Pertemuan Mereka

1747 Words
Sampainya di rumah papanya, hanya seorang asisten rumah tangga yang menyambutnya datang. Doni salah berharap dia akan menemukan papanya ada di rumah untuk mengajaknya masuk ke dalam tempat tinggal yang terasa asing baginya. Meski 11 tahun dia tinggal di rumah dengan dua lantai dan terhitung luas untuk ditinggali 3 orang anggota keluarga dan sekarang ditambah dengannya. Lantai marmer, hiasan guci, sofa mahal dan dekorasi lain yang membuat rumah ini tampak megah. Sangat kontras sekali dengan apa yang dilihat Doni sejak dia tinggal di rumah neneknya, yang sederhana namun terasa hangat. Sedangkan Doni melihat rumah ini justru terasa sepi dan juga dingin. Atau hanya dia yang merasakannya? Nyatanya papanya saja betah tinggal di sini bersama istri barunya dan anak mereka. Doni diantar menuju ke sebuah kamar di lantai dua. Doni ingat itu adalah kamarnya sendiri sewaktu dia masih tinggal di sini. Semua tampak sama, hanya mungkin terasa kosong karena barang-barangnya masih tersimpan di dalam kardus, dia sudah memperingati papanya untuk tidak menyentuh barang-barangnya, dan dia yang akan membereskannya sendiri. Langkah Doni terarah menuju jendela besar yang masih terekam jelas di dalam ingatannya, dari sana dia melihat orang tuanya bertengkar untuk terakhir kali dan sepakat untuk bercerai. Usianya yang masih 11 tahun sudah sering sekali melihat pertengkaran orang dewasa, yang akhirnya dia tahu penyebabnya. Papanya selingkuh dengan mantan kekasihnya dulu, itu cerita neneknya ketika dia memaksa untuk minta dijelaskan akibat perpisahan kedua orangtuanya. Namun Doni menolak untuk mengetahui informasi detail tentang permasalahan masa lalu itu. Caginya cukup tahu apa penyebabnya, dan sekarang dia sudah berjanji pada mamanya untuk berdamai dengan masa lalu. Mamanya juga meminta Doni untuk terus berbahagia, dan menjaga seorang yang dia kasihi selama orang itu masih ada dan Doni masih mampu melakukannya. Pesan mamanya itu disampaikan sebelum mamanya meninggal di ruang ICU kala itu. TOK TOK TOK "Nak Doni, makan malam udah siap." Doni mengerjapkan matanya kemudian mengangkat lengan kirinya dan melihat pada jam tangannya yang kini menunjukan waktu pukul 18.30. Ternyata dia ketiduran ketika mencoba berbaring di atas kasur yang sudah lama ditinggalkannya. Mendengar Mbok Darmi, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak Doni kecil itu memberitahu makan malam sudah siap, membuat Doni malas untuk beranjak dari kasurnya. Sebab, jika makan malam sudah siap, maka dia akan segera bertemu dengan istri papanya dan juga anak mereka. Sekalipun dia sudah mencoba berdamai dengan masa lalu, tapi semua itu akan jauh berbeda ketika menghadapinya secara langsung. Karena Doni merasa belum siap untuk bertemu dua orang itu, hatinya masih merasakan sakit bahkan hanya memikirkan dia memiliki saudara tiri, yang selalu menanyakan kapan mereka bisa bertemu melalui video call yang dilakukan ayahnya ketika sang papa meminta menemui dirinya di Jogja. "Ya, Mbok. Terima kasih." Pada akhirnya, pesan mamanya memenangi perlombaan dalam benaknya untuk memilih berdamai dengan masa lalu. Sudah waktunya bagi Doni bersiap menghadapi apa yang terjadi mulai saat ini. Saat turun menuju lantai satu, Doni langsung bisa melihat suasana di ruang makan yang terasa sangat ceria dengan celotehan seorang anak perempuan yang Doni ketahui sekarang berumur 6 tahun. Serta ada dua orang dewasa yang duduk di antaranya menanggapi celotehan itu dengan senang hati. Hal itu membuatnya terdiam di atas anak tangga terakhir, hatinya mencelos melihat suasana penuh keakraban yang di bangun papanya, jika diputar lagi kisah kanak-kanaknya, Doni tidak pernah ingat kapan papanya pernah berbincang seperti itu dengannya. "Doni, lo harus bisa berdamai sama masa lalu." Doni berucap lirih pada dirinya sendiri kemudian dia kembali melangkahkan kakinya menuju ruang makan. "Abang Doni!" Pekikan suara anak kecil menyambut kedatangan Doni di ruang makan itu. Dia menggeser kursi makan di sisi kiri ayahnya, dan berhadapan dengan anak kecil yang memanggilnya 'abang' dengan riang. "Selamat datang di rumah ini, Doni. Kamu pasti capek banget sampai ketiduran." Kini suara wanita dewasa menyambut Doni yang sudah bergabung dengan mereka. Doni hanya tersenyum tidak sampai matanya, dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan yang terdengar tulus dari bibir seorang wanita yang seharusnya dia panggil dengan mama tiri. Namun benaknya masih menolak keras keharusan itu. Karena baginya, hanya satu mama untuk selamanya, mama Andari. "Makanlah." Rina, nama wanita itu yang kemudian menyiapkan sepiring nasi berserta lauk pauk di meja makan panjang itu untuk Doni. "Terima kasih," kata Doni singkat. Dia kemudian melirik papanya yang hanya tersenyum kecil padanya lalu kembali melanjutkan makannya. Dia beralih pada anak kecil yang duduk di sebelah Rina. Mata anak itu terlihat berbinar cerah dan masih terfokus untuk melihatnya sejak tadi. "Akhirnya aku bisa ketemu abang," kata anak kecil itu, dia bertepuk tangan sekali seolah dia sudah menanti momen dimana dia bertemu dengan seorang yang dipanggilnya 'abang'. "Kata Papa... Abang nanti yang akan nemenin Sinta main.. Iya 'kan, Pa?" Bola mata Doni refleks melirik papanya yang tersenyum lebar menanggapi celotehan anak perempuannya. Doni tidak percaya sang papa mengatakan itu pada Sinta tentang dirinya. Karena Doni tidak berencana untuk akrab dengan anak perempuan yang secara silsilah menjadi adik tirinya itu. Dalam agendanya nanti, dia akan banyak menggunakan waktunya di sekolah, dengan itu maka dia bisa meminimalkan interaksi antara dirinya dan penghuni rumah ini. "Oh iya, Pa.. Guru les Sinta kemarin bilang dia yang mau jadi badutnya, dia lagi butuh uang," Rina membuka obrolan setelah beberapa saat mereka terfokus dengan makanan. "Memang dia bisa jadi badut?" timpal Adi, papa Doni. "Katanya dia sudah jadi badut 2 tahun ini. Dan biasa jadi badut untuk ulang tahun. Gimana, pa?" jelas Rina, sekalian meminta pendapat. Adi tampak berpikir sebentar dengan penjelasan istrinya itu mengenai acara ulang tahun anak bungsunya 6 hari lagi. Karena Sinta mendadak ingin ada badut setelah melihat temannya mengundang badut di acara ulang tahunnya. "Terserah mama saja... tapi papa setuju karena setidaknya kita kenal dengan orang itu," kata Adi memberi saran sekaligus keputusannya. "Mama setuju juga, apalagi Sinta 'kan suka dengan karakter Olaf, dan guru les Sinta juga punya kostum badut Olaf." Doni hanya menyimak dengan telinganya isi perbincangan di atas meja makan itu. Dia tidak mau tahu dan tidak ingin menanggapinya. Dia hanya akan tinggal di sini hingga lulus SMA dan akan pindah dengan memilih tempat kuliah di kota lain. Jika bisa, dia ingin kembali ke Jogja saja. Karena semua kenangannya, seperti rumah, teman, dan cerita indahnya hanya ada di sana. /// Ini sudah 4 hari semenjak Doni resmi menjadi siswa di sebuah sekolah favorit karena dikenal dengan gudangnya siswa pintar di kota Jakarta. Dia dimasukkan oleh papanya ke sekolah ini dengan membawa prestasi yang memang kerap Doni raih dibidang akademis juga olahraga. Dia pintar dimata pelajaran matematika juga fisika, serta pintar basket dan badminton. Di sekolahnya di Jogja, dia menjadi ketua tim basket dan menjadi anggota tim olimpiade fisika. Begitu hal tersebut dikemukakan di hadapan kelas, dimana dia akan mejadi bagian dari kelas itu, siswa-siswi di sana langsung menyambutnya dengan hangat. Doni bersyukur karena itu, setidaknya dia tidak akan terkucilkan atau merasa asing dengan semua yang baru ini. Dia mendapatkan teman yang langsung dekat dengannya di hari pertama masuk sebagai murid pindahan. Mereka adalah Anjar dan Bagus. Anjar si atlit voli dan Bagus si atlit basket tapi juga pintar melukis. Mereka ini duduk di bangku bagian belakang kelas dimana Doni duduk bersebelahan dengan Anjar, lalu di sebelah Anjar ada Bagus. Sekolah ini memang mejanya sendiri-sendiri, selain untuk meminimalisir kebiasaan mencontek, juga untuk mendisiplinkan siswa yang kerap kali melakukan hal-hal aneh jika semeja berdua. Tapi mau bagaimana pun murid-murid itu selalu punya cara untuk saling mencontek dan membuang sampah di kolong meja teman lain. Saat ini Doni dan dua teman barunya ini sedang berjalan dari kantin untuk kembali ke kelas mereka. Ketiganya melewati jalan di depan perpustakaan yang selalu sepi apalagi ini sudah akan mulai jam pelajaran usai istirahat kedua di jam 12. Mereka bercanda dan berjalan beriringan sambil masing-masing mengejek minuman yang mereka bawa dari kantin. Dan Doni yang menjadi objek paling di bully, karena dia membawa minuman s**u UHT rasa strawberi yang sangat aneh dibawa-bawa oleh anak laki-laki menurut pandangan Anjar dan Bagus. Kesal karena dinistakan oleh kedua temannya, Doni segera menghabiskan s**u strawberi yang dibungkus karton itu dan membuangnya dengan membanting ke tanah. "Puas lo pada!" kesal Doni, dia menggeplak kepala dua temannya itu. "Asem, lu!" umpat Anjar yang hampir saja tersedak karena sedang meminum teh yang dikemas dalam botol plastik. Mereka kembali berjalan menuju kelas masih sambil bercanda, namun langkah Doni kemudian berhenti ketika seorang menepuk punggungnya. Dia menoleh kebelakang, juga kedua temannya. Lalu dia menemukan seorang perempuan berseragam sama dengannya yaitu putih abu-abu, dengan membawa buku di tangan kirinya dan minuman karton di tangan kanannya. Doni familiar dengan minuman karton itu. Pikirnya. "Lo yang nepuk punggung gue?" tanya Doni pada murid perempuan di hadapannya. "Iya," jawabnya. Doni menaikan alisnya. "Trus, lo ada perlu sama gue?" tanya Doni lagi. Tidak menjawab, murid perempuan itu kemudian menyodorkan minuman karton itu kehadapan Doni. Lalu tersenyum pada Doni. "Lain kali jangan buang sampah sembarangan, ya...." Murid perempuan itu kemudian maju, mengapit buku yang dibawanya di antara lengan dan tubuhnya, lalu dia meraih tangan Doni dan meletakkan minuman karton itu di tangan Doni. "Ini, tolong buang di sana. Aku liat tadi kamu yang buang bekas minuman ini," katanya lagi sambil menunjuk tempat sampah dan kemudian pergi meninggalkan Doni, Anjar, dan Bagus yang terdiam. Mereka bertiga saling melirik. Lalu Anjar dan Bagus tertawa terbahak-bahak. "Ngapa lo pada ketawa?" tanya Doni heran. Anjar menghentikan tawanya. "Lo kena juga akhirnya sama Miss kebersihan," jawab Anjar yang masih tidak dimengerti oleh Doni. "Dia, cewek itu, namanya Andin. Satu organisasi sama gue di lukis dan pinter gambar juga. Dia terkenal banget di sekolah ini jadi miss kebersihan. Karena tiap liat satu sampah sekecil upil, dia bakal pungut dan buang ke tempat sampah," jelas Bagus. Doni menggaruk tengkuknya. "Segitunya?" Anjar dan Bagus kompak mengangguk. "Tapi dia cantik," celetuk Doni tanpa sadar saat melihat punggung Andin yang masih bisa terlihat meski sudah jauh dari posisinya. Dan celetukkannya itu dihadiahi jitakkan di kepalanya oleh Anjar dan Bagus. "t*i lo pada, ngapa mukul gue sih?!" umpat Doni sambil mengusap kepalanya. "Elo sih pake muji gitu," timpal Bagus. "Lha... emang salah? Dia kan emang cantik," kata Doni tak merasa salah. "Udah ada yang ngincer dia, bro.. kagak usah ngarep deh," ujar Anjar. "Yaelah... gue juga tahu pasti ada yang ngincer, secara dia cantik gitu. Tapi selama janur kuning belum sengaja diplengkungin, cewek cantik masih milik bersama," seloroh Doni lalu mendapat jitakan sekali lagi dari dua temannya. "Sontoloyo!" maki Bagus. "Bocah sableng!" Anjar juga ikut memaki. Mereka sibuk saling mengumpat seraya melanjutkan berjalan menuju kelas, tentu setelah Doni membuang sampahnya ke tempat semestinya sesuai perintah dari murid perempuan yang menurutnya cantik, dan namanya ternyata Andin. Hampir sama dengan nama mamanya. /// Instagram: gorjesso
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD