BAB - TIGA BELAS ( YIAN POV )

1441 Words
Namaku Yian, kelas 2-A di SMA SEIRIN. Aku calon atlet nasional Taekwondo tahun depan. Sekolah biasanya menyebutku si tampan sabuk hitam. Ck. Itu terdengar lucu. Aku menyukai olahraga ini karena dapat melatih mental dan fisikku agar menjadi lebih kuat. Kejadian dari masa lalu lah yang membuatku bertekad untuk mempelajari ilmu bela diri ini. Aku melakukannya dengan serius saat masih duduk di bangku SMP. Hingga sekarang sudah banyak kejuaraan yang aku ikuti dan hasilnya cukup membuatku terpilih menjadi salah satu calon atlet nasional. Aku beruntung. Tapi aku tidak bisa puas begitu saja. Masih banyak lawan dan orang yang lebih kuat dariku di luar sana, sehingga akupun juga tak bisa lengah dan langsung bangga begitu saja. Ibuku juga selalu selalu bilang padaku bahwa aku juga harus bersikap rendah hati. Menolong orang dan memanfaatkan kemampuanku untuk hal yang baik. Bukan sok jagoan apalagi yang bisa membuatku masuk ke list perbuatan kriminal atau melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan atlet pada umumnya. Apa yang paling aku suka selain taekwondo? Hmmm... "Yian! Jangan lupa besok!" Pelatih sekaligus seniorku ini hanya memiliki tinggi 160 cm saja. Akan tetapi, kecepatan pukulan dan tendangannya tidak bisa dianggap remeh. Untuk beberapa alasan, ia menolak untuk menjadi atlet nasional. Padahal menurutku dia lebih dari layak menjadi pahlawan olahraga untuk negara ini. Aku mengangguk antusias tanpa mengalihkan pandanganku dari layar ponselku. "Iya! Jam 10, kan?" "Yap! Hei, kenapa kau tak mengenalkan kami siapa pacarmu?" Alex mendekat untuk melihat ponsel yang sedang kumainkan. Aku terlonjak sejenak sembari melebarkan mataku begitu mendengar kata 'pacar' terucap. "Pacar? Siapa?" Dia berhasil mengalihkan perhatianku dengan pertanyaannya. Permainan motor balapku pun berakhir begitu saja. "Kau mau mengelaknya? Para gadis sibuk membicarakan murid kelas 1 yang bersamamu kemarin." Jika saja hati dan isi kepalaku transparan, pasti akan ada bunga dari segala jenis bertebaran di atasnya. Aku tahu siapa yang mereka maksud. Aku hanya tidak ingin gegabah karena gosip akan menjadi pekerjaan rumah kedua -ku setelah 5 jam latihan per hari. Hal itu merepotkan bagiku. Tapi tidak akan jika Sora benar-benar menjadi pacarku. Atau sebenarnya, ini tidak terlalu bermasalah jika aku katakan bahwa gadis itu memang spesial bagiku? Ah iya. Memang itulah kenyataannya. "Iya kah?" kataku seolah acuh tak acuh. Alex memiringkan kepalanya, menyelidiki. Dia memperhatikan senyum malu-malu yang coba aku sembunyikan. Dia menepuk punggungku dengan keras sambil duduk di sampingku. "Apa kau mencoba menyembunyikannya dariku? Hah? Dasar bocah! Kau membuat kemajuan!" ujarnya sambil tertawa penuh semangat. "Dia belum menjadi pacarku." "Berarti memang kau mendekatinya?" Aku mengangguk singkat, "Iya." Aku pikir wajahku sekarang telah berubah menjadi semerah tomat. Ini pertama kalinya aku mencurahkan perasaanku pada orang lain setelah aku mengatakannya pada ayahku sebelumnya. Reaksi beliau juga tidak berlebihan. Tapi yang jelas dia juga setuju jika aku menjalin hubungan dengan Sora. Ibuku juga beranggapan demikian. "Itu vagus. Aku pikir selama ini kau adalah seorang gay. Karena aku lihat kau seoerti tidak tertarik berkencan dengan gadis mana pun sejauh ini. Aku sangat senang mendengarnya," ucapnya yang mampu membuatku tercengang. Jadi itu alasan ia menanyakan ini? Alex tertawa puas setelah menggodaku. Membuatku menendang pantatnya sambil bercanda. "Astaga! Siapa yang menyebarkan rumor seperti itu? Mau mati? Hah!" Alex masih tertawa sampai ia bilang bahwa perutnya sakit. Aku mulai menyadari bahwa ini memang masalahku sejak awal. Karena terlalu fokus berlatih juga belajar, aku sampai hati mengabaikan perasaan gadis-gadis yang pernah menyukaiku. Tapi semuanya berubah sejak aku bertemu Sora. Aku jadi bisa merasakan masa muda yang sebenarnya sejak berteman dengannya. Aku ingin menjalin hubungan lebih, tapi sayangnya Sora masih menutup rapat hatinya. "Tidak apa-apa. Tapi tetap fokus pada aktivitasmu ya. Lalu kapan kau akan memintanya menjadi pacarmu secara resmi?" Aku hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyuman tipis. Seperti mendapatkan restu meskipun itu tidak perlu sama sekali. Karena di klub Taekwondo, tidak ada larangan untuk berkencan. Lalu mengenai gadis itu.. Aku juga tidak tahu kapan bisa mengajaknya berkencan secara resmi. Seperti perasaan yang digantung, begitulah selama ini aku menjalaninya serta bersamanya. Meski begitu Sora tetap tak bisa menghentikan langkahku untuk menyukainya. Aku selalu merasa gugup setiap harinya bila bersamanya. Bagaimana bisa aku berhenti saat aku bahkan tidak bisa melupakan aroma mint yang dicampur dengan teh hijau di rambutnya itu. Aroma kuno, tapi itulah yang membuatnya berbeda. Satu tahun yang lalu, pertemuan pertama kami di dermaga. Tubuh mungilnya begitu lincah, mengangkat kotak berisi ikan segar. Senyum ramah yang ia berikan kepada setiap pelanggan atau penjual ikan tak lepas dari ritual paginya. Sampai aku mengetahui bahwa dia adalah seseorang yang mengalami amnesia dan juga Congenital Analgesia. Sangat kontras dengan keceriaannya setiap pagi. Dan aku merasa, itu pasti berat untuknya. Sejak mengetahui tentang dirinya, akupun mulai menaruh perhatian padanya. Hingga hari ini, aku terus memikirkannya yang hidup sebatang kara dengan ingatan yang menghilang. Sampai satu hari, aku pernah mengungkapkan perasaanku secara tidak langsung padanya. Dia membuatku kesal saat kami sedang menghabiskan waktu bersama makan es krim di pinggiran laut. Saat perhatianku selalu dianggap candaan olehnya, secara spontan aku menciumnya tepat di bibir. Itu juga kulakukan karena aku bermaksud membersihkan remah roti es krimnya yang ada di bibirnya saat itu. Tapi karena terlalu gugup, aku melakukannya selama beberapa detik saja. . Kami hanya saling pandang. Sora pun tidak mengatakan apa-apa. Melihat reaksinya yang datar itu, membuatku ingin melakukannya lagi. Waktu itu tidak hanya sekedar menempel melainkan aku bisa mengeksplor ciumanku padanya. Ciuman pertama ku. Tapi dari riak di wajahnya, juga tiada apapun respon darinya ketika aku menciumnya, akupun melepaskan diri. Sora tampak terkejut dan juga bingung. Itu membuatku takut bahwa mungkin dia akan membenciku karena perbuatan kotorku itu. Akupun menjelaskan maksudku menciumnya saat itu. "Aku... menyukaimu, Sora." Selama beberapa hari aku sengaja tidak melihatnya. Sikapnya yang dingin membuatku putus asa. Sampai satu hari, Sora mengatakan bahwa dia belum punya perasaan apa pun padaku. Aku terkejut, tapi aku merasa lega setelah mendengar alasannya. "Aku belum bisa menerimamu sekarang. Aku lebih senang jika kita masih berteman baik. Mungkin satu hari nanti...kita bisa lakukan itu. Oke?" Aku tercengang. Setelah apa yang terjadi dia masih mau menerimaku sebagai temannya. Dan sampai sekarang, kami masih berteman baik. Sora tidak pernah menyinggung kejadian itu lagi. Sora juga tak menolak perlakuan posesif ku terhadapnya. Ia menolakku, tapi ia tak serta merta melarang ku untuk bersikap layaknya pacar, teman ataupun kakak padanya. Mungkin waktu itu aku terlalu terburu-buru. Aku harus merencanakan lebih hati-hati lagi lain kali. "Siap kapten! Apapun yang terjadi, latihan adalah nomor satu! "teriakku, memberi hormat padanya. Alex tampak senang, dan dia pun pergi. Aku pun juga harus pergi ke kelas Sora untuk mengajaknya makan bersama ketika bel istirahat tiba. Sampai di sana, aku mendapatkan banyak pandangan yang beragam dari para murid kelas satu. Aku tak peduli. Karena seperti kata Alex, berita ini memang sudah tersebar dimana-mana. Aku mendatangi kelas Sora tapi ternyata gadis itu tidak ada di sana. Aku mulai mencari lagi keberadaannya yang seperti hantu itu. Seorang murid perempuan melintas. Aku segera memanggilnya untuk menanyakan keberadaan Sora. Tapi jawabannya cukup membuatku tercengang. "Kim Sora? Setengah jam pertama tadi dia sudah tidak ada di kelas." Aku cukup terkejut. Dia masih murid baru, kenapa suka sekali bolos pelajaran? Sepertinya dia serius untuk memata-matai Yoona, saudara tirinya. Karena kata siswi tadi, Yoona juga meninggalkan kelas. Sora sangat khawatir dengan gadis itu sehingga dia rela pergi ke sekolah untuk melindunginya. Namun sayangnya, Yoona tidak menganggap Sora seperti itu. Bagi Yoona, Sora hanyalah seorang pengganggu. Dan aku cukup kesal setiap kali Sora diam saja ketika dipukuli oleh gadis itu secara sewenang-wenang. Sesampainya di kantin belakang, aku menemukan jejaknya. Postur tubuhnya yang kecil sangat mudah dikenali. Aku melihatnya begitu gesit mengikuti seseorang dari belakang dengan tenang. Orang yang dia ikuti adalah Yoona. Yoona dengan cepat menghilang dari balik dinding setelah ia melewati dinding dengan mudah. Sora juga ingin melakukan hal yang sama. Namun begitu ia naik, aku segera menarik kakinya kembali ke tanah. Sora kaget sampai akhirnya dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dia terjatuh tepat di atas tubuhku. Aku bisa merasakan bibirnya yang kenyal menempel sempurna di bibirku lagi. Sora terdiam sambil menungguku bergerak. Aku menelan ludah karena bingung harus pindah kemana. Hingga suara bel istirahat selesai berbunyi. Sora menegakkan tubuhnya namun tetap menaiki perutku untuk ia duduki. Aku menahan sesuatu di dalam diriku. Dan ini terasa sangat sangat sulit. "Apa yang kau lakukan?" "Aku... mengejar Yoona." Sora berusaha naik lagi ke tembok. "Cepat! Sebelum kita kehilangan dia!" Astaga... gadis ini membuatku gila. “Ini sudah masuk jam pelajaran, Sora. Apa kau ingin melewatkannya? " Sora tidak peduli. Dia terus memanjat pagar sambil mengajakku, "Pernah berbuat nakal? cobalah sekali saja. Ini pasti seru," katanya sambil dengan cepat melompati dinding. Tubuhku ikut bergerak menaiki tembok. Sora ada di bawah dan dia melambaikan tangannya agar aku cepat turun. Tanpa memikirkan konsekuensinya, aku mengikuti ajakannya. Astaga...gadis ini benar- benar membuat duniaku berbeda. . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD