Belum sampai pasangan yang mencari pasien bernama Abyan pergi, Emma langsung bergerak cepat membuka pintu kamar yang ada di depannya dan dia suara teriakannya nyaris terdengar keluar kalau saja dia tidak buru-buru menutup mulutnya.
“Hallo…om sudah sadar?” tanya Emma ragu-ragu.
Emma tidak mau membuat kesalahan sementara dia sangat yakin kalau keluarga Abyan dan dokter Syarif selalu memantau setiap kejadian yang ada di kamar perawatan Abyan.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Abyan sementara Emma tidak tahu sejak kapan lelaki itu melepaskan semua peralatan medis yang sempat terpasang di tubuhnya.
Lambaian tangan Abyan yang lemah membuat Emma sadar kalau dia tidak bermimpi. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Abyan sehingga dia bermaksud memanggil dokter dengan alat yang berada di samping tempat tidur Abyan.
Sayang semua keinginannya tidak terwujud karena Abyan langsung memegang tangannya dengan erat dengan mata menatap Emma dengan garang.
“Om…lepasin tangan aku. Sakit,” keluh Emma sambil meringis.
Namun, Abyan tidak langsung melepaskannya. Dia menarik Emma sehingga tubuhnya nyaris menempel di daeda Abyan.
Dalam hati Emma sangat takut bila keadaan Abyan memburuk karena tubuhnya yang seperti menindih tubuh kekar Abyan.
“Dia mau ngapain, sih. Baru juga sadar udah bikin takut orang. Dia gak bermaksud mau macam-macam sama, aku, kan?”
Pikiran Emma menjelajah dan mencoba menghindari tindakan Abyan yang tidak dia inginkan dengan berusaha bangun dan menjauh, tetapi lagi-lagi usahanya sia-sia karena cekalan tangannya begitu kencang di pergelangan tangan Emma.
“Kenapa kau ada di sini!”
Mendengar suara Abyan, Emma bahkan melupakan sakit di pergelengan tangannya. Apakah suara serak yang seperti berasal dari dalam perut bumi adalah suara Abyan? Emma sampai mendongak untuk memastikan kalau Abyan yang bicara.
Namun, yang dia lakukan adalah hanya diam dengan mata menatap bingung, takut serta ingin sekali memukul kepala Abyan, walaupun untuk niatnya yang terakhir dia pasti bisa berada di balik jeruji besi bila dia memaksa melakukannya.
“Aku tanya kenapa kau ada di sini!”
Emma gagap mendengar pertanyaan Abyan yang kini suaranya terdengar galak dan mengancam.
“Eee…maaf,, aku ditugaskan oleh dokter untuk menjaga, Om. Karena Om sudah sadar, aku akan panggil dokter. Tapi lepasin dulu tangannya,” kata Emma gugup, dan perlahan-lahan mulai bisa mengatasi keadaan.
Emma berharap Abyan akan melepaskan tangannya tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dia justru menekan kepala Emma dengan tangan yang masih terpasang jarum infusan hingga Emma sangat khawatir dengan keadaannya.
“Sebenarnya nih orang kerasukan apa-an sih. Masa iya selama gak sadar otaknya mikirin yang enggak-enggak,” omel Emma dalam hati.
Mungkin kalau Baina yang berada di posisinya, dia akan langsung mengatakan ‘Selama gak sadar, itu otak ngapain aja? Kok tiba-tiba narik perempuan’. Sayang, Emma bukan Baina yang tetap bisa menjaga setiap kata yang keluar dari dalam mulutnya dengan lebih baik.
Emma seperti siap tidak siap menghadapi kemungkinan terburuk saat tekanan dikepalanya semakin terasa hingga wajahnya semakin mendekati wajah Abyan.
Beruntung, hanya berjarak sekitar 5 cm lagi, Abyan menjauhkan kepala Emma kembali hingga tanpa sadar Emma menarik nafas lega.
“Kau masih sama seperti terakhir aku mengingatmu,” bisik Abyan dengan bibir yang terlihat samar membentuk senyuman.
“Hah? Gimana bisa dia bilang masih sama seperti dulu?” Emma kembali menatap tidak percaya.
Sepertinya keputusan untuk memukul kepala Abyan agar bisa berpikir normal menjadi cara terbaik. Belum lagi dia berusaha untuk membebaskan diri dari cekalan tangan Abyan, pintu ruang perawatan terbuka lebar disusul dengan kedatangan Dokter Syarif beserta 2 orang lelaki yang salah satunya dikenal Emma sebagai ayah dari Om Ganteng, atau Abyan.
“Untunglah dokter datang. Si Om kayanya otaknya udah travelling kejauhan sampe dia korslet begini,” kata Emma yang masih dalam posisi yang sama.
Borya tidak mengerti dengan ucapan Emma, tetapi Sam dan Dokter Syarif harus menahan tawa mendengarnya.
“Mungkin dengan begitu dia ingin mengingatnya kalau kau pernah berada di dalam posisi seperti itu, dulu,” kata Sam.
“Hah?”
“Diam, bocah bawel. Kau sudah membuat kepala aku sakit dengan segala celotehmu, sekarang kau harus diam dan ikut perintahku!”
Suara Abyan masih terdengar parau tetapi ucapannya sangat jelas terdengar hingga Emma mengkeret ketakutan.
Dokter berjalan mendekat dan dia terlihat bingung karena dari semua alat penunjang medis yang melekat di tubuh Abyan hanya menyisakan satu saja, yaitu jarum infusan.
“Sebaiknya kau lepaskan Emma, kasihan dia harus menahan diri untuk memukulmu. Seorang lelaki pernah mengeluh kesakitan saat mendapat pukulan darinya,” kata dokter memberi saran pada Abyan.
“Bagiku lebih menyakitkan mendengar suaranya daripada pukulannya,” kata Abyan.
Namun, matanya menatap tajam ke arah Sam dan Borya. Dia seperti tidak mengenali kedua lelaki yang seharusnya langsung mendapat perhatian darinya. Bagaimana pun Sam adalah ayah kandungnya dan Borya adalah tangan kanan ayahnya serta kakak iparnya. Jadi bagaimana mungkin Abyan tidak menaruh perhatian pada mereka.
Perlahan, Sam mendekati Abyan sementara Borya berjaga di pintu. Mereka datang ke rumah sakit dengan maksud bertemu dengan Emma sekaligus ingin tahu perubahan yang terjadi pada Abyan.
Elza sudah mendesak Sam agar membawa Abyan keluar dan merawatnya di tempat lain. Siapa yang menduga pada saat mereka bicara di ruang kerja dokter Syarif, mereka melihat perkembangan Abyan yang membuat mereka menahan nafas.
Abyan sudah sadar tetapi yang dia lakukan justru bukan seperti dirinya.
“Apa yang dokter lakukan?”
Pertanyaan Abyan mengusik Sam.
“Saya akan memeriksa keadaanmu. Apa kau tidak kasihan melihat Emma yang kesakitan seperti itu?” tanya dokter.
Mata Abyan yang berwarna kehijauan menatap Emma tajam sebelum melepaskan cekalan di pergelangan Emma.
Darah seperti mengalir deras setelah beberapa saat tertahan karena cekalan tangan Abyan dan Emma menarik nafas lega.
Rasa leganya begitu besar pada saat dia berusaha mengangkat tubuhnya dari daeda Abyan dan perlahan menjauh pada saat dokter mulai melakukan pemeriksaan.
Emma sebenarnya bermaksud keluar dari kamar perawatan tersebut kalau saja Abyan tidak mengeluarkan perintah agar dia tidak boleh keluar.
Tepukan pelan di pundak Emma membuat Emma berpaling dan melihat wajah Sam yang tersenyum.
“Terima kasih,” bisik Sam lembut.
Hanya anggukan kepala yang diberikan oleh Emma karena dia sendiri tidak tahu harus berkata apa. Perhatiannya kini hanya tertuju pada dokter dan Abyan. Yang lain seperti tidak penting.
Dokter Syarif sebagai kepala klinik dan juga sebagai dokter ahli bedah syaraf seperti menemukan sesuatu yang membuatnya menghentikan pemeriksaan bisa jadi karena dia sudah selesai, tetapi dari mata yang menatap Sam, sangat terlihat kalau ada yang tidak beres.
“Ada apa?” tanya Sam tidak sabar.
“Kalian sudah selesai, kan? Kalau begitu biarkan aku sendiri,” suara Abyan seperti menjawab pertanyaan dari Sam.
Tidak perlu menunggu lama karena Emma langsung bergerak ke pintu, tapi sekali lagi langkah kakinya harus terhenti karena suara Abyan menghentikannya.
“Siapa yang suruh kamu keluar!”
“Hah? Bukannya Om yang tadi bilang mau sendirian. Labil deh,” kata Emma jengkel.
‘Apa kamu bilang? Dokter lihat dan dengar, kan, kalau ucapannya lebih terbukti bikin sakit kepala daripada pukulannya,” kata Abyan seperti ingin mengadu.
Ada yang berbeda dari semua tindakan Abyan dan Sam maupun Borya sudah mulai menebak ketika melihat pandanan dokter Syarif pada mereka setelah selesai memeriksa Abyan.