiap kali bertemu dengan Zeny ada rasa ingin menggoda putri kedua bos-nya.
Berbeda dengan perasaan yang dia miliki dengan Tania. Borya selalu memiliki semangat hingga hatinya hangat begitu bertemu dengan Zeny meskipun dirinya sendiri lebih nyaman dan tenang bila bicara dengan Tania.
Zeny berjalan cepat menuju ruang keluarga tempat ayahnya duduk sementara Borya berjalan di belakangnya. Seperti seorang pengawal yang harus menjaga seorang putri.
“Papi….”
Panggilan Zeny terdengar di telinga Sam yang sedang duduk dan mendengarkan laporan dari Tania sementara tangannya merangkul Elza.
“Halo sayang, kemana tadi, tidak kangen sama Papi?” tanya Sam saat dia mencium lembut pipi Zeny.
“Aku tadi menerima panggilan video dari pecundang,” jawab Zeny.
“Pecundang?”
Alis Sam melengkung hampir menyatu begitu mendengar Zeny menyebut kata pecundang sementara Zeny sudah duduk di sebelahnya manja.
“Iya pecundang. Astaga….”
Zeny menutup mulut dengan tangannya pada saat Tania menatapnya tajam. Dia belum mengatakan pada kedua orang tuanya kalau hubungan dengan tunangannya sudah berakhir sehari setelah keberangkatan Sam dan Abyan ke Rusia sementara Zeny berharap dia akan mengatakan pada ibunya begitu ayahnya pulang.
“Apa yang terjadi dan mengapa kalian tidak ada yang bicara?” tanya Sam memandang kedua putrinya bergantian sama seperti yang dilakukan oleh Elza.
Wajah kecewa Elza membuat Zeny menunduk. Dia tidak berani bicara omong kosong karena dia yakin Sam akan marah dan bicara dengan pencundang tersebut.