"Semua orang baru pertama kalinya hidup di dunia ini. Kita semua masih beradaptasi dan meraba-raba. Jadi, tidak apa-apa jika kita membuat kesalahan."
From: It's Ok That's Love Drama
.
.
"Karena kita sama-sama baru pernah hidup sekali di dunia ini. Bukankah jika melakukan
"Hujan lagi..."
Andin terpaksa berteduh ketika hujan tiba-tiba datang, ketika itu dia baru saja pulang dari melakukan pekerjaan paruh waktunya di sebuah rumah makan setiap akhir minggu. Karena biasanya di akhir minggu pengunjung selalu datang lebih ramai, membuat rumah makan kekurangan pelayan. Andin sudah sejak SMP kelas 3 bekerja part time seperti ini, dengan upah yang terkadang tidak menentu, tapi itu menjadi sangat berharga untuknya.
Di depan sebuah bangunan lama bekas pertokoan Andin berteduh. Tangannya memegang kantung kresek warna putih berisi dua bungkus nasi rames dan beberapa gorengan yang akan dia santap untuk makan malam nanti bersama ayahnya. Namun terpaksa dia harus berteduh dulu karena tidak ingin jatuh sakit karena besok masuk sekolah.
Rintik hujan yang jatuh di sekitar kakinya membuat Andin termenung, teringat lagi saat dimana hari-harinya menjadi jauh berbeda. Senyum di bibir manisnya tak seceria dulu. Karena yang selalu terpikir di dalam otaknya adalah bagaimana bisa terus mencukupi kebutuhan hidupnya bersama sang ayah yang jatuh sakit.
Satu tetes air mata mulai jatuh bercampur dengan aliran air hujan di kakinya. Bagi Andin, menangis adalah hal yang akan dia lakukan setiap harinya. Rasa penyesalan yang besar nyatanya selama ini masih bersarang di dadanya. Andai saja hari itu dia tidak egois, mungkin dia masih bisa melihat ayahnya mengambil rapor hasil belajarnya di sekolah, mengajaknya liburan, dan melakukan hal-hal lain seperti kebanyakan ayah dan anak perempuannya.
"Andin pulang...."
Andin selalu mengucapkan sapaan itu setiap dia pulang, meski hanya sunyi yang menyambutnya. Tapi dia tahu, ada seseorang yang masih menuggunya pulang dan khawatir jikalau dia pulang terlambat. Meski seseorang itu hanya bisa tergolek tak berdaya di ranjangnya, dan hanya bisa menyapa kepulangan Andin dengan senyuman di bibirnya yang hanya bisa bergerak separuh.
"Ayah... Andin pulang bawa nasi rames sama gorengan kesukaan ayah.. nanti kita makan bareng, ya... Tapi Andin mau mandi dulu."
Ayah Andin hanya mengangguk seraya terus tersenyum membalas kalimat putri satu-satunya itu.
Andin segera beranjak dari kamar ayahnya, meletakkan makanan yang dibelinya tadi di atas meja ruangan yang multi fungsi. Bisa menjadi ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan. Setelah itu dia masuk ke kamarnya untuk mengambil handuk dan pakaian gantinya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Andin duduk di kursi di sebelah kursi roda ayahnya. Di meja tepat di depan kursi roda ayahnya sudah ada segelas teh manis, segelas air putih, sepiring gorengan, dan dua piring nasi rames milik Andin dan ayahnya. Di posisi ini, setiap hari Andin memulai makan malamnya. Dirinya baru akan makan malam setelah menyuapi ayahnya yang terkena stroke di bagian tubuh sebelah kanan, sementara tubuh sebelah kiri masih berfungsi dengan semestinya.
Stroke yang dialami ayah Andin sudah sejak 3 tahun yang lalu, tepatnya ketika Andin kelas dua SMP. Dulunya, ayah Andin adalah seorang yang gagah. Beliau bekerja sebagai seorang penjaga keamanan sebuah perusahaan dengan gaji yang setidaknya masih bisa menyekolahkan Andin, dan mencukupi kebutuhan mereka berdua. Andin memang piatu sejak dia umur satu tahun, ibunya meninggal karena kecelakaan. Dan hari dimana ayah Andin, Suljono terkena stroke, Andin sedang liburan bersama temannya, yang mengajaknya liburan bersama keluarga mereka selama sehari semalam.
Dan ketika Andin pulang, dia panik karena tidak ada suara yang menjawabnya, namun pintunya terkunci. Dia pun meminta tolong kepada tetangga di samping rumahnya yang kemudian datang dengan beberapa bapak-bapak lain, lalu mereka mendobrak pintu rumahnya. Yang Andin temukan hanya sunyi, tapi kemudian ketika dia masuk ke dalam kamar mandi, Andin menemukan ayahnya dalam keadaan sadar namun tidak bisa melakukan apa pun saat itu, dengan pakaian yang masih sama ketika dia berpamitan ingin liburan bersama temannya.
Semenjak hari itu, semua kehidupan Andin berubah. Senyum di wajahnya menghilang. Dia menjadi pribadi yang tertutup dan jarang bergaul lagi. Ayahnya yang dinyatakan stroke kemudian diberhentikan dari pekerjaannya, membuat Andin yang saat itu masih 14 tahun kebingungan dengan apa yang menimpanya. Mulanya dia menyewa perawat dengan pesangon yang diberikan perusahaan tempat ayahnya bekerja, namun karena biaya menyewa perawat mahal dan Andin harus bisa mengelola keuangan sejak itu, sehingga musti pintar-pintar menghematnya.
Andin mulai belajar merawat ayahnya sendiri dengan melihat apa yang dilakukan perawat selama ini. Hingga kemudian terbiasa dengan semuanya. Setiap pagi, Andin bangun pagi sekali untuk masak, menyiapkan alat mandi untuk membasuh ayahnya, lalu menyuapi ayahnya sarapan. Pukul 5.30 pagi, dia sudah berangkat ke sekolah. Dia memilih berjalan kaki, Andin berpikir itu akan semakin menghemat pengeluaran dan bisa dialokasikan untuk membeli pempers ayahnya yang harganya cukup mahal dan kadang harganya tidak pasti.
Suatu hari nanti Andin juga ingin mengganti kursi roda ayahnya yang sudah mulai rusak, karena kursi roda itu juga pemberian seseorang yang sudah tidak terpakai lagi. Namun uang itu tidak juga terkumpul, karena nyatanya kebutuhan sekolah dan lain-lain yang lebih penting masih belum bisa Andin abaikan. Tubuh kurusnya ini masih harus bekerja lebih keras lagi untuk menggapai mimpi sederhananya itu.
///
"Saya akan tetap tinggal di rumah nenek."
"Nggak, sekarang udah nggak ada lagi yang jagain kamu di sini. Jadi kamu ikut papa!"
"Saya sudah besar dan bisa hidup sendiri!"
"Sekalipun kamu sudah bisa membiayai hidupmu sendiri, kamu tetap menjadi anak kandung papa. Aku walimu, ingat itu!"
Doni terdiam di ambang pintu rumah neneknya. Sebuah tas yang memuat beberapa barang ada di punggunya. Bola matanya bergerak menyisir sekali lagi ruangan bernuansa kayu dan furnitur jaman dulu yang sangat khas Jawa. Doni menghela nafas tatkala dia berat untuk beranjak dari rumah yang sudah ditinggalinya sejak dia masih kelas 6 SD itu. Segala kenangan antara mama dan neneknya sangat melekat di setiap sudutnya. Apalagi sebuah kursi kayu panjang yang neneknya bilang itu bernama 'risban', tempat di mana dia berbaring di pangkuan neneknya dan menangis ketika mengingat ibunya yang meninggal 3 tahun lalu.
Doni rindu neneknya. Sangat.
Dan kini dia harus meninggalkan tempat paling nyaman di dunia ini. Supir ayahnya sudah menjemputnya pagi tadi dengan mobil sewa untuk membawa Doni kembali ke rumah, dimana saat bayi hingga berumur 11 tahun Doni pernah tinggal.
Langkah kakinya berderap pelan dan berat. Helaan nafas pasrah dan putus asa sejak tadi tak henti dilakukan. Banyak hal berkecamuk di dalam benaknya. Tentang bagaimana dia hidup di Jakarta nanti, bagaimana dengan papa dan keluarga papanya itu? Apakah nanti dia diterima baik di sekolah barunya? Dan banyak lagi.
Kekhawatiran itu terus membayangi pikirkannya sejak papanya menyampaikan maksud untuk mengambil alih hak asuh Doni, yang semula jatuh ke pada sang mama namun karena mamanya meninggal 3 tahun lalu. Kemudian hak asuh itu menjadi milik nenek Doni, yang memang terus berada di sisi Doni sejak perceraian kedua orang tuanya.
Namun 2 bulan lalu, neneknya yang sudah renta meninggal karena beberapa penyakit yang sudah lama dideritanya. Jadilah sebagai wali papanya hendak membawa Doni untuk pindah dari rumah neneknya yang berada di Yogyakarta kembali ke Jakarta. Kota yang tidak pernah Doni singgahi sejak dia kelas 6 SD.
Dari Yogyakarta, Doni akan naik pesawat dan dalam waktu beberapa jam dia akan tiba. Doni berharap dia tidak akan kecewa lagi dengan kota Jakarta.
///
Instagram: gorjesso