Aku bisa apa

1438 Words
Abyan menatap Emma tidak berkedip. Mengapa Emma terlihat begitu berbeda dari terakhir dia melihatnya? Apakah dia masih marah karena ciueman yang dia berikan di café? Emma yang menyadari di perhatikan oleh Abyan tidak memberikan reaksi apa pun. Dia lebih memilih memperhatikan ke segala arah asal jangan membalas tatapannya. Walaupun sudah berlalu beberapa hari, tapi bayangan saat Abyan menempelkan mulutnya dan mengambil nafasnya masih membuat Emma marah dan jengkel. Emma melirik ka arah pintu dan berdoa semoga Sam dan dokter segera kembali menemui mereka. Dia khawatir kalau Baina mencari dirinya karena dia bilang hanya mencari udara segar. “Apa pintu dan dinding kamar ini lebih menarik daripada aku, kekasihmu?” tanya Abyan menyentak kesadaran Emma. Kekasih? Sejak kapan mereka menjadi pasangan kekasih? Bertemu juga baru 2 kali sebelumnya. Apakah Abyan memang sakit? Mata Emma yang mendelik membuat Abyan tertawa. Dia sepertinya lupa kalau kepalanya pernah menjalani operasi hingga tidak merasakan sakit. “Kenapa, kau marah karena aku mengacuhkan dirimu dan tidak memberikan perhatian padamu setelah ciuman tersebut?” kata Abyan kembali. Dan siealnya, kenapa ucapan tersebut yang didengar oleh orang yang baru masuk hingga menimbulkan senyum dan tawa geli di bibir mereka. “Ciuman…ciuman. Ciuman itu terjadi karena om yang nyosor duluan. Lagian berantem sama siapa yang terima akibatnya siapa,” omel Emma dengan kulit wajah yang memerah. “Jadi, kau tidak menyukainya?” tanya Abyan pelan. “Gak.” Emma tidak peduli kalau jawabannya sudah membuat Abyan bersedih dan yang ada di ruangan tersebut harus memberikan teguran melalui matanya, khususnya dokter Syarif. “Emma, bagaimana kalau kau ikut dokter keluar. Ada yang perlu aku sampaikan,” kata dokter. “Ada apa Dok?” tanya Emma heran. “Pergilah, siapa tahu dokter mau ngasih arahan sama kamu kalau ngadepin pasien itu jangan suka marah dan harus dilakukan dengan ikhlas,” kata Abyan membuat mata Emma kembali melotot galak. Kalau saja yang dihadapi Emma salah seorang temannya yang usianya sebaya, Emma mungkin sudah nyolot dan melemparkan setiap kata yang sudah pasti hasilnya membuat kuping merah. Tanpa menghiraukan Abyan, Emma mengikuti Dokter Syarif yang sudah berjalan keluar. Dia tahu kalau dokter akan menemuinya di dalam ruang kerjanya sehingga Emma memutuskan untuk menemui Baina lebih dulu. “Bai, Kak Mira kemana?” kata Emma melihat di ruangan hanya ada Baina sendirian. “Kak Mira sedang di ruangan Dokter Katy. Ada apa, kamu kemana saja sejak tadi?” tanya Baina curiga. “Aku ada urusan sama Dokter Syarif. Kamu aku tinggal dulu ya, biasa aku mau konsul secara pribadi bagaimana caranya membuat cowok keren tertarik padaku,” jawab Emma gak jelas. “Dasar. Konsul kok sama dokter bedah. Aku yakin ada yang kamu sembunyikan dan aku juga yakin kamu gak mau bicara padaku meskipun aku paksa, jadi…pergilah. Nanti kalau aku mau pulang aku kabarin,” kata Baina yang sangat mengenal Emma. “Terima kasih, ya,” kata Emma mulai berjalan meninggalkan ruang perawatan Mira. Dengan gerakan yang pelan, Emma mengetuk pintu yang bertuliskan  nama Dokter Syarif dan dia langsung mendengar suara dokter yang menyuruhnya masuk. Ternyata yang ada di dalam bukan saja dokter tetapi juga ada Sam yang duduk dengan wajah yang sulit dikatakan. Ada kesedihan yang terlihat jelas. Ada apa? Apakah kemalangan kembali terjadi pada Abyan? “Duduk, Emma,” kata dokter memberi perintah karena Emma masih tetap berdiri. Ragu-ragu Emma duduk di kursi sofa yang ada di ruang kerja Dokter Syarif. Dalam hatinya dia mulai berpikir kenapa ruangan ini seperti paviliun? Dia biasanya menemui dokter di ruang praktek dan bukan di ruangan yang sangat berbeda ini. “Ada apa? Heran karena aku ingin bicara denganmu?” tanya dokter dengan senyum di wajahnya. Apa dokter tidak pernah lelah? Kenapa wajahnya selalu terlihat segar dan tidak pelit senyum? Adalah pendapat yang ada di dalam hati Emma. Namun, yang dilakukan oleh Emma saat dia mendengar pertanyaan dari dokter hanyalah mengangguk. Dia tidak tahu harus berkata apa. “Aku sudah melakukan pemeriksaan pada Abyan walaupun hanya baru luarnya saja. Dugaan sementara ingatan Abyan mengalami gangguan Amnesia Anterograde.” “Amnesia Anterograde itu apaan, Dok?” tanya Emma ingin tahu. “Jenis Amnesia yang hanya bisa mengingat kejadian dalam jangka pendek. Pasien yang menderita amnesia katagori ini, hanya bisa mengingat kejadian yang terjadi sebelum dia mengalami benturan keras dan tidak akan bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya.” “Maksud, Dokter?” “Yang terjadi pada Abyan adalah, dia hanya mengingat kejadian saat dia menciummu, dan hanya itu yang ada. Ingatannya seperti terhenti pada saat kejadian tersebut saja,” kata dokter menjelaskan. “Tapi ingatannya bisa kembali normal, kan, Dok?” tanya Emma khawatir. “Bisa dan memerlukan kesabaran dan bagaimana kita membantunya agar dia mampu mengingat kembali semua memori yang tersimpan di dalam otaknya.” “Terus, hubungannya dengan Emma, apa?” Dokter Syarif melirik Sam yang sejak tadi mendengarkan penjelasan yang diberikan pada Emma. “Abyan akan menjalani perawatan di luar negeri agar ingatannya cepat pulih. Tapi dia juga membutuhkan orang yang diingatnya sebagai orang yang special,” jawab Sam. “Maaf, Emma gak ngerti,” kata Emma mulai tidak focus dengan penyebutan dirinya sendiri. “Aku akan membawa Abyan ke rumah sakit lain tapi aku membutuhkan dirimu untuk ikut bersama dengan kami,” kata Sam setelah beberapa saat. “Hah?” ‘Seperti sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh Emma dan terkadang tidak sopan adalah dia selalu berkata ‘Hah’ setiap kali dia terkejut. Kebiasaan yang menurut Laila memalukan buat anak perempuan’. “Maaf, Emma kayanya gak bisa membantu. Saat ini Emma masih sekolah dan semua keputusan ada di tangan orang tua,” kata Emma. “Bagaimana kalau orang tuamu mengijinkan?” tanya Sam. “Emma tetap harus sekolah. Tahun ini Emma kelas 3 SMA dan gak mungkin Emma meninggalkan sekolah begitu saja. Maaf, Emma gak bisa membantu,” kata Emma menjelaskan keadaannya. Sam dan dokter saling berpandangan. Dokter Syarif sudah menjelaskan keadaan Emma kepada Sam, tetapi lelaki itu yakin bisa membujuk Emma sehingga dokter memanggil Emma dan menjelaskan keadaan Abyan pasca operasi. “Apakah ada cara lain untuk mengobati pasien penderita amnesia yang dokter sebutkan tadi?” tanya Emma setelah beberapa saat hanya diam. “Tentu saja ada. Diantaranya adalah, Pemberian suplemen vitamin B1 jika pasien mengalami defisiensi, Terapi okupasi untuk membantu pasien menjalani aktivitas mendasar dalam hari-harinya, Pelatihan memori, dan terakhir adalah Intervensi teknologi, seperti penggunaan aplikasi pengingat.” Mendengar semua penjelasan yang diberikan oleh Dokter Syarif, Emma hanya mengangguk. Dia tidak tahu apakah dirinya mampu mengingat penjelasan yang diberikan oleh dokter. Saat ini otaknya masih belum bisa berpikir terlalu jauh. “Emma, Aku mengerti mengapa kau keberatan karena kau masih menjadi tanggung jawab orang tua-mu. Seandainya aku bicara langsung dengan orang tua-mu, apa kau ijinkan?” Dengan cepat Emma menoleh ke arah Sam. Emma sadar kalau lelaki setengah baya yang duduk di depannya sangat menyayangi putra bungsunya, tetapi dia hanya anak SMA dan tidak yakin dengan kemampuan yang dia miliki. “Emma gak akan melarang bapak bicara dengan orang tua, Emma. Hanya saja, orang tua Emma masih ada di luar kota dan baru kembali nanti sore,” beritahu Emma pelan. “Kalau begitu, aku akan menemui orang tua-mu besok. Apa kau bisa memberikan alamat rumahmu?” tanya Sam bersemangat. Apakah keputusannya salah atau benar, Emma sudah memberikan alamat rumahnya pada Sam dan dia hanya bisa keluar dari ruang kerja dokter meninggalkan Sam dan dokter yang masih terus membahas kepindahan Sam ke rumah sakit yang berbeda yang ada di luar negeri. Emma masih dalam perjalanannya menuju ruang perawatan Mira saat ponselnya berbunyi dan Baina yang meneleponnya. “Gimana, urusan sama dokter udah selesai? Kami sudah mau pulang, kamu mau pulang bareng, gak?” tanya Baina. “Aku bentar lagi sampe kamar Kak Mira,” jawab Emma sebelum menutup ponselnya. Berdiri di depan Baina yang menatapnya heran karena Emma mengatakan kalau dia tidak bisa pulang bareng adalah salah satu tindakan yang membuat Emma kesal. “Maaf, yak, Kak. Emma gak nemenin kakak pulang. Soalnya…tadi Emma ketemu teman yang di rawat di sini dan Emma mau nemenin dia dulu,” beritahu Emma pada Mira sementara Baina dia biarkan tetap bingung dengan pertanyaan ‘siapa teman yang dirawat, apa aku kenal?’ “Gak, apa-apa, Emma. Kakak udah terima kasih karena sudah menemani kakak selama di rumah sakit ini,” kata Mira. “Walaupun dia sering menghilang, ya, Kak,” kata Baina mengatasi keheranannya. “Tapi kalau gak ada Emma, apa kamu mau setiap hari ke rumah sakit?” tanya Mira membuat Emma tertawa. Akhirnya Emma tidak jadi pulang bareng dengan Baina dan Mira yang menggendong bayinya. Dia akan menemui Abyan di dalam kamarnya walaupun dia tidak tahu apa yang akan dia temui setelah berada di dalam kamar yang ditempati oleh Abyan selama beberapa hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD